1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Thailand Perlu Dialog dan Kompromi

as14 April 2009

Model pemerintahan demokratis di Thailand sudah berakhir. Kini diperlukan dialog antar semua golongan.

Situasi aktual di Thailand menjadi topik komentar dalam tajuk sejumlah harian internasional.

Harian Inggris The Guardian yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar :

Seharusnya Thailand tidak berada dalam situasi krisis. Dan semua pihak memikul tanggung jawab atas situasi di negara tsb hingga sampai pada tahapan separah itu. Walaupun berulangkali terjadi kudeta, monarki di Thailand telah membentuk budaya demokrasi. Seharusnya negara ini cukup kuat menghadapi korupsi dan resesi. Akan tetapi demokrasi di Thailand gagal, akibat para politisi yang manipulatif serta kemarahan publik, dipicu perasaan yang memang dapat dipahami, bahwa mereka dijadikan sapi perahan dan mengalami ketidak adilan.

Harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel berkomentar :

Dialog dan upaya untuk kompromi menjadi alternatif satu-satunya menimbang situasi yang eksplosif. Akan tetapi masyarakat Thailand terpecah amat dalam, dan sementara ini semua bungkam. Selain itu militer telah melarang hampir 150 tokoh politik dari kubu Thaksin Shinawatra melakukan kegiatan politik praktis selama beberapa tahun. Sebuah kompromi amat penting bagi berlanjutnya monarki di negara itu. Memang aksi protes kelompok baju merah sejauh ini ditujukan kepada Prem Tinsulandonda pensiunan jenderal yang menjadi penasehat utama raja Bhumibol. Akan tetapi kenyataan sebenarnya di belakang segala aksi protes terhadap pensiunan jenderal itu, adalah rasa tidak puas amat besar terhadap sikap raja dan keluarganya.

Harian liberal kiri Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar :

Pilihan antara kelompok populis di satu sisi, dengan pemerintah saat ini yang didukung militer dan Raja di sisi lainnya, adalah karikatur paling pahit yang harus dihadapi negara seperti Thailand yang demokrasinya masih berkembang. Kekacauan di Bangkok berarti berakhirnya model pemerintahan Asia, yakni pemerintahan paternalistik otoriter yang kini memerintah dari Singapura hingga Beijing. Stabilitas yang direkayasa dari model pemerintahan semacam ini dengan berbagai variasinya, dihantam keras oleh badai krisis keuangan dan ekonomi. Dan itu bukan hanya terjadi di Thailand saja.

Terakhir harian Austria Salzburger Nachrichten yang terbit di Salzburg menulis komentar bernada lebih positif :

Rakyat Thailand terpecah. Setiap pemerintahan lemah. Kekuatan moral kerajaan juga mulai luntur. Hal ini mengingatkan kita pada situasi di Nepal beberapa waktu lalu, ketika raja digulingkan oleh pemberontak berhaluan Maoist. Jika bentrokan terus berlanjut, dan gambaran Bangkok yang dipenuhi kerusuhan di jalanan yang dijaga panser dan serdadu mendominasi, dampaknya akan terasa di sektor pariwisata. Padahal inilah sumber uang bagi rakyat Thailand yang kini semakin makmur. Jika sumber uang macet, konflik sosial akan semakin tajam dan memicu radikalisme politik. Akan tetapi masih ada harapan, seperti contohnya Indonesia ketika dilanda kerusuhan dan tumbangnya rezim Suharto. Ketika itu, tidak ada satupun negara yang berharap banyak terhadap masadepan Indonesia. Sekarang, model demokrasi di negara kepulauan dengan populasi Muslim terbanyak di dunia ini, dijadikan teladan oleh semua pihak.