Kekhawatiran Indonesia akan berubah menjadi negara yang bersyariat Islam dan berbentuk khilafah muncul belakangan ini di kalangan minoritas. Islamisasi dan arabisasi dianggap sebagai ancaman. Haruskah cemas?
Iklan
Seorang kenalan minoritas ganda (keturunan Tionghoa dan beragama Kristen) meyakini jumlah mereka yang ingin mengubah Indonesia menjadi khilafah sudah mencapai jutaan orang. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), hanya 3,5% pemilih muslim yang ingin Indonesia seperti Timur Tengah Arab. Klaim soal penerapan Syariat Islam dan terutama khilafah memang disebarluaskan dalam percakapan terbatas di sejumlah grup WhatsApp dan cenderung memberi kesan negatif bagi kelompok minoritas.
Patut dipahami bahwa kelompok minoritas tidak anti Islam atau Islamophobia tetapi yang dikhawatirkan adalah khilafah. Seperti diketahui di dalam sebuah khilafah ada kewajiban membayar pajak perlindungan atau jizyah dan warga non-Islam termasuk sebagai budak atau dhimmi.
Khilafah mengacu konsep Islam dipimpin oleh satu orang pemimpin. Saya sangat yakin untuk memilih seorang pemimpin bagi seluruh umat Islam di dunia tidak mudah. Kekhalifahan Islam bukan hanya di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia. Yang mungkin terjadi di Indonesia adalah perubahan konstitusi dan dasar negara sehingga NKRI berubah. Guna mencegah upaya perubahan ideologi maka rakyat harus memilih anggota DPD dan DPR (juga DPRD) dari partai politik yang pluralis, nasionalis dan Pancasilais dengan demikian khilafah tidak bisa terwujud dalam sistem demokrasi.
Tetapi dalam demokrasi, islamisasi dan arabisasi tidak bisa dicegah. Apalagi dalam keseharian memang terlihat masyarakat Indonesia makin Islami. Saat ini adalah hal yang biasa melihat perempuan berjilbab, bahkan anak balita sudah dibungkus jilbab oleh orangtuanya. Sejak tahu 2015, polisi wanita (polwan) dan TNI pun boleh berjilbab. Jilbab yang sempat dilarang selama Orde Baru menjadi ukuran yang paling mudah dilihat di Indonesia.
Putri Soeharto, Mbak Tutut di periode terakhir masa pemerintahan Soeharto baru tampil berkerudung guna meraih simpati masyarakat Islam. Seorang dosen di sebuah universitas negeri di Jawa Tengah menceritakan pengalamannya naik maskapai penerbangan nasional dan pilot berbicara menyapa penumpang saat mau lepas landas. Namun kali ini ada yang berbeda, sang pilot menyapa diawali dengan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dosen yang beragama Islam ini mengeluh, "Terlalu banyak agama di ruang publik yang tak perlu.”
Bagi kelompok minoritas, wajah islamisasi (semakin terlihat Islam) dan arabisasi (serba Arab) di masyarakat memang terlihat semakin menonjol. beberapa kalangan masyarakat lebih ingin tampil serba Arab karena Arab Saudi dianggap sebagai lokasi lahirnya Islam. Misal menamai nama anak dengan nama berbau Arab alih-alih nama Jawa atau Sansekerta, misalnya. Arabisasi saat mengucapkan terima kasih, selamat ulang tahun dan menyapa saudara atau Anda dalam bahasa Arab. Hal yang paling terlihat jelas adalah berpakaian.
Para lelaki di Indonesia sudah mulai terbiasa terlihat seperti pria Arab dengan jubah bukan sarung dan sorban bukan peci. Para perempuan tidak sekadar berjilbab tetapi bercadar. Arabisasi sepertinya langkah lanjutan untuk menunjukkan adanya islamisasi. Jika sebelumnya hanya memendekkan panjang celananya agar tidak menyentuh mata kaki dan memanjangkan janggut, kini bergamis menjadi tren.
Rentang Sejarah Perjuangan Perempuan di Arab Saudi
Hak perempuan di Arab Saudi adalah sebuah kisah perjuangan panjang yang berjalan perlahan. Berkat tekanan internasional dan keberanian generasi baru Monarki di Riyadh, perempuan mulai diberikan kebebasan di ruang publik.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Ammar
1955: Sekolah Perempuan Pertama, 1970: Universitas Perempuan Pertama
Perempuan Arab Saudi awalnya tidak diizinkan mengeyam pendidikan dasar. Hingga akhirnya sekolah khusus perempuan, Dar al-Hanan, dibuka tahun 1955. Namun butuh waktu hampir dua dekade bagi perempuan untuk bisa mendapat akses menuju perguruan tinggi, yakni Riyadh College of Education yang beroperasi tahun 1970.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2001: KTP Perempuan
Pada awal abad ke 21 perempuan untuk pertamakalinya mendapat Kartu Tanda Penduduk. KTP membantu kaum perempuan Saudi dalam kasus hukum seputar warisan atau properti. Awalnya perempuan harus mendapat izin dari wali laki-laki untuk mendapat KTP. Aturan tersebut dilonggarkan pada 2006 ketika perempuan bebas mendapat KTP tanpa izin walinya.
Foto: Getty Images/J. Pix
2005: Akhir Pernikahan Paksa
Pemerintah Arab Saudi secara resmi melarang pernikahan paksa pada 2005. Namun kontrak nikah antara calon pengantin pria dan orangtua perempuan masih marak dilakukan. Kontrak semacam itu mewajibkan perempuan menikahi pria pilihan orangtua.
Foto: Getty Images/A.Hilabi
2009: Perempuan Pertama di Pemerintahan
Pada 2009 raja Abdullah mengangkat perempuan untuk jabatan tinggi di pemerintahan. Noura al-Fayez hingga kini adalah wakil Menteri Pendidikan Arab Saudi. Ia bertugas mengurusi pemberdayaan perempuan.
Foto: Foreign and Commonwealth Office
2012: Atlit Olympiade Perempuan
Keberadaan Noura al-Fayez di pucuk pemerintahan banyak mengubah nasib atlit perempuan Arab Saudi. Pada 2012 untuk pertamakalinya Riyadh mengizinkan perempuan mengikuti Olympiade di London. Salah satunya adalah Sarah Attar, atlit lari di cabang 800 meter. Sebelumnya Komite Olympiade Internasional diisukan bakal melarang keikutsertaan Arab Saudi jika Riyadh melarang partisipasi perempuan.
Foto: picture alliance/dpa/J.-G.Mabanglo
2013: Izin Bersepeda dan Sepeda Motor
Setahun setelah Olympiade, pemerintah Arab Saudi untuk pertamakalinya mengizinkan perempuan menggunakan sepeda dan sepeda motor. Namun begitu kelonggaran tersebut bukan tanpa catatan. Perempuan hanya diizinkan bersepeda atau mengendarai sepeda motor di area rekreasional, diwajibkan mengenakan niqab dan didampingi wali pria.
Foto: Getty Images/AFP
2013: Perempuan di Majelis Syura
Pada Februari 2013 Raja Abdullah melantik 30 perempuan untuk Majelis Syura, dewan pertimbangan Arab Saudi. "Perubahan ini harus dilakukan secara gradual," kata Abdullah tentang hak perempuan. Tidak lama setelah keputusan tersebut, perempuan diizinkan untuk mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Foto: REUTERS/Saudi TV/Handout
2015: Hak Pilih dan Dipilih
Pemilihan komunal 2015 di Arab Saudi ditandai dengan peristiwa bersejarah: untuk pertamakalinya perempuan diizinkan memilih dan dapat mencalonkan diri untuk jabatan publik. Sebagai hasilnya sebanyak 20 perempuan terpilih untuk berbagai jabatan di tingkat pemerintah kota.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Batrawy
2017: Direktur Bursa Saham Perempuan
Pada Februari 2017, bursa saham Arab Saudi menunjuk Sarah al-Suhaimi sebagai direktur. Putri bankir berusia 37 tahun ini ikut merangkai salah satu penawaran umum perdana paling akbar sejagad, yakni ketika perusahaan minyak negara Aramco melepas sebagian kecil sahamnya ke lantai bursa.
Foto: pictur- alliance/abaca/Balkis Press
2018: Perempuan di Kemudi
Pada 26 September 2017, pemerintah Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diperbolehkan mengemudi mobil mulai bulan Juni 2018. Mereka nantinya tidak perlu meminta izin wali pria untuk mendapatkan surat izin mengemudi dan tidak perlu mengajak walinya untuk ikut menemani ketika mengemudi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Jamali
2018: Perempuan di Stadion Olahraga
Tidak lama berselang, pada 29 Oktober 2017, otoritas olahraga Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diizinkan untuk menginjakkan kaki di stadion olahraga. Tiga stadion yang tadinya hanya mengizinkan penonton laki-laki juga akan dibuka buat perempuan pada awal 2018.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2019: Perempuan Saudi akan mendapat notifikasi melalui pesan singkat jika mereka diceraikan
Hukum baru dirancang untuk melindungi perempuan saat pernikahan berakhir tanpa sepengetahuan mereka. Perempuan dapat mengecek status pernikahannya online atau mendapatkan fotokopi surat tanda cerai dari pengadilan. Hukum ini tidak sepenuhnya melindungi perempuan karena cerai hanya dapat diajukan dalam kasus yang sangat terbatas dengan persetujuan suami atau jika suami melakukan tindak kekerasan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Ammar
12 foto1 | 12
Menarik minat pada keislaman dilakukan para pemuka agama menggunakan bahasa populer seperti "Indonesia Tanpa Pacaran”, "Kelas Poligami” "#2019TambahIstri”, "Gerakan Menutup Aurat” dan Gerakan Hijrah yang setahun belakangan ini populer menandai semangat migrasi dari duniawi menjadi spiritual.
Tahun lalu sebuah acara bertajuk Festival Hijrah dengan target anak muda digelar di tempat bergengsi di Jakarta, harga tiket cukup mahal tetapi laris manis. Di sini selain ada ceramah para ustadz kondang, aneka produk Islami (wisata halal, salon halal, kulkas halal), juga disediakan jasa hapus tato untuk para pria bertato yang ingin hijrah. Menghapus tato adalah tanda tobat, hijrah dari gaya hidup lama menjadi alim. Di pengajian ibu-ibu dipopulerkan istilah SAGITA yang merupakan kependekan dari sabar, giat dan taat.
Saya menilai arabisasi tidak mengganggu kepentingan publik karena tidak berdampak terhadap hak orang lain. Dampak arabisasi adalah budaya Indonesia seperti kebaya dan sanggul akan tergerus, tarian adat bisa dianggap erotis dan patung dan stupa bisa dianggap haram. Budaya suku-suku di Nusantara (tahlilan) atau tradisi Barat seperti Hari Kasih Sayang dan Perayaan Malam Tahun Baru dianggap bertentangan dengan ritual Islam. Namun kita tidak bisa melarang orang untuk berhijrah, berjilbab, bergamis dan memilih nama berbau Arab, bukan? Saya lebih mengkhawatirkan islamisasi dalam regulasi yang bisa mempengaruhi kebijakan publik dan bisa berdampak terhadap hak-hak minoritas.
Bentuk Islamisasi di Indonesia
Kegalauan saya terhadap islamisasi bersumber dari fakta semakin banyaknya perda syariah di Indonesia. Dalam rentang Reformasi sejak 1998 hingga 2013 terdapat 443 perda syariah di 34 provinsi. Bahkan perda syariah di Jawa Timur, yang merupakan basis ormas Islam terbesar di Indonesia Nadhatul Ulama ada 32 perda, jauh lebih banyak daripada Aceh dengan 25 perda.
Wajah islami pun terlihat dalam pendidikan agama di Indonesia. Bahan ajar kurang inklusi dan sekolah-sekolah negeri untuk umum di Indonesia yang cenderung mengharuskan berjilbab. Kampus-kampus diisi oleh dosen yang makin konservatif dan gerakan kemahasiswaan yang akrab dengan ideologi radikal. Paradigma harus Islam ini paling berdampak pada pemilihan umum daerah. Ayat demi ayat yang mengimbau untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim terjadi di Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Sumatera Utara.
Saya perhatikan, semakin konservatif dan teguh dalam beragama namun semakin berjarak dengan yang berbeda agama. Masyarakat semakin tersekat-sekat terutama karena suku, agama, ras (anti China dan Yahudi) dan antar golongan (isu PKI masih beredar meski tidak pernah kelihatan batang hidungnya). Intoleransi sosial makin menguat, contohnya penolakan makam orang yang berbeda agama di tanah pemakaman desa. Sedangkan diskriminasi belum pudar yang dibuktikan masih penolakan rumah ibadah. Paling tidak ada 32 gereja dan lima masjid Ahmadiyah ditutup selama lima tahun belakangan ini.
Menurut data Human Right Watch terdapat 22 korban pasal penodaan agama dalam lima tahun terakhir termasuk Meiliana yang dipenjara 18 bulan akibat protes suara azan. Pasca unjuk rasa terhadap mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang dituduh menghina agama, pamor kekuatan massa Islam naik sehingga menarik suara Islam dianggap signifikan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Lima Negara Asia Penyumbang Terbesar Serdadu ISIS
Diperkirakan sebanyak 1000 orang asal Asia berperang di bawah bendera Islamic State. Indonesia dan Cina perlahan menjadi lahan subur buat perekrutan gerilayawan IS, dengan Malaysia sebagai persinggahan.
Foto: Graham Denholm/Getty Images
Cina
Sebanyak 300 warga Cina telah bergabung dengan ISIS, kata Meng Hongwei, Menteri Ketertiban Umum. Kebanyakan termasuk kelompok etnis minoritas muslim, Uighur. Uniknya, 'relawan' negeri tirai bambu itu berangkat ke Suriah lewat Malaysia. "Mereka menggunakan Malaysia sebagai terminal," ujar Meng.
Foto: Getty Images
Indonesia
Hingga akhir tahun lalu pemerintah di Jakarta mencatat 60 WNI yang diduga kuat hijrah ke Suriah demi ISIS. Baru-baru ini 16 orang dikabarkan menghilang dari rombongan wisata saat berkunjung ke Turki. Mereka pun diyakini sengaja memisahkan diri untuk menyebrang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Foto: Anwar Mustafa/AFP/Getty Images
Pakistan
Negeri di jantung Asia Selatan ini paling banyak menyumbangkan serdadu buat ISIS. Tercatat sebanyak 330 warga Pakistan bergabung dengan Islamic State di Suriah. NATO juga memastikan, ISIS banyak melakukan upaya perekrutan di wilayah kesukuan yang terletak di perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Mereka terutama mendekati klan setempat atau bekas gerilayawan Taliban.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Guez
Afghanistan
Hindukush sejatinya termasuk negara yang dihindari Islamic State lantaran keberadaan Taliban. Namun menurut laporan militer Amerika Serikat, belakangan kelompok teror pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu mulai merambah ke Afghanistan dengan merekrut kelompok pecahan Taliban. Hingga Desember tahun lalu pemerintah di Kabul mencatat 23 warganya hijrah ke Suriah demi ISIS.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Khaliq
Australia
Tahun lalu sebanyak 90 warga negara Australia terbang ke Suriah buat bergabung dengan ISIS, kata Jaksa Agung George Brandis. Secara keseluruhan, kontingen Australia yang bekerja untuk Islamic State berjumlah 250. Canberra berupaya mencegah eksodus warganya dengan memberlakukan undang-undang baru yang melarang warganya berpergian ke wilayah tertentu tanpa izin, antara lain Raqqa, Suriah.
Foto: Graham Denholm/Getty Images
5 foto1 | 5
Perlukah Cemas Terhadap Islamisasi?
Di dalam percakapan di media sosial, beberapa teman muslim menegaskan Syariat Islam tidak berlaku untuk non-Islam. Tentu hal ini melegakan. Namun dari penerapan di Aceh, saat saya ke daerah Aceh Singkil sebuah SD Negeri mengharuskan siswa Kristen di untuk belajar agama Islam, baca-tulis Alquran dan sejarah Islam. Guru agama Kristen di SD ditugaskan mengajar matematika. Ini contoh dampak penerapan syariat Islam terhadap minoritas.
Dalam sebuah diskusi, Profesor Ariel Heryanto yang saat ini mengajar di Monash University, Melbourne, Australia bertanya, "Kenapa baru sekarang ada Islamisasi, kenapa bukan dari dulu?” Selama 30 tahun islamisasi terjadi perlahan-lahan, terselip melalui perubahan gaya hidup. Dalam bahasa Ariel Heryanto, ini adalah "Pop Islam”, Islam sehari-hari yang modern dan kosmopolitan sehingga tidak menakutkan. Beberapa hari lalu, di dalam kereta dari Bekasi menuju Manggarai, saya berdiri di dekat dua orang perempuan muda berjilbab yang asik bercerita tentang grup musik Korea idola. Saya teringat ketika melakukan penelitian tentang budaya massa untuk sebuah buku tahun 2010 silam, topik yang diangkat adalah demam K-Pop. Anak muda seperti yang saya temui di kereta inilah yang rajin menabung untuk membeli merchandise grup pujaan. Merekalah yang rutin pengajian tetapi akan nongkrong depan TV menunggu drama Korea. Meski diberi nama Arab oleh orangtua tetapi mereka bermimpi bisa ke Korea Selatan atau nonton konser artis pujaan. Beberapa acara pertemuan penggemar yang saya ikuti, remaja berjilbab yang berjoget mengikuti boy band Korea adalah sesuatu yang lumrah.
Gaya hidup kaum Muslim kelas menengah dan kelas menengah atas di Indonesia tidak mungkin bisa jauh-jauh dari konsumerisme. Perempuan muslimah tentu tidak sanggup berhenti menggunakan media sosial untuk memamerkan koleksi tas, liburan dan acara arisan termasuk pengajian. Perempuan muslimah boleh jadi meradang jika diberlakukan syariat sebagaimana di Arab Saudi, perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa pendamping dan semua keputusan diambil oleh pria. Kembali ke Profesor Ariel Heryanto, ia berpendapat, "Islam di Indonesia saat ini berada dalam keadaan masa bulan madu. Ini pertama kalinya massa Islam berada dalam kekuasaan. Seperti bulan madu, akan ada masa akhir.”
Islam Jerman di Mata Intelektual Muda
14 orang intelektual muda Muslim Indonesia selama dua minggu menilik kehidupan umat Islam di Jerman. Berikut hal menarik yang mereka temukan lewat program "Life of Muslims in Germany" tersebut.
Foto: DW
Nati Sajidah Jalaluddin: Penulis Genre Islamic Motivation dan Konsultan Pendidikan
“Hal yang berubah dari pemahaman saya adalah makna sekular tidak selalu agama dan negara terpisah. Di Jerman maknanya netral karena UU 1949 memberi kebebasan bagi warga untuk beragama atau tidak. Negara memfasilitasi agar warga dapat menjalankan agamanya, bahkan komunitas paling ‘nyeleneh‘ sekalipun. Menurut saya yang dilakukan Jerman justru nilai yang sangat islami, yaitu menjunjung kemanusiaan“
Foto: DW
Husni Mubarrak: Dosen Hukum Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh
"Pentingnya merawat ingatan. Negara ini menjaga sejarahnya dalam berbagai rupa. Semua pengalaman masa silam itu mengantarkan Jerman pada titik kebebasan beragama. Di Indonesia kita tidak memiliki pengalaman serupa. Saya rasa perlu penulisan ulang sejarah di Indonesia, karena banyak kearifan bangsa yang belum kita elaborasi untuk menyikapi perbedaan praktik beragama."
Foto: DW
Irma Wahyuni: Pengajar STKIP Muhammadiyah Bogor
“Di Jerman pemerintah memperhatikan pendidikan agama dan menghargai perbedaan. Dalam konteks praktis Jerman memberi kebebasan bagi warga untuk memilih dalam melaksanakan agama dalam bentuk apapun. Itu demokratisasi dalam beragama yang sangat unik di Jerman. Walaupun secara sistem kenegaraan Jerman adalah sekuler, tapi kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi."
Foto: DW
Saipul Hamdi: Dosen Studi Islam di Politeknik Pertanian Samarinda
"Saya terkesan dengan kebebasan yang diberikan pemerintah Jerman dalam ekspresi keberagaman. Selama tidak melakukan tindak kriminal, masyarakat bebas berbicara dan bereskpresi. Masyarakat Muslim jadinya lebih senang tinggal di negara sekuler daripada negara Islam karena banyak yang mengalami persekusi. Islam di Jerman sangat berkembang, meskipun akhir-akhir ini ada Islamophobia."
Foto: DW
Muhammad Heychael: Direktur Remotivi dan Pengajar Etika Media
"Kita belajar bagaimana Jerman menghadapi sejarah kelam mereka (NAZI). Mereka tidak menghindari sejarah kelam tersebut, sebaliknya dengan sangat dewasa menjadikan kesalahan sebagai bahan bakar untuk merawat kemanusiaan. Hal yg berbeda terjadi di tanah air. Kita bukan hanya ingkar pada sejarah 1965, tapi terus merawat fiksi sejarah yang menjustifikasi genosida pada mereka yg dituduh komunis."
Foto: DW
Oki Setiana Dewi: Pemain Film Religi
"Program menarik yang ditawarkan beberapa masjid yang kami kunjungi adalah mereka terbuka bagi siapa pun yang ingin mengetahui Islam, termasuk non-Muslim agar bisa hidup damai di masyarakat multikultur. Muslim di Jerman harus terbuka karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan kita terhadap sesuatu membuat kita berprasangka buruk terhadap satu sama lain."
Foto: DW
Nur Hidayat: Mahasiswa Magister Islamic Studies UIN Surabaya, Penulis Lingkar Pena
"Saya jadi tahu bagaimana Jerman sebagai negara sekuler memberi kebebasan bagi setiap warga untuk beragama ataupun tidak. Meski masih dibatasi bahwa simbol agama tidak diperkenankan di institusi negara. Ini membuat saya semakin cinta Indonesia, meski bukan negara Islam, tapi setiap agama diberi kebebasan merayakan atau memperlihatkan simbol agamanya."
"Sistem negara sekuler Jerman telah membentuk masyarakatnya untuk memiliki prinsip yang sangat rasionalis. Mereka memiliki kebebasan memilih paham atau gerakan sesuai dengan apa yang menjadi perspektifnya. Menariknya, pemerintah juga tetap memberikan ruang dan dukungan untuk penguatan keagamaan, termasuk kepada Islam, baik melalui komunitas agama maupun lembaga pendidikan formal."
Foto: DW
Siti Maulia Rizki: Pengajar di MUQ, Penyiar Radio Seulaweut Banda Aceh
"Gambaran saya sebelumnya, orang Eropa atau Jerman sangat individualis, tapi menariknya mereka justru banyak sekali terlibat dalam kegiatan sukarelawan. Mereka individualis, namun tidak egois. Apapun latar belakangnya, menurut saya selama digerakkan oleh alasan kemanusian, relawan menjadi wadah yang tepat juga bagi kaum minoritas untuk lebih cepat berkembang dan diterima di Jerman."
Foto: DW
Ari Armadi: Guru Pesantren Raudlatul Mubtadiin, Aktivis NU Cariu-Bogor
"Dari berbagai diskusi dan kunjungan, saya berkesimpulan sudah ada kesadaran baik dari komunitas Muslim, jurnalis atau bahkan pemerintah mengenai bahaya radikalisme, terutama bagi kalangan anak muda. Masjid juga sudah dijadikan sarana deradikalisasi. Contohnya Masjid Turki di Berlin yang menawarkan program konsultasi untuk mengenal Islam sebagai agama yang penuh perdamaian."
Foto: DW
Juwita Trisna Rahayu: Jurnalis Antara
"Program ini membuka mata saya bahwa untuk memahami Islam dalam konteks yang lebih luas. Dan menurut saya, toleransi bergama di Jerman perlu dicontoh. Di sisi lain, media masih memegang peranan penting dalam memegang sudut pandang masyarakat. Dan ternyata di Eropa, agama juga masih digunakan sebagai senjata dalam memenangkan pemilu.”
Foto: DW
Marella Al Faton: Peneliti Politik Islam UI, aktivis Lazis Muhammadiyah Garut
"Kita yang berada di luar Eropa berpandangan Jerman juga bertindak diskriminatif terhadap Islam, tapi pemerintah Jerman justru mengakomodir kebutuhan umat Muslim lewat pendidikan agama Islam di sekolah. Penekanan ini penting agar kita mengerti Jerman bukannya tak mau mengintergrasikan Islam ke budaya negaranya, tapi prinsip sekular berarti agama adalah hal pribadi & tidak dibawa ke ruang publik."
Foto: DW
Ahmad Muttaqin: Alumnus Studi Al-Quran Pascasarjana UIN Yogyakarta
"Hal paling menarik adalah atmosfir akademik sangat kental di Jerman. Di tiga kampus yang kami kunjungi, kajian Islam baik Islamic Studies maupun Islamic Theology lebih terbuka dengan berbagai pendekatan. Ini adalah upaya memahami Islam dalam konteks yg dinamis dalam spektrum yang lebih luas. Di Indonesia, semangat keterbukaan untuk mengkaji Islam dengan berbagai pendekatan perlu diterapkan."
Foto: DW
Maycherlita Supandi: Mahasiswa Magister Cultural Studies UNAIR Surabaya
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Muslim di Jerman sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka mempertimbangkan segala aspek, mulai dari konteks sosial, kultural, historis bahkan politis. Saya belum pernah menemui salah satu kelompok Islam yang cenderung menyalahkan atau mengafirkan kelompok lain, walaupun menurut saya ada juga yang tafsir kontekstualnya kebablasan."
Foto: DW
14 foto1 | 14
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Tidak ada cara lain mencegah Islamisasi dengan bersuara kritis pada aktor intoleran di masyarakat, menolak kebijakan diskriminatif dan bersuara sekencang-kencangnya mempromosikan toleransi dan keberagaman.
Dalam hal ini tidak ada yang bisa mencegah tren perubahan dari islamisasi ke radikalisme selain penerapan aturan hukum yang rigid. Kelompok minoritas tidak bisa melindungi diri mereka sendiri dari radikalisme. Dibutuhkan negara yang mengambil peran tersebut. Selama eksekutif (pemerintah), legislatif (parlemen) dan yudikatif (penegak hukum) tunduk pada konstitusi dan setia pada Pancasila seharusnya minoritas tidak perlu cemas pada islamisasi. Islamisasi menjadi berbahaya jika berubah menjadi radikalisme dan mengizinkan kekerasan.
Bagaimana dengan khilafah? Di Indonesia saja dua ormas Islam terbesar Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah yang sama-sama sunni dipimpin oleh pimpinannya masing-masing kok, bukan seorang pemimpin. Sehingga jelas ide khilafah sangat utopia, setidaknya belum akan terjadi dalam lima tahun ke depan.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
Sensor Malaysia Nilai Despacito "Tidak Islam"
Malaysia melarang pemutaran video lagu Despacito, yang jadi hit di banyak negara, di media milik pemerintah, karena dinilai "cabul" dan "tidak Islam." Sebelumnya sudah ada kasus-kasus serupa.
Foto: Youtube
Bernyanyi Tanpa Mengerti
Lirik lagu Despacito, yang dinyanyikan penyanyi Luis Fonsi, dalam bahasa Spanyol. Partai Islam Amanah yang mengecam lagu itu berargumentasi, "banyak anak kecil menyanyikan lagu itu tanpa mengerti kata-katanya.
Foto: picture alliance/AP Photo/L.Sladky
Ada Yang Lolos
Tapi sejumlah orang Malaysia berkomentar di media sosial, bahwa ada lagu-lagu lain yang juga cabul tapi lolos sensor, karena liriknya tampak tidak berbahaya. Misalnya "Milkshake" oleh Kelis, "Whistle" oleh Flo Rida, atau hit tahun 1997 "Barbie Girl" oleh Aqua.
Foto: picture-alliance/dpa
Sering Diputar
Sejumlah situs juga memberikan daftar lagu yang sebaiknya ditarik dari daftar pemutaran karena sering terdengar diputar di media. Misalnya "Bang Bang" oleh Ariana Grande, Jessie J and Nicki Minaj. Sebuah situs menambahkan catatan untuk lagu ini: "bukan tentang tembakan senjata."
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sayles
Urusan Politik
Sensor tidak hanya terbatas karena isi yang "berbau" seks, narkotika, alkohol atau tidak senonoh. Kata-kata "Mazel Tov", yang dalam bahasa Ibrani berarti "semoga beruntung" disensor di Malaysia dari lagu band Black Eyed Peas yang berjudul "I Gotta Feeling." Penyebabnya: Malaysia tidak mengakui negara Israel, tidak punya hubungan diplomatis dan melarang warganya untuk berkunjung ke Israel.
Foto: picture alliance / abaca
Jangan Ikutkan Kepercayaan
Kata-kata Halleluyah dalam lagu Justin Bieber "As Long As You Love Me" juga jadi korban sensor Malaysia. Tapi lagu "Take Me To Church" oleh Hozier boleh diputar. Sebuah situs online mengutip perkataan seorang mantan DJ radio milik negara yang mengatakan, jika liriknya "rancu" bisa lolos dari sensor.
Foto: Getty Images/AFP/T. A. Clark
Terlalu Linglung untuk Punya Adat?
Lagu Lady Gaga yang berjudul "Born This Way", yang liriknya antara lain berbunyi: "tidak peduli homoseksual, heteroseksual atau bi, lesbian, transgender, aku dalam jalan yang benar" dinilai "menghina jika dipandang dari segi ketaatan sosial dan agama." Itu pernah menyulut kemarahan si penyanyi, juga kelompok LGBT di Malaysia.
Foto: picture alliance/dpa/F. von Erichsen
Kami Pilih "Tidak"
Tahun 2011, Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia melarang "Undilah" (yang bermakna "pergi berikan suara") karena isinya dinilai "menghina segmen-segmen masyarakat tertentu. Lirik lagu ini adalah campuran bahasa Malay, Inggris dan Mandarin. Videonya menampilkan sejumlah tokoh lokal (dan beberapa politisi oposisi), dan isinya mendorong rakyat untuk mendaftarkan diri dan memberikan suara.
Foto: Youtube
Satu Bahasa Saja
2004 lagu-lagu Malaysia yang berisi lirik dalam bahasa Inggris dilarang setelah pemerintah dikritik dan dituduh mengizinkan mereka "mencemari kemurnian dan kesucian bahasa Malaysia." Ironisnya, sensor terhadap Despacito menyulut tumbuhnya cover version dan parodi, misalnya lagu berjudul "Incognito", lagu lucu versi Malaysia tentang pria yang diputus pacar (foto). Penulis: Brenda Haas (ml/hp)