Tiga Aktivis Hong Kong Divonis Penjara 7 Sampai 13,5 Bulan
2 Desember 2020
Aktivis pro-demokrasi Hong Kong Joshua Wong divonis 13,5 bulan penjara. Agnes Chow dan Ivan Lam dihukum 10 dan 7 bulan penjara. Para aktivis mengatakan, vonis itu "bukan akhir dari perjuangan," mereka.
Iklan
Joshua Wong, Agnes Chow dan Ivan Lam dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan Hong Kong hari Rabu (2/12) setelah ketiganya mengaku bersalah terlibat dalam "pertemuan ilegal" selama aksi protes tahun lalu.
Ketiga aktivis sudah ditahan minggu lalu di sel isolasi setelah menyatakan menerima tuduhan itu dan mengaku bersalah. Joshua Wong menerima hukuman 13,5 bulan penjara, Agnes Chow dan Ivan Lam masing-masing dijatuhi hukuman 10 dan 7 bulan penjara.
"Hari-hari ke depan akan sulit, tapi kami akan tetap bertahan," teriak Joshua Wong saat dibawa pergi.
"Para terdakwa telah menghasuta pengunjuk rasa untuk mengepung markas besar dan meneriakkan slogan-slogan yang menyerang kepolisian," kata Hakim Wong Sze-lai saat menyampaikan putusan pengadilan. "Sanksi penjara segera adalah satu-satunya pilihan yang tepat."
Joshua Wong: Bukan akhir dari perjuangan
Joshua Wong menegaskan dalam sebuah pesan di Twitter tak lama setelah hukuman dijatuhkan bahwa vonis itu "bukan akhir dari perjuangan" mereka.
Iklan
Ketiga aktivis sebelumnya mengaku bersalah atas tuduhan "menghasut dan secara sadar ambil bagian dalam pertemuan yang tidak sah" dan "mengatur pertemuan tidak sah," sehubungan dengan aksi protes di luar markas polisi di Wan Chai, Juni tahun lalu. Para aktivis mengatakan, mereka melakukan itu untuk menyingkat proses pengadilan, yang hasilnya memang sudah diketahui.
Mengenai hukuman isolasi di penjara, Joshua Wong menulis di Twitter menjelang vonisnya: "Memang sulit untuk menahannya, tetapi karena banyak #hkprotesters menghadapi tuntutan hukum / penjara seperti saya, saya harap kalian terus memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendiri."
Aktivis sejak remaja
Joshua Wong, Agnes Chow dan Ivan Lam bergabung dengan gerakan pro demokrasi Hong Kong ketika masih remaja. Ketiganya mengorganisir aksi unjuk rasa besar pada tahun 2012 untuk menentang rencana pengubahan sistem pendidikan Hong Kong menjadi lebih "patriotik". Dua tahun kemudian mereka memainkan peran besar dalam aksi protes massal "Gerakan Payung".
Pada Juni 2019, pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menentang rancangan undang-undang ekstradisi, yang memungkinkan tahanan dari Hong Kong dikirim ke Cina Daratan.
Jutaan orang turun berdemonstrasi dalam gerakan yang sebagian besar tanpa pemimpin dan berlangsung damai, sampai polisi anti huru hara menembakkan gas air mata dan peluru karet, dan memukuli pengunjuk rasa dengan tongkat. Aksi protes massa kemudian terlibat bentrokan keras dengan aparat keamanan di berbagai tempat.
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)