1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tiga Yang Terbaik

30 Januari 2017

Anda letih dengan panasnya suasana pilkada Jakarta? Siapa menurut Anda yang paling tepat menjadi pelayan masyarakat di ibukota negara kita? Simak opini Andibachtiar Yusuf.

Indonesien Jakarta Gouverneurskandidaten
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni

"Menjadikan Jakarta manusiawi dengan memberikan kenyamanan ekonomi pada warganya,” demikian kurang lebih kalimat utama yang disampaikan oleh Anies Baswedan di setiap kesempatan kampanyenya. ‘Memanusiawikan Jakarta!' tegas Basuki Tjahaja Purnama, senada dengannya Agus Harimurti berkata tentang cita-citanya untuk membawa Jakarta menuju menjadi sebuah kota yang ‘Manusia-manusianya mapan, cerdas dan manusiawi,'

Kalimat-kalimat ini mereka ucapkan berulang kali dengan segala variannya pada kesempatan debat terbuka di televisi atau di media-media lainnya. Ketiga kandidat menunjukkan bahwa mereka ingin menjadikan si ibukota negara menjadi sebuah kota yang nyaman dan aman bagi semua penduduknya. Agus bahkan dengan lugas meloncat dari panggung yang tinggi demi sebuah stagediving (yang ia dan timnya lebih sering sebutkan sebagai ‘moshing') bersama massa yang siap menyambutnya di bawah.

Penulis; Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Agus dan pendukungnya menyebut dirinya telah bersatu dengan rakyat, sementara Basuki alias Ahok pun disebut para fanatiknya sebagai paling memahami warga Jakarta. Demikian juga Anies yang bersama pasangannya - Sandiaga Uno - secara simultan menunjukkan kepeduliannya pada kualitas metromini yang buruk, moral masyarakat yang (katanya) rendah, Jakarta yang tak aman sampai pasar tradisional yang disebut sebagai ‘memprihatinkan'.

Ketiga orang ini adalah kandidat pemimpin yang sepantasnya memiliki pemahaman yang prima tentang permasalahan di ibukota. Ketiganya wajib tahu apa yang (setidaknya) mayoritas pendukung mereka maui. Kemudian ketiganya saling menjual diri mereka, tentang kecap mereka yang terbaik yang layak dinikmati oleh masyarakat di kota yang akan salah satu dari mereka pimpin.

Saya menyimak banyak hal dari apa yang mereka ucapkan, puncaknya adalah ketiganya akhirnya muncul bersama pada sebuah ajang adu debat di televisi. Lalu……saya tak melihat ada hal yang berbeda dari yang mereka ucapkan. Kesamaan itu saya tuliskan di pembuka artikel ini dengan kata-kata yang saya simpulkan (karena mereka punya waktu 2 menit untuk menceritakan visi mereka) kalimat yang saya temukan pada pembuka debat malam itu. Jika lalu mereka sebenarnya sama, lalu apa yang membuat mereka layak kita pilih?

Media pun dengan birokrasi yang mereka miliki juga tidak memberi ruang kompetisi yang "mematikan” pada semua ajang adu debat kandidat. Aturan sederhana disana adalah, kandidat membawa para pendukungnya. Jelas para pendukung tanpa diminta akan menjerit histeris ketika junjungan atau idola mereka menjelaskan visi mereka—yang sebenarnya sudah sering mereka dengar—saat commercial break para pendukung akan menerima anugerah lambaian tangan dari calon favorit mereka. Di saat bersamaan di luar sana, publik media sosial bertarung dengan kecepatan jari yang tinggi untuk adu argumen tentang siapa yang terbaik.

Sebaliknya, bayangkan jika mereka yang datang ke studio bukanlah pendukung para kandidat. Misalkan saja televisi dengan berani mendatangkan warga Bukit Duri yang digusur pemerintah provinsi di era Ahok menjabat, mendatangkan mereka yang tertawa melihat video viral ketika Agus menjelaskan konsep ‘kota mengambang' ala dirinya, atau orang-orang yang selalu meledek Anies sebagai barisan sakit hati yang sedang berusaha mengambil kekuasaan di Jakarta.

Bayangkan jika siapapun kandidat selesai memaparkan visi mereka lalu ditimpali oleh sorakan tak sedap yang dilanjutkan oleh pertanyaan mematikan dari para tamu di studio. Saya yakin ketetapan hati untuk memilih bisa bergoyah. Pendukung Ahok bisa jadi goyah dan kembali golput seperti kebiasaan mereka sebelum presiden kita saat ini muncul menjadi idola. Mereka yang sempat berpikir bahwa Agus adalah yang terbaik dan disiapkan dengan baik serta berpendidikan baik bisa saja berpikir ulang tentang pilihannya.

Anies Baswedan yang cerdas dan selalu menyejukkan saat berbicara bisa saja kehilangan kontrol wajahnya yang luar biasa menenangkan itu jika disudutkan dengan provokasi khas masyarakat kebanyakan. Harap diingat, masyarakat Jakarta sebenarnya adalah mereka yang terus mengalami kesulitan hidup. Orang-orang yang tak pernah mengeluh pada kemacetan dan situasi banjir di ibukota, mereka yang terlalu lelah memikirkan apa yang bisa mereka makan besok pagi, pekerjaan apa yang bisa dilakukan siang nanti dan telah memberikan energi hidup mereka pada situasi menggila di negeri ini seperti harga cabai yang terus naik misalnya.

Seharusnya merekalah yang datang menyaksikan acara-acara debat, bukan mereka yang terus "berkelahi” di dunia maya tentang siapa yang terbaik, siapa paling beriman, padahal tak satupun dari kandidat yang memiliki program yang cukup radikal…….mengusir keluar sekaligus memusnahkan mereka yang tidak ber-KTP Jakarta misalnya.

Andibachtiar Yusuf

@andibachtiar

Filmmaker & Traveller

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.