1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintah Tibet Masih Perjuangkan Kemerdekaan Dari Cina 

Alistair Walsh
8 Oktober 2020

Cina menggiatkan proyek infrastruktur di Tibet. Tapi pembangunan diyakini hanya menguntungkan mayoritas Han yang kian lama kian dominan, keluh pemerintahan eksil Tibet dalam peringatan 70 tahun Aneksasi Cina. 

Istana Potala di Lhasa, ibukota daerah otonomi Tibet, Cina.
Istana Potala di Lhasa, ibukota daerah otonomi Tibet, Cina.Foto: REUTERS

Kepala pemerintahan eksil Tibet, Lobsang Sangay, dalam wawancaranya dengan DW, mengatakan pihaknya masih memperjuangkan otonomi, 70 tahun setelah aneksasi Cina 1950-1951.  

“Situasinya sulit karena Anda berada di pengasingan, dan apapun yang terjadi di seluruh dunia ikut berdampak pada Anda, termasuk pemilu kepresidenan di Amerika atau pergantian perdana menteri di Jepang, atau negara lain di Eropa.” 

Sangay mengatakan peringatan 70 tahun aneksasi Cina menyisakan kenangan pahit buat pelarian Tibet di luar negeri. “Peringatan ini berarti kehancuran, pendudukan ilegal dan penjajahan berdarah terhadap rakyat Tibet,” imbuhnya. 

Cina memulai aneksasi Tibet pada 6 Oktober 1950, ketika Tentara Pembebasan Rakyat menduduki kota Chamdo di perbatasan. Tibet saat itu merupakan sebuah kerajaan independen. Untuk mengakhiri pertumpahan darah, Dalai Lama ke14 menyetujui 17 Butir Perjanjian Damai pada Oktober 1951 dengan syarat otonomi regional bagi Tibet. 

Adapun pemerintahan Tibet, Administrasi Pusat Tibet, dibentuk tahun 1959 dan bermarkas di India. Kepala pemerintah dipilih oleh kaum diaspora dan pengungsi Tibet di luar negeri. 

Lembaga ini menolak 17 Butir Perjanjian Damai dan bersikukuh pada status Tibet sebagai bangsa independen. Sangay sendiri memeritah sejak 2011, ketika Dalai Lama mengundurkan diri sebagai pemimpin politik Tibet. 

Pasukan Pembebasan Rakyat Cina (PLA) melancarkan invasi ke Tibet sejak tanggal 6 Oktober 1950 dan berlangsung selama satu tahun. Foto: picture-alliance / United Archives/TopFoto

Sebaliknya pemerintah Cina melihat Tibet sebagai bagian dari wilayahnya sejak ratusan tahun silam, dan periode kemerdekaan pasca deklarasi 1913 hingga pendudukan pada 1950 dianggap sebagai anomali sejarah. 

Batu loncatan bagi hegemoni Cina 

Kepada DW, Sangay menuduh Cina sejak lama ingin menggunakan Tibet sebagai batu loncatan menuju India, Bhutan dan Kashmir. 
“Pemimpin Cina seperti Mao Zedong mengatakan Tibet adalah telapak tangan, sementara lima jarinya adalah Ladar, Nepal, Sikkim, Bhutan dan Arunachal Pradesh,” di India. 

Dia merujuk pada kebijakan Mao pada 1940an, yang menurutnya kembali dihidupkan menyusul kisruh di perbatasan Sino-India baru-baru ini. 

“Xi Jinping sendiri yang bilang bahwa stabilitas dan keamanan Cina bergantung pada stabilitas dan keamanan Tibet. Jadi bagi Cina, Tibet sangat penting.” 

“Ketika dia berkata damai, dia bermaksud pembunuhan warga Tibet, ketika dia bilang stabilitas, artinya represi terhadap rakyat Tibet, penguasaan atas Tibet. Itu lah yang dia maksudkan.” 

Perihal derasnya investasi pemerintah Beijing di Tibet, Sangay meyakini pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kemakmuran hanya menguntungkan warga Han Cina. Pemerintah pusat dikabarkan berencana mengucurkan dana infrastruktur senilai USD 147 miliar, termasuk untuk rel kereta api dan pembangunan jalan. 

“Jalur kereta akan membawa lebih banyak warga Cina ke Tibet dan memindahkan semakin banyak sumber daya alam Tibet ke Cina,” kata dia. “Sama saja, jalan menghubungkan Cina dengan SDA kami. Sementara bandara akan mendatangkan lebih banyak tentara.” 

“Ini adalah dorong asimilasi. Jika mereka berbicara tentang pembangunan. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan? Dan kebanyakan warga Cina sendiri yang diuntungkan dengan adanya proyek pembangunan di Tibet.” 

rzn/hp

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait