1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Protes Meningkat, Thailand Larang Pertemuan Publik

15 Oktober 2020

Thailand mengeluarkan keputusan darurat yang membatasi transportasi dan publikasi "berita sensitif", serta memberikan wewenang kepada aparat untuk menyelesaikan "situasi darurat" setelah protes anti-pemerintah meningkat.

Aksi protes di Bangkok, Thailand
Foto: Jorge Silva/Reuters

Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha pada Kamis (15/10) telah menandatangani keputusan darurat yang melarang pertemuan publik lebih dari lima orang dan membatasi transportasi.

Keputusan darurat tersebut juga melarang penerbitan “berita sensitif” dan memberikan wewenang kepada kepolisian dan tentara untuk menyelesaikan “situasi darurat”.

Gerakan protes anti-pemerintah yang meningkat pada Rabu malam (14/10) disebut Prayuth sebagai “agresi yang mempengaruhi stabilitas negara”.

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha memberlakukan keputusan darurat setelah protes massal pada Rabu.Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Lalit

“Sangat penting untuk melakukan tindakan mendesak guna mengakhiri situasi ini segera dan secara efektif untuk menjaga perdamaian dan ketertiban,” katanya. Masih belum jelas sampai kapan keputusan darurat ini akan berlaku.

Kutipan alasan lain di balik diberlakukannya tindakan darurat itu adalah terhalangnya iring-iringan mobil kerajaan oleh para pengunjuk rasa pada Selasa (13/10).

Keputusan tersebut mulai berlaku pada hari Kamis (15/10) pukul 4 pagi , setelah aparat kepolisian menduduki jalan-jalan tempat pengunjuk rasa hadir. Pada saat itu, beberapa pengunjuk rasa telah bubar dan berencana berkumpul kembali pada sore hari di persimpangan komersial utama di Bangkok.

Setidaknya tiga pemimpin protes telah ditangkap oleh polisi, demikian menurut keterangan Pengacara HAM Thailand.

Ribuan warga berunjuk rasa serukan reformasi

Sebelumnya pada Rabu (14/10), ribuan warga berunjuk rasa di Gedung Pemerintah untuk menuntut pengunduran diri Prayuth Chan-ocha, mantan panglima militer yang menjadi perdana menteri.

Aksi protes terjadi saat peringatan pemberontakan mahsiswa pada 14 Oktober 1973 yang berujung pada penggulingan kediktatoran militer di Thailand.

Pengunjuk rasa anti-pemerintah di Thailand menyerukan reformasi konstitusiFoto: Athit Perawongmetha/Reuters

Gerakan yang dipimpin para pemuda itu telah melakukan demontrasi sejak Juli lalu. Aksi protes dilakukan untuk mendorong perombakan pemerintah, konstitusi baru, dan diakhirinya pelecehan terhadap kritikus pemerintah. 
Beberapa warga bahkan telah membuat seruan kontroversial untuk melakukan reformasi monarki, yang telah lama dianggap sebagai bagian keramat dari identitas Thailand.

Pada bulan lalu, puluhan ribu pengunjuk rasa pro-demokrasi muncul di Bangkok dan menggelar salah satu unjuk rasa terbesar di negara itu dalam beberapa tahun terakhir.

Para aktivis berpendapat bahwa Perdana Menteri Prayuth, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada tahun 2014, memanipulasi pemilihan umum yang digelar tahun lalu guna memastikan militer tetap memegang kendali. Tuduhan tersebut dibantah oleh Prayuth.

Beberapa pengunjuk rasa mengatakan kekuasaan raja harus dibatasi.Foto: Jorge Silva/Reuters

Para pengunjuk rasa juga menyerukan pembatasan kekuasaan konstitusional raja, termasuk mengembalikan kendali yang dia ambil atas beberapa unit tentara. Namun, tuntutan publik ini direspons dengan reaksi keras pihak royalis.

Di bawah undang-undang pencemaran nama baik kerajaan Thailand, kritik terhadap monarki dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

gtp/ha (Reuters, dpa)


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait