Tingkat Depresi Perempuan di Jerman Relatif Tinggi
12 Desember 2019
Sebuah studi menemukan bahwa tingkat depresi penduduk Jerman kedua tertinggi di Eropa, setelah Luxemburg. Hampir 1 dari 10 orang di Jerman menunjukkan gejala depresi.
Iklan
Hampir satu dari setiap 10 orang di Jerman menunjukkan gejala depresi, demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert Koch Institut yang dipublikasikan hari Rabu (11/12).
Studi ini menemukan bahwa 9,2% responden di Jerman menunjukkan tanda-tanda gejala depresi, yang digunakan peneliti sebagai indikator depresi. Angka itu lebih tinggi dari angka rata-rata Uni Eropa, yaitu 6,6%. Studi dilakukan di 25 negara anggota Uni Eropa.
"Hasil untuk Jerman menunjukkan prevalensi gejala depresi yang sangat tinggi," kata penelitian itu.
Studi ini merujuk pada gejala-gejala depresi yang didaftar oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ini mencakup: penurunan berat badan yang signifikan atau nafsu makan yang buruk, insomnia atau hipersomnia, kelelahan atau kehilangan energi, perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas, berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, kurangnya minat melakukan sesuatu.
'Prevalensi perempuan lebih tinggi'
Secara umum, perempuan di Jerman menunjukkan gejala depresi lebih sering daripada pria, masing-masing 10,8% dan 7,6%.
"Perbedaan antara kedua jenis kelamin ini konsisten dengan hasil internasional lainnya," kata penelitian itu. "Selain faktor biologis, prevalensi perempuan yang lebih tinggi saat ini sering dilihat sebagai akumulasi dari faktor-faktor psikososial."
Studi ini juga menemukan bahwa gejala depresi di Jerman lebih sering terjadi di kalangan anak muda bila dibandingkan dengan rata-rata Uni Eropa, yaitu 11,5% dibandingkan dengan 5,2%.
"Hasil ini harus didiskusikan dengan latar belakang perbedaan usia dan struktur sosial, dan menunjuk pada kebutuhan untuk pencegahan dan penyediaan perawatan yang khusus menargetkan orang-orang muda di Jerman," kata Robert Koch Institut.
Sejak awal 2000-an, pencegahan dan pengobatan depresi telah menjadi salah satu target kesehatan nasional di Jerman.
Studi di Jerman dilakukan antara November 2014 sampai Juli 2015 dan melibatkan sekitar 25.000 orang di atas 15 tahun. Sedangkan untuk seluruh Uni Eropa dilibatkan lebih dari 250.000 responden.
Inilah 7 Pemicu Depresi Pada Anak-anak
Makin banyak anak-anak derita depresi yang berujung pada kasus bunuh diri. Waspadai penyebab dan pemicu depresi berikut ini.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Stres
Anak jaman sekarang banyak dikelilingi faktor pemicu stress. Tuntutan berprestasi di sekolah atau dalam klub olahraga, PR bertumpuk, serta tekanan lingkungan. Stres melemahkan hampir semua sistem biologi dalam tubuh. Kortisol dalam tubuh diproduksi terus, hingga anak mudah mengalami perubahan emosi secara dramatis hingga depresi. Hindari faktor stres dengan melakukan kegiatan secara rasional.
Foto: picture-alliance/blickwinkel
Broken Homes
Goncangan dalam keluarga seperti perceraian, atau orang tua yang cekcok terus menerus, mempengaruhi secara signifikan perilaku dan psikologi anak. Hasil riset yang dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family menunjukkan, anak-anak dari keluarga yang pecah akibat perceraian, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan depresi dan perasaan tertekan dibanding anak dari keluarga utuh.
Foto: goodluz - Fotolia
Porsi Bermain Kurang
Bermain merupakan kebutuhan penting bagi anak-anak. Dengan bermain otak punya kesempatan berkembang dan belajar. Anak juga belajar memecahkan masalah, mengontrol sendiri kehidupannya, mengembangkan kompetensi serta mengeksplorasi minat. Pakar gangguan mental pada anak Peter Gray, PhD menyebut, kurang bermain secara aktif membuat anak tak mampu pecahkan masalah dan tidak kompeten.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Schlesinger
Kecanduan Game Elektronik
Anak-anak yang bermain game elektronik di depan layar computer, tablet atau smartphone lebih dari lima jam sehari, menurut riset yang dilansir dalam American Journal of Industrial Medicine menunjukkan kecenderungan lebih mudah depresi dan mengalami masalah emosional. Main game lebih 20 jam seminggu, menyusutkan sel otak yang berkorelasi pada kapasitas untuk mengembangkan empati dan persahabatan.
Foto: dpa
Kebanyakan Konsumsi Gula
Di zaman modern ini konsumsi gula, berupa kue-kue, manisan dan minuman berkarbonasi, amat tinggi di kalangan anak-anak. Peneliti psikiatri Inggris Malcolm Peet membuat analisa yang menunjukan tingginya konsumsi gula berkorelasi erat dengan maraknya kasus depresi dan skizoprenia. Gula juga menekan aktivitas hormon pertumbuhan di otak. Pada penderita depresi dan skizoprenia, level hormon ini rendah.
Foto: Colourbox
Menggunakan Antibiotika
Obat-obatan antibiotika merusak keseimbangan flora dan bakteri usus yang berperan penting menjaga kesehatan mental. Laporan peneliti di McMaster University yang melakukan riset dengan tikus yang diberi antibiotika dalam jangka panjang, menunjukkan hewan ini menjadi lebih mudah cemas dan bagian otaknya yang mempengaruhi emosi serta perasaan juga mengalami gangguan.
Foto: picture-alliance/dpa/F. May
Terpapar Racun
Racun kini cemari lingkungan di mana-mana. Mulai dari pestisida untuk tanaman, bahan pembersih, unsur pengawet, cemaran logam berat pada bahan makanan hingga cemaran dari emisi kendaraan. Dalam bukunya: The UltraMind Solution, Mark Hyman, MD merinci simptoma dari dampak paparan racun, antara lain depresi dan gelisah tanpa sebab. Solusinya, lakukan detoksifikasi untuk menghilangkan gejala depresi.