Hingga hari Senin (13/05), Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia menyatakan 12 relawannya tertahan di Rafah, kota di selatan Gaza, Seharusnya mereka sudah berganti dengan tim kloter berikutnya.
Iklan
Tertunda keluar akibat serangan darat Israel pekan lalu, belasan anggota tim relawan Emergency Medical Team (EMT) MER-C Indonesia saat ini masih di Rafah, Gaza Selatan. Mereka semestinya bertukar masa dinas dengan tim MER-C berikutnya yang telah menunggu untuk masuk ke Gaza dari Kairo, Mesir.
"Kami tidak bisa keluar dan tim dari Kairo juga belum bisa masuk," ujar bidan dan perawat Ita Muswita yang bertugas di Rafah.
"Sementara itu sejak pertama datang bulan lalu saya tugas di RS El Hilal El Mirati, tapi kini sudah zona merah. Jadi tak boleh masuk lagi ke sana. Di sana saya membantu persalinan dan juga korban luka," paparnya.
Tim Mer-C terdiri dari dokter spesialis bedah orthopedi, dokter layanan primer dan perawat. Tim MER-C bertugas bersama Tim EMT dari Mercy Malaysia membantu tenaga medis lokal memberikan pertolongan kepada para korban serangan.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ditugaskan ke RS lain
Para EMT MER-C kini diarahkan oleh badan kesehatan dunia WHO untuk bertugas di Rumah Sakit Al Kuwaiti. Selain di RS Kuwaiti, relawan EMT MER-C lainnya, yaitu dua perawat juga masih bertugas di klinik Tal Al-Sultan Primary Health Care Center.
Sementara itu, RS An Najjar yang biasa menjadi lokasi tugas TIM EMT MER-C, saat ini juga sudah berhenti beroperasi.
Ita Muswita mengatakan, RS Kuwaiti merupakan pintu pertama pasien sehinga sejak ditugaskan mereka banyak menerima pasien korban langsung perang yang terkena bom, terutama luka bakar yang perlu dirujuk.
Tetap bekerja
Sejauh ini tim MER-C masih dalam kondisi aman dan melanjutkan tugas layanan mereka. "Kami bisa bantu mereka sebelum border (perbatasan) dibuka. Doakan kami tetap istiqomah dalam tugas,” tutur Ita.
Saat ini tersisa 12 relawan MER-C di Gaza. Hari pekan lalu, aktivitas medis relawan MER-C sempat dihentikan karena meningginya ketegangan di Rafah. Hal ini juga mengakibatkan pergerakan masuk dan keluar Gaza untuk semua Tim EMT di bawah koordinasi WHO teritunda, termasuk Tim EMT MER-C.
Foto Kontras Duka dan Tawa Antara Gaza dan Israel
Ketika Israel merayakan 70 tahun kemerdekaan dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, penduduk di Jalur Gaza menghadapi kematian di ujung laras senapan.
Foto: Reuters/M. Salem
Amarah Menjelang Nakba
Sebanyak 60 demonstran tewas saat mengikuti aksi protes terhadap pembukaan kedutaan besar Amerika Serikat di Yerusalem. Penduduk di Jalur Gaza menyantroni perbatasan untuk menolak kebijakan Presiden Donald Trump yang mengubur klaim Palestina atas Yerusalem. Pemindahan tersebut bertepatan dengan peringatan 70 tahun pendirian negara Israel yang sekaligus menandakan hari pengusiran buat Palestina
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Goretan Trump di Yerusalem
Ketika korban pertama di Jalur Gaza mulai berjatuhan, penasehat senior Gedung Putih Ivanka Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin meresmikan gedung baru kedutaan AS di Yerusalem. Acara yang dihadiri oleh pejabat tinggi Israel dan sejumlah negara lain itu berlangsung hangat dan meriah.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Termakan Jebakan Hamas?
Israel menuding organisasi teror Hamas sengaja menjebak warga untuk mendorong bentrokan yang menelan korban jiwa. Di antara korban tewas terdapat seorang bocah perempuan meregang nyawa usai terpapar gas air mata. Bentrokan di perbatasan menyisakan lebih dari 2.700 korban luka. Organisasi Palang Merah mengkhawatirkan kapasitas rumah sakit di Gaza tidak mencukupi.
Foto: Reuters/M. Salem
Pesta dan Elegi Seputar Yerusalem
Ketika warga Palestina meratapi Yerusalem, kelompok geng kendaraan bermotor di Israel merayakan pengakuan Amerika Serikat atas ibukotanya tersebut. Status Yerusalem yang sejak lama bermasalah diklaim sebagai ibukota abadi oleh penganut kedua agama. Bahkan Arab Saudi yang notabene sekutu AS di kawasan mengritik kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar Amerika.
Foto: Reuters/A. Awad
Hari Paling Berdarah
Aksi demonstrasi pada hari Senin (14/5) di Gaza merupakan hari tunggal paling berdarah sejak perang Israel dan Hamas pada 2014 lalu. Dari 2.700 korban luka, lebih dari 1.300 terkena peluru dan 130 berada dalam kondisi kritis. Termasuk korban yang tewas adalah delapan anak di bawah umur, klaim Kementerian Kesehatan Palestina.
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Bertabur Puji dan Sanjungan
Selama acara pembukaan kedutaan AS, perwakilan kedua negara saling melemparkan sanjungan dan pujian. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu misalnya menilai langkah presiden Trump sebagai sebuah "keberanian." Sementara menantu Trump, Jared Kushner, mengatakan suatu saat umat manusia akan membaca sejarah ini dan mengakui, "perdamaian diawali dengan keputusan Amerika menerima kebenaran."
Foto: Reuters/R. Zvulun
Menyambut Hari Kematian
Sejak aksi demonstrasi menyambut hari Nakba dimulai 30 Maret lalu, setidaknya 97 penduduk Palestina dinyatakan tewas, termasuk 12 anak-anak. Sementara angka korban luka bahkan melebihi jumlah korban pasca operasi militer Israel selama 51 hari di Gaza pada 2014, yakni 12.271 orang berbanding 11.231 orang. Situasi ini menyisakan ketegangan diplomasi antara Israel dan sejumlah negara lain.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/A. Amra
Kisruh Diplomasi
Sebagai reaksi - Turki dan Afrika Selatan menarik duta besarnya dari Tel Aviv. Sementara Uni Eropa, Jerman, Perancis dan PBB menyesalkan penggunaan kekerasan oleh militer. Adapun pemerintah Irlandia memanggil duta besar Israel untuk dimintai keterangan. Dari semua negara hanya Amerika Serikat dan Australia yang mengutuk Hamas atas jatuhnya korban jiwa di Jalur Gaza. (rzn/vlz - rtr,ap,afp)
Foto: picture-alliance/Zuma/N. Alon
8 foto1 | 8
(Sumber rilis MER-C, wawancara dengan para relawan MER-C di Rafah)