Thailand Deportasi Pengungsi Rohingnya ke Myanmar
13 Februari 2014 Pemerintah Thailand mendeportasi sekitar 1300 manusia kapal berkebangsaan Rohingya kembali ke Myanmar akhir tahun lalu. Langkah tersebut mengabaikan seruan kelompok hak azasi manusia agar tidak memulangkan kelompok minoritas etnis yang terancam diskriminasi di tanah air sendiri.
Kendati baru diumumkan pekan ini, deportasi terhadap pengungsi Rohingya tersebut dilakukan antara September hingga November tahun lalu, kata perwira kepolisian Thailand, Letjen Pharnu Kerdlarpphon. Ia mengklaim rombongan pencari suaka itu sempat ditahan di berbagai kamp pengungsi di Thailand.
Kabar tersebut pertama kali dimuat di harian berbahasa Inggris, Bangkok post, Kamis (13/2). "Deportasi itu dilakukan secara sukarela. Kami mengirimkan sekitar 100 sampai 200 orang pada setiap gelombang," kata Pharnu kepada kantor berita internasional.
Gelombang Pengungsi dari Myanmar
"Mereka mengatakan tidak bisa memiliki masa depan yang lebih baik selama ditahan di Thailand. Sebab itu mereka memilih kembali ke Myanmar."
Kelompok muslim Rohingya berulangkali menjadi korban diskriminasi di Myanmar. Negeri di tepi teluk Benggala itu menjadi ladang kekerasan sektarian selama nyaris dua tahun yang menyisakan ratusan korban tewas dan lebih dari 140.000 pengungsi. Sebagian besar melarikan diri ke Malaysia.
Sejak Januari silam, pemerintah Thailand telah menangkap lebih dari 1700 pengungsi Rohingnya yang mengalami karam ketika hendak menyeberang lewat laut di Selatan Myanmar. Pharnu mengatakan, delapan pengungsi meninggal dunia akibat penyakit, sementara yang lain berhasil melarikan diri dari kamp pengungsi atau dideportasi ke Bangladesh.
Ancaman Usai Deportasi
Sebaliknya pengungsi Rohingnya yang ditampung di Thailand mengeluhkan kondisi kamp dan kebersihan di penjara. Kelompok HAM berulangkali mendesak pemerintah Thailand agar memberikan akses kepada pengungsi untuk ditampung oleh Badan Pengungsi PBB (UNHCR) dan mendapat status pengungsi.
Gelombang pengungsi Rohingya mengingatkan pada "Boat people" yang marak usai perang Vietnam lebih dari tiga dekade silam. Saat itu dunia internasional berbondong-bondong memberikan bantuan. Sebaliknya buat Rohingnya, hingga UNHCR turun tangan akhir tahun lalu, cuma sekelompok aktivis HAM yang terlibat mengadvokasi.
Kekhawatiran terutama bersumber pada keselamatan pengungsi Rohingya jika kembali pulang ke Myanmar.
"Deportasi ke Myanmar berarti mengembalikan mereka ke tempat di mana mereka bisa menghadapi ancaman bahaya dan presekusi, kata penelitin di Human Rights Watch, Sunai Phasuk di Bangkok. Ia mengklaim, pemerintah Thailand tidak bersikap transparan terkait proses deportasi dan jumlah pengungsi yang telah diusir.
rzn/hp (ap,afp,dpa)