1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Tidak Ada Perspektif bagi Warga Muslim Rohingya di Myanmar

24 Agustus 2022

Kudeta militer yang berlanjut menjadi perang saudara di Myanmar telah mengubah sikap sebagian kalangan terhadap etnis Rohingya yang dibenci. Tapi itu tidak mengubah kesengsaraan mereka.

Pengungsi Rohingya yang berhasil mencapai pantai Bangladesh dengan perahu
Pengungsi Rohingya yang berhasil mencapai pantai Bangladesh dengan perahuFoto: Danish Siddiqui/REUTERS

Lima tahun lalu, pada Agustus 2017, pasukan Myanmar melancarkan apa yang disebut "operasi pembersihan" terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine barat laut di perbatasan ke Bangladesh. Banyak warga sipil dibunuh, perempuan dan anak perempuan diperkosa, seluruh desa dibakar habis. Sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke negara tetangga Bangladesh, di mana mereka masih tinggal di kamp-kamp pengungsi sampai saat ini.

Militer Myanmar membenarkan operasi tersebut sebagai tanggapan atas serangan kelompok bersenjata Arakhan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok perlawanan militan Rohingya yang telah menyerang beberapa kantor polisi beberapa hari sebelumnya. PBB dan organisasi hak asasi manusia mengutuk operasi militer itu sebagai tidak proporsional dan menuduh pasukan Myanmar telah melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Saat ini gugatan sudah diajukan ke Pengadilan Internasional di Den Haag.

Bangladesh bersedia menerima para pengungsi Rohingya, namun kehidupan mereka di kamp-pengungsi tidak memiliki prospek: Mereka hidup dalam kondisi yang menyedihkan dengan kebebasan bergerak yang terbatas. Kekerasan dan pelecehan sering terjadi di kamp pengungsi.

Sejarah panjang diskriminasi

Kaum Rohingya, yang tidak diakui sebagai minoritas resmi di Myanmar, telah didiskriminasi dan dibenci selama beberapa dekade. Banyak dari mereka tidak memiliki kewarganegaraan yang sah, dan akibatnya tidak dapat bergerak bebas atau menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tidak juga tidak mendapatkan layanan perawatan medis. Lebih dari satu juta warga Rohingya saat berada di Bangladesh dan antara 300.000 sampai 400.000 berada di negara lain dalam pengungsian. Sekitar 400.000 orang masih berada di Myanmar, sebagian besar di kamp-kamp dekat Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, tempat sebagian besar Rohingya tinggal sebelum mereka dipindahkan. Mayoritas penduduk di Negara Bagian Rakhine adalah orang Arakan, sebuah kelompok etnis Buddha yang telah berkonflik dengan pemerintah pusat dan militer Myanmar selama beberapa dekade.

Banyak penduduk Myanmar menganggap Rohingya sebagai migran ilegal dari Bangladesh. Padahal sebagian besar Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Selain itu, menurut tuduhan yang sering diungkapkan, sebagai Muslim mereka memiliki terlalu banyak anak, menikahi perempuan Buddha dan dengan demikian membahayakan agama Buddha di Myanmar. Teori konspirasi anti-Buddha ini sering disebarkan oleh biksu-biksu nasionalis dalam video khotbah dan di media sosial, terutama sebelum tahun 2017. Prasangka terhadap Rohingya diskriminasi secara sistematis sudah terjadi selama beberapa dekade.

Setelah terjadi kudeta militer, kubu penentang rezim militer membentuk Pemerintah Persatuan Nasional, NUG, yang dibentuk sebagai pemerintahan tandingan. Sikap mereka terhadap Rohingya juga mulai berubah. Dalam sebuah pernyataan pada Juni 2021, yang ditegaskan kembali pada Maret 2022, disebutkan: "Politisi (NUG) berkomitmen untuk pengembalian pengungsi Rohingya dan pengungsi internal secara aman, sukarela, bermartabat dan berkelanjutan, serta reformasi legislatif dan politik yang komprehensif untuk mempromosikan hak-hak sipil, kesetaraan dan peluang yang sama, keadilan dan reparasi." NUG mengangkat seorang wakil Rohingya, Aung Kyaw Moe, sebagai penasehat hak asasi.

Kawasan konflik Rakhine di perbatasan Myanmar-Bangladesh

Repatriasi saat ini tidak mungkin

Terlepas dari sikap masyarakat Myanmar terhadap Rohingya, jelas bahwa pemulangan pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar belum mungkin dilakukan saat ini. Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet dalam kunjungannya ke Bangladesh awal Agustus 2022 juga hanya satu kali membahas soal repatriasi: "Repatriasi harus dilakukan selalu sukarela dan bermartabat, dan hanya dapat dilakukan jika ada situasi yang aman di Myanmar, dan jika kondisi ini berlaku secara berkelanjutan."

Aung Kyaw Moe, warga Rohingnya yang menjadi pensehat NUG mengatakan kepada DW, situasi di Negara Bagian Rakhine hingga kini belum membaik: "Kondisinya hampir sama dengan tahun 2017."

Myanmar saat ini sedang dalam perang saudara, sedangkan ekonominya sedang sedang kacau balau. Itu berarti, etnis Rohingya tetap tidak punya perspektif apa-apa, bahkan tidak bisa mengharapkan sesuatu perkembangan positif. Apalagi di Negara Bagian Rakhine, sekarang militer Myanmar sedang terlibat pertempuran dengan kelompok bersenjata Tentara Arakan.

(hp/yf)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait