Perang saudara di Suriah sedang memasuki titik balik. Berkat dukungan Rusia dan Iran, Presiden Bashar al Assad kini menjadi bagian tak terpisahkan bagi masa depan negara tersebut. Editorial Grahame Lucas.
Iklan
Sejumlah perkembangan terbaru dalam perang saudara di Suriah berimbas besar pada masa depan negeri tersebut.
Pertama, intervensi militer Rusia menempatkan Presiden Bashar Assad dalam posisi unggul untuk pertamakalinya sejak bertahun-tahun. Sementara perundingan damai di Jenewa menemui jalan buntu, sang diktatur tidak lagi memiliki alasan untuk kembali ke meja perrundingan.
Presiden Rusia, Vladimir Putin juga telah menekankan pihaknya akan mempertahankan kekuasaan Bashar al Assad. Sikap tersebut selaras dengan kebijakan Timur Tengah ala Rusia dan akan memperkuat hubungan antara Rusia dan Iran. Assad sekali lagi menjadi bagian tak terpisahkan dari masa depan Suriah.
Kedua, serangan udara Rusia terhadap Aleppo memicu gelombang baru pengungsi yang kini memenuhi perbatasan Turki. Jika Turki mengizinkan mereka masuk, para pengungsi itu akan membanjiri Eropa melalui jalur Balkan dan akan menciptakan krisis kemanusiaan yang tidak mampu diatasi oleh Eropa.
Masuknya satu juta penfgungsi saja telah mengancam masa depan perjanjian tanpa batas alias kesepakatan "Schengen." Sejumlah negara-negara Eropa timur bahkan telah menolak membantu Eropa dalam mengatasi krisis pengungsi.
Terlebih arus pengungsi juga ikut membumbui perdebatan seputar keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Saat ini kampanye untuk keluar dari Uni Eropa untuk pertamakalinya memimpin dalam jajak pendapat. Krisis pengungsi nyatanya menimbulkan keraguan terhadap masa depan Uni Eropa.
Tapi di mana jawaban atas krisis pengungsi bisa ditemukan? di Suriah? Negara-negara barat terus membombardir Islamic State dan berharap perundingan damai akan kembali dilanjutkan demi sebuah Suriah, yang mungkin demokratis, tanpa Bashar al Assad.
Barack Obama dan negara barat lain tidak berniat melakukan intervensi militer. Karena risikonya jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang bisa dipetik. Tidak ada yang melupakan dampak negatif Perang Irak tahun 2003 silam.
Jadi ketika barat cuma menyaksikan dari jauh dan tidak punya solusi untuk mendamaikan Suriah serta menghentikan arus pengungsi, masa depan negara tersebut akan ditentukan oleh Rusia. Suatu saat pesawat tempur kiriman Putin akan membombardir Islamic State, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap kelompok oposisi.
Serangan tersebut akan membuka jalan pasukan Assad untuk merebut kembali wilayah yang hilang. Mungkin pula Rusia, Assad dan Iran akan keluar sebagai pemenangan dalam konflik ini. Tapi pecundangnya tetap warga sipil Suriah.
Inilah Aktor Utama Perang Suriah
Konstelasi konflik Suriah kini makin rumit. Perang dipicu ketidakpuasan rakyat atas rezim di Damaskus. Tapi di belakang layar juga ada negara lain yang ikut terlibat, baik yang punya kepentingan atau tunggangi konflik.
Foto: picture alliance/AP Photo/A. Kots
Bashar al Assad
Presiden Suriah ini bersama rezim di Damaskus adalah penyebab utama pecahnya perang saudara yang dimulai 2011. Rakyat yang tak puas atas kepemimpinannya 4 tahun silam menggelar berbagai aksi protes yang dijawab dengan tembakan peluru tajam. Sumbu peledak perang adalah tewasnya beberapa remaja yang menggambar grafiti anti Assad di tahanan aparat keamanan.
Foto: AP
Pemberontak Suriah
Mereka menamakan diri kelompok oposisi. Dalam kenyataanya mereka adalah kelompok militan yang punya berbagai agenda, dan kebetulan punya satu sasaran, yaitu menumbangkan rezim Bashar al Assad. Kelompok paling menonjol adalah Free Syrian Army, serta Front al Nusra yang merupakan cabang al Qaida di Suriah. Akibat perang saudara, 300.000 tewas dan lebih 12 juta warga Suriah mengungsi.
Foto: Reuters
Islamic State (IS)
Walaupun baru muncul awal tahun 2014, IS merupakan kelompok bersenjata paling kuat dan ditakuti. Kelompok Sunni ini didukung pakar militer bekas pasukan elit Saddam Hussein dari Irak. Anggotanya berdatangan dari berbagai negara Eropa. Kebanyakan anak muda, militan, radikal, dan punya keahlian di bidang militer maupun teknologi informatika. IS kini menguasai kawasan luas di Suriah dan Irak.
Foto: picture-alliance/Balkis Press
Arab Saudi
Merupakan negara pendukung kelompok pemberontak Sunni di Suriah. Arab Saudi terutama ingin menumbangkan rezim Assad dan meredam hegemoni penunjang kekuasaanya, yaitu Iran. Mereka sekaligus juga memerangi IS agar tidak semakin kuat. Riyadh punya kepentingan agar Suriah tidak runtuh, yang akan menyeret Libanon dan Irak serta seluruh kawasan ke situasi chaos.
Foto: picture-alliance/AP/Manish Swarup
Iran
Sebagai negara pelindung kaum Syiah, Iran mendukung milisi Hisbullah di Libanon yang bertempur membela rezim Al Assad. Iran juga mengirim tentara serta penasehat milternya ke Damaskus. Mula-mula kehadiran Iran tidak dianggap. Tapi perkembangan situasi menyebabkan pemain besar lainnya kini mulai merangkul pemerintah di Teheran untuk solusi krisis Suriah.
Foto: AP
Turki
Ankara takut terbentuknya negara Kurdistan di Suriah. Karena itu dengan segala cara hal ini hendak dicegah. Turki juga "melatih" pemberontak Suriah dengan dibantu biaya AS. Presiden Recep Tayyip Erdogan juga berseteru dengan Assad. Selain itu kaum Kurdi di Irak juga makin kuat karena mendapat dukungan Iran. Inilah yang membuat Turki mengerahkan militernya ke perbatasan atau melewatinya.
Foto: AP
Amerika Serikat
Keterlibatan Washington di kawasan dimulai 2003 dengan tumbangkan penguasa Irak, Saddam Hussein. Vakum kekuasaan picu runtuhnya Irak dan destabilisasi keamanan hingga ke Suriah. Kondisi ini yang juga ciptakan Islamic State (IS) yang mampu kuasai kawasan luas di Irak dan Suriah. AS juga membiayai pelatihan pemberontak "moderat" dengan dana 500 juta US Dolar, sebagian menyeberang ke Al Qaida.
Moskow dikenal sebagai pendukung rezim di Damaskus. Akhir 2015 Rusia memutuskan lancarkan serangan udara terhadap IS. Operasi militer ini memicu kecaman di kalangan NATO. AS dan Turki mengklaim serangan udara Rusia ditujukan ke kelompok pemberontak anti Assad. Insiden penembakan jet Rusia oleh militer Turki makin panaskan situasi.