Lebaran tiba. Umat Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan merayakan kemenangan mereka di hari yang Fitri. Berikut refleksi Mohamad Guntur Romli seputar bulan puasa,yang mengingatkan ajaran Gur Dur, tentang toleransi.
Iklan
Bulan yang suci kita lewati. Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban agama bagi kaum Muslim, namun umat agama lain bisa menunjukkan toleransi dan kerjasama. Umat agama Konghucu di Klenteng Hok Swie Bio di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur memiliki tradisi menyediakan makan buka puasa selama Ramadhan.
Tidak kurang 400 porsi dengan menu nasi rawon, masakan khas Jawa Timur, disajikan untuk kaum Muslimin untuk berbuka puasa. Tradisi yang sama juga dilakukan oleh umat Buddha di Lawang, Malang, Jawa Timur. Vihara Bodhimanda Sanggar Suci ini menyediakan 100 porsi buka puasa untuk umat Islam. Tradisi umat Buddha ini sudah dimulai sejak tahun 1998 dan masih hidup hingga Ramadhan tahun ini.
Umat Kristen juga menunjukkan kepedulian pada tradisi puasa umat Islam, melalui Jemaat Gereja Sidang Pantekosta Indonesia (GSPDI) di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat yang menyediakan hidangan berbuka puasa: kudapan, minuman yang dikenal dengan istilah ta'jil.
Sejarah panjang toleransi di tanah air kita
Tradisi yang menarik juga dilakukan oleh Gereja Kristen Jawa Manahan, Surakarta (Solo), Jawa Tengah yang memiliki program Ramadhan. Selain buka puasa bersama juga menyediakan sebuah tempat di lokasi gereja untuk masyarakat yang ingin berdzikir, tadarusan (mengaji Al-Quran).
Usai berbuka puasa bersama, Pendeta gereja itu menyediakan tempat untuk salat, lengkap dengan sajadah. Beberapa contoh di atas hanyalah gambaran dari tradisi toleransi, kerjasama dan kerukunan umat beragama yang memiliki akar yang kuat dan sejarah yang panjang di Indonesia.
Belum lagi kalau kita menyebut tradisi sahur keliling yang dilakukan oleh Ibu Sinta Nuriyah, istri dari KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia dan Ketua Umum PBNU. Tradisi sahur keliling ini memiliki misi kerukunan umat beragama dan menyapa kaum yang terpinggirkan yang sudah dijalani sejak tahun 2000.
Sesuai namanya, “sahur keliling”kegiatan ini mengelilingi wilayah-wilayah di Indonesia yang tempat acaranya bisa di masjid, gereja, klenteng, vihara, lapangan, dan ruang-ruang terbuka lainnya.
Tradisi serupa di Mesir
Tradisi toleransi di bulan puasa ini mengingatkan saya saat masih studi di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir yang saya temukan tradisi yang sama. Pusat Kristen Ortodoks Koptik di Alexandria dan Cairo, Mesir, menyediakan buka puasa untuk kaum Muslimin yang dikenal dengan sebutan ma'idatur rahman (Hidangan dari Sang Maha Penyayang).
Hidup di Jerman: Ramadan Tiba, Galau Melanda
Perasaan galau yang muncul saat menjalani bulan puasa di negeri orang, dengan jujur dikisahkan Nana yang berasal dari Lombok, NTB. Apa saja kegalauan yang ia rasakan di Jerman saat Ramadan dan bagaimana menyiasatinya?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak sekedar keimanan
Tantangan ibadah puasa di negeri orang, bagi Nana, bukan sekedar masalah keimanan, namun juga menyangkut persoalan budaya, penyesuaian diri, kejujuran dan keikhlasan dalam menjalankan hidup. Bulan Ramadan selalu menjadi masa penting baginya untuk berefleksi mengenai semua hal menyangkut kehidupan dan keimanananya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hidup baru
Sejak 2011, Nana tinggal di Jerman. Berbekal pendidikan & pengalaman di Mataram, NTB serta dukungan suaminya yang orang Jerman, Nana membuka usaha spa. Usaha itu sementara terhenti tahun 2014, karena ia dikaruniai seorang bayi. Dari pernikahan sebelumnya, Nana juga sudah memiliki anak remaja berusia 13 tahun yang kini tinggal bersamanya dan suami di Jerman. Kini usaha spanya berlanjut lagi.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menyesuaikan ibadah
Tidak mudah baginya menyesuaikan budaya Lombok darimana ia berasal dengan budaya baru di Jerman. Begitu pula dalam menyesuaikan kebiasaan beribadah. Biasanya di bulan Ramadan, ia memilih pulang kampung & berpuasa di sana. “Tahun-tahun lalu sudah mencoba puasa di Jerman, tengah bulan puasa biasanya pulang kampung karena tak bisa puasa di Jerman, tak ada euforia Ramadan di sini, sepi dan galau.“
Foto: DW/L. Sanders
Tahun 2016 mulai puasa di Jerman
Jika biasanya pulang kampung saat Ramadan, sejak 2016 Nana bertekad Ramadan di Jerman. Jadi baru tahun 2016 Nana menjalankan puasa di Jerman. 2017, puasa di musim panas di Jerman bisa 19 jam. “Masih bolong-bolong,“ akunya jujur. “Kadang tak kuat puasa 19 jam. Kangen suasana Ramadan yang tak terasa di sini. Beberapa hari ini saya sudah berhasil puasa di sini, rasanya nikmat sekali,“ ujar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Anaknya belajar menyesuaikan diri
Anak pertama Nana dari pernikahan sebelumnya bernama Putri. Ia tinggal bersama ibu dan keluarga barunya di Jerman sejak 2014. Di sekolah, ditambah bimbingan ayah barunya, ia belajar bahasa Jerman dengan cepat. Karena terbiasa dari kecil beribadah bersama nenek di Lombok, kebiasaan beribadah dari kampung halaman itu, tidak dilupakannya di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Berbagi cerita dan perasaan
Seperti ibunya, sejak kecil di Mataram, Lombok, Putri sudah terbiasa mengaji. Di sekolah ia juga punya teman-teman dekat dari berbagai negara lain, seperti Turki, Marokko, Tunisia dan Palestina yang juga beragama Islam. Jika kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka saling berbagi tips dan pengalaman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Mengaji bersama
“Meski belum mampu menjalankan ibadah sepenuhnya, saya selalu berusaha.. Saya ajak anak saya mengaji. Putri dari dulu pandai mengaji,“ papar Nana tentang putri sulungnya. Karena ia dan keluarga barunya pulang kampung pada saat Lebaran, mereka punya waktu banyak di Jerman selama Ramadan untuk melakukan berbagai kegiatan rohani bersama, di antaranya mengaji dan mencoba berpuasa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Beda puasa di Lombok dan di Jerman
“Di Lombok dulu, Putri sudah puasa sejak usia tujuh tahun. Karena pada musim panas di Jerman puasanya bisa 19 jam, saya tak terlalu memaksakan diri atau putri saya.” tambahnya. Tahun 2016 ini, mereka beberapa kali berpuasa. “Di kampung, ada ngabuburit, tarawih bersama, buka puasa bersama, suasana yang sangat kami rindukan," papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak pernah dipaksa
Suami Nana, Marcel, kini beragama Islam. Istrinya ikut mengajarkannya salat. “Tapi saya tidak pernah memaksanya dalam beribadah. Yang paling baik adalah kesadaran itu tumbuh dari dirinya sendiri. Dia banyak bertanya dan sebisa mungkin saya mencari tahu jawaban-jawabannya mengenai agama Islam. Agama bukan untuk dipaksakan,” papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Dukungan suami
“Dulu waktu kami masih pacaran di Lombok, Marcel selalu ikut berpuasa, padahal belum mualaf. Tapi selalu ingin ikut-ikutan kita berpuasa,” tutur Nana menceritakan kisah suaminya. Dengan mengenal budaya dan kebiasaan ibadah tersebut, sang suami tak heran lagi jika istri dan anak perempuannya berpuasa belasan jam.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sholat bersama
Jika Marcel melihat istri dan putrinya salat, ia pun tak ragu untuk ikut beribadah bersama keluarga kecilnya. Menurutnya, menjadi imam dalam beribadah, adalah bagian dari tanggung jawabnya kini sebagai kepala keluarga. Sejauh ini ia masih belum bisa mengaji dan masih kesulitan dalam menjalankan ibadah puasa. Namun ia bangga, istrinya mulai menyesuaikan diri untuk berpuasa di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masak untuk berbuka
Selain beribadah bersama, berbuka bersama membangun rasa kebersamaan dalam keluarga yang sangat membahagiakan. Ia selalu berusaha menyajikan masakan Indonesia untuk berbuka sekaligus bisa dihangatkan untuk sahur.
Foto: DW/A.Purwaningsih
berbuka bersama
“Ketika sukses berpuasa, rasanya senang sekali, saya berhasil menang lawan hawa nafsu,” tambahnya. “19 jam tak boleh ngomel, berkeluh kesah, atau suntuk.”Meski tak puasa, sang suami tak segan menunggu makan bersama pada waktu berbuka sekitar pukul sekitar 22.00 waktu Jerman. Saat melayani suaminya makan, Nana berseloroh: “Suami lebih suka masakan Indonesia, meski pedas.” ujarnyal tertawa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menu spesial
Salah satu menu yang pasti dibuatnya di bulan puasa adalah ikan belado tongkol yang pedas, dan sate ayam. Untuk hidangan penutup, tak lupa Nana menyiapkan kolak singkong pisang, kurma dan es jeruk.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Asyiknya makan pakai tangan
“Kurang seru rasanya jika makan pakai sendok garpu,“ ujar Putri kepada ibunya sambil menyuap makanan ke mulut dengan genggaman tangannya. “Masakan mama saya selalu enak. Mengingatkan saya pada kampung halaman,” tambahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Bulan berkah
Baginya, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan pengampunan. "Berpuasa bagiku tak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga kesabaran. Sebagai umat Muslim, saya harus menjalankannya,“ tandas Nana. “Tak terasanya suasana Ramadan membuat saya sedih dan secara psikologis mengganggu,“ katanya. “Saya akan membayar zakat pada anak yatim di kampung saat Lebaran.”
Foto: DW/A.Purwaningsih
Yang penting berimbang
Nana selalu berusaha mengimbangi antara kehidupan modernitas di dunia barat, perbedaan budaya dan ketaaan beragama. “Akhir pekan saya meluangkan waktu berkegiatan latihan menyanyi musik Melayu untuk berbagai pementasan budaya. Ini penting untuk mempromosikan budaya Indonesia di masyarakat Jerman, dimana kini saya tinggal,“ ungkapnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masa depan
“Membiasakan diri melakukan kegiatan agama terutama di bulan Ramadan itu penting, karena suatu saat nanti saya dan suami sama-sama ingin tinggal di Lombok. Bukan hanya materi, mental dan hati harus siap,” tandasnya. “Di negara ini saya digembleng menghalau galau dan gamang dalam banyak hal, termasuk keimanan. Yang paling penting dari semua itu,selalu berbuat baik,” demikian Nana menutup kisahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
18 foto1 | 18
Paus Kristen Ortodoks Koptik menjamu Syaikhul Azhar, Pemimpin Tertinggi umat Islam di Mesir dalam acara buka puasa. Saat Idul Fitri, Paus Koptik akan datang ke Masyikhatul Azhar (Kantor Pusat Al-Azhar) untuk memberikan selamat Idul Fitri. Saat Hari Raya Natal, Syaikhul Azhar pun gantian mendatangi untuk mengucapkan Selamat Natal.
Ini toleransi yang ditunjukkan umat agama selain Islam, bagaimana dengan Muslim sendiri? Gus Dur menyatakan, toleransi harus lah timbal balik. Toleransi adalah sikap tenggang rasa, saling toleran. Baik yang berpuasa dan tidak berpuasa saling menghargai.
Salah satu contoh toleransi dari orang yang berpuasa adalah menghargai juga orang yang tidak puasa dengan tidak memaksakan warung-warung untuk tutup di siang hari. Kalau pun ada yang ingin menutup warungnya berasal dari kesadaran dan pilihannya yang sebabnya berpulang pada dirinya.
Peraturan yang memaksa warung tutup di siang hari di bulan Ramadhan adalah peraturan yang egois dan aneh, apalagi dengan alasan untuk menghormati yang puasa dan menghormati Ramadhan.
Padahal di kalangan Muslim, tidak semua individu diwajibkan berpuasa. Tidak sedikit pula yang punya udzur (halangan). Apalagi warung-warung itu berada di kota-kota besar yang menjadi perlintasan para musafir dan masyarakat urban yang warganya sangat beragam, berasal dari macam-macam agama dan suku.
Kewajiban puasa berasal dari keimanan dan penghambaan pada Allah Swt, bukan karena ketakutan pada Satpol PP. Aneh sekali pola pikir, kalau ada warung buka di siang hari, akan membuat orang yang berpuasa membatalkan puasanya atau terganggu.
Dalam keluarga yang keislamannya kuat, toleransi dalam puasa ini sudah diajarkan sejak kecil. Dalam sebuah keluarga, pastilah ada anggotanya yang berpuasa, ada yang tidak. Ibu dan saudari perempuan yang datang bulan saat Ramadhan, atau adik kecil yang masih wajib berpuasa.
Apakah mereka yang tidak berpuasa harus menyembunyikan diri di kamar saat makan atau mereka harus keluar dari rumah untuk mencari makanan? Mereka yang tidak berpuasa karena ada udzur (halangan) yang telah ditentukan oleh Allah Swt bukan lah suatu perbuatan yang mendatangkan malu dan aib, sehingga mereka harus menyembunyikan diri.
Keyakinan pada kewajiban puasa, keyakinan pada Tuhan, keyakinan pada ajaran agama seharusnya sudah selesai dalam level keluarga, tidak perlu menarik-narik negara untuk membantunya.
Berburu Produk Makanan Halal di Jerman
Cari produk makanan halal di Jerman? Tidak masalah. Di Jerman, dapat ditemukan produk-produk makanan maupun supermarket halal. Pembelinya bukan hanya umat Muslim.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Maillard
Di antaranya terdapat di toko-toko Turki
Lebih dari 5% penduduk Jerman atau lebih dari 4 juta orang di Jerman beragama Islam. Itu sebabnya banyak produsen bahan makanan halal melirik pasar di Jerman. Produk mereka biasanya dapat ditemukan di toko-toko yang dikelola warga Jerman keturunan Turki.
Foto: picture-alliance/dpa
Bersertifikasi halal
Meski banyak toko Turki yang menyediakan produk-produk halal, supermarket 'Halalkauf' di Köln menjadi yang pertama kali mencantumkan sertifikasi halal di Jerman. Sertifikat ini dicantumkan di salah satu pilarnya, lengkap dengan keterangan mengenai kehalalan produk dan supermarket itu.
Foto: DW/J.Fraczek
Pelanggannya dari berbagai kalangan
Tiap harinya terdapat ratusan pelanggan yang menyambangi toko ini. Pembeli bukan hanya warga Turki atau beragama Muslim, warga etnis dan mereka yang beragama lain juga kerap berbelanja di sini.
Foto: DW/J.Fraczek
Dari yang segar hingga olahan
Buah-buahan dan sayuran segar dapat ditemukan di pintu masuk supermarket 'Halalkauf'. Di rak-rak supermarket berjajar jenis beras dan biji-bijian, saus, manisan, dan permen. Di bagian belakang supermarket dijual daging-daging segar dan daging olahan seperti sosis misalnya. Semua daging dipotong sesuai dengan aturan dalam agama Islam.
Foto: picture-alliance/dpa
Bisnis keluarga
Supermarket ‘Halalkauf‘ merupakan bisnis keluarga. Supermarket ini dibuka pada bulan Februari 2013 di distrik Ehrenfeld, Köln. Adem Devecioglu, salah satu dari empat bersaudara yang mengelola toko ini mengatakan, pelanggan menghargai kesegaran produk dan ramahnya pelayanan mereka. Sehari-hari dapat terlihat pemandangan, dimana pelanggan asyik mengobrol dengan pengelola toko.
Foto: DW/J.Fraczek
Peluang emas produk makanan halal
Laporan Global Islamic Economy menyebutkan, pertumbuhan makanan dan gaya hidup halal akan tumbuh 10,8% hingga tahun 2019. Dan nilai dari industri di sektor ini akan mencapai sekitar 50 triliun rupiah. Kini, di kota Bonn, dimana DW berada, juga dapat ditemui beberapa toko dan supermarket yang menjual produk-produk makanan halal.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengusaha Indonesia tak mau ketinggalan
Baik pengusaha Jerman, maupun negara-negara lain, juga melihat peluang bagus di tengah boomingnya produk halal. Produsen makanan Indonesia pun tak mau ketinggalan, mereka berlomba mengekspor produk halal ke Jerman.
Foto: DW/A. Purwaningsih
7 foto1 | 7
Bukan karena takut ancaman Satpol PP
Orang yang berpuasa, yakin atas kewajibannya merupakan kesadaran pada pengabdian terhadap Tuhan, bukan karena takut ancaman razia Satpol PP dan polisi. Fungsi negara mengurus hal yang lebih besar dan lebih umum.
Misal, mengendalikan sembako yang harganya terus naik, menjamin keamanan lingkungan agar orang yang ibadah bisa khusyu', memastikan jalur-jalur mudik yang aman dan nyaman dan hal-hal umum lainnya.
Kalau negara ingin hadir memberikan afirmasi pada Ramadhan, bisakah memberikan insentif pada warung-warung yang tutup misalnya dengan pemotongan pajak dan pemberian modal? Hal ini kehadiran negara lebih positif, daripada hadir dalam bentuk pemaksaan dan razia.
Negara juga bisa hadir dalam bentuk-bentuk perayaan dan kegiatan yang tujuannya menghidupkan dan menyamarakkan bulan Ramadhan. Inilah bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadhan yang positif, bukan dalam aksi yang negatif menutup warung-warung dan menjatuhkan sanksi bagi yang tidak puasa. Keyakinan pada puasa, biarlah menjadi tugas dari para pendidik dan tokoh agama serta keluaga di rumah.
Dengan pola seperti ini, maka, toleransi yang timbal balik dan sikap tenggang rasa baik dari yang tidak puasa dan yang berpuasa, akan membawa kerukunan dalam umat beragama di Indonesia.
Penulis:
Mohamad Guntur Romli, Kurator Diskusi di Komunitas Salihara
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Ramadan di Jerman: Air Putih Pun Serasa Es Dawet
Mulai dari "bablas" sahur, buka puasa, sampai terlewat halte bis: inilah beragam suka duka warga Indonesia yang tinggal di Jerman di bulan puasa. Rata-rata yang mereka rasakan: rindu keluarga di tanah air.
Foto: DW/Y. Farid
Air putih serasa es dawet
Banyak hal ajaib yang dirasakan Andias Wira Alam saat berpuasa di Jerman. Jika puasa jatuhnya di musim panas --dimana puasa bisa 19 jam panjangnya--, air putih yang diminumnya saat buka serasa senikmat es dawet. Karyawan IT ini tinggal bersama istri dan dua putrinya di kota Bonn, Jerman. Tahun 2019 ini bulan puasa berlangsung di musim semi.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Diburu batas waktu tesis
Devi Fitria harus menjelaskan pada rekan kerjanya yang non-muslim mengapa ia stop makan, minum dan merokok pada bulan puasa. Kini rekannya lebih mengenal makna Ramadan. Devi berpuasa di tengah kesibukan kerja. Dulu saat kerja di sektor gastronomi, berat baginya berpuasa karena berjam-jam lamanya ia harus berdiri, menuang minuman dan menyiapkan makanan bagi tamu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Terhindar godaan tukang bakso
Kegiatan Anggi Pradita segudang: kuliah, kerja di kafe & layanan kebersihan, aktif dalam kegiatan mahasiswa dan budaya. Meski sibuk berat, sejak tahun 2011 tinggal di Jerman, Anggi tak pernah sakit ketika berpuasa. Walau durasi puasa lebih lama, Anggi lebih suka berpuasa di Jerman: “Di Jerman tak banyak godaan, misalnya godaan jajanan bakso yang banyak mangkal di jalanan Indonesia.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Silat jalan terus
Tiap Ramadan tiba, Joko Suseno, sering merindukan suasana “heboh“ di kampung halaman, silaturahmi dengan teman-teman atau organisasi lain dengan berbuka puasa bersama. Pendiri Perguruan silat di Jerman ini sempat tak puasa ketika sakit kepala mendera dan harus minum obat. Namun jarang sekali puasanya ‘bolong‘. Bahkan saat puasa, ia tetap mengajar silat di dua kota, Bonn dan Köln seperti biasa.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Begadang menanti sahur
Saat masih di Indonesia, Siti sangat senang bisa tarawih bersama kawan-kawan. Di Jerman, tiap bulan puasa tiba, awalnya kesepian. Namun kini--Siti yang sangat aktif mengorganisir kegiatan budaya dan sosial di Jerman-- senang melihat banyak orang di Jerman yang juga berpuasa. Ia dan kawan-kawan kadang ‘begadang‘ bersama menunggu sahur tiba.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tergoda perempuan cantik
Syamsir Alamsyah biasanya pulang kampung ke Kalimantan saat bulan puasa. Gitaris band Melayu di Jerman ini mengatakan: “Susah puasa di Jerman jika jatuhnya pada musim panas, banyak perempuan cantik jalan-jalan atau menikmati matahari yang jarang muncul di Jerman, dengan busana seronok. Di kampung, saya sibuk bersama keluarga dan teman, tak sempat jalan-jalan keluar seperti di Jerman.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Musim panasnya sejuk
Di Jerman tak ada Adzan Maghrib yang biasa terdengar dimana-mana, sehingga harus disiplin sendiri mengontrol waktu berbuka puasa maupun sahur, ujar Hosy Indradwianto. Jadi ia memantaunya lewat internet di telepon genggam. Karyawan Konsulat RI di Frankfurt ini mengaku mengalami kesulitan di awal bulan puasa. Lama-lama ia bisa menikmatinya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Reflek menjilat tumpahan sup
Bekerja di sektor gastronomi pada bulan puasa adalah tantangan berat bagi Bambang Susiadi. Namun ia tetap menjalankan ibadah puasa. ia berkisah, dulu, saat menyiapkan makan siang anak-anak sekolah di tempat kerja, tangannya pernah terkena tumpahan sup. Reflek, ia menjilatnya. Namun sebelum tertelan ia ingat sedang berpuasa.
Foto: Bonnindo
Halte bis jadi sering terlewat
Sebelum ke Jerman, Lenny Martini, sempat ‘keder’ dengan panjanganya jam berpuasa di musim panas, “Pas dijalani, ternyata biasa saja,“ ujar peneliti urban ini sambil tertawa. Tapi karena jam berbuka dan sahur menjadi amat pendek, otomatis jam tidurnya pun sangat berkurang, “Jadi sering ngantuk, tiap naik bis sering terlewat halte stopnya karena ketiduran.“
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ramadan tak Ramadan, di Jerman sama saja
Sanusi kadang tak berpuasa, karena tidak mendapatkan suasana serupa seperti di kampung halaman. Di Jerman, bagi petugas museum ini, suasana Ramadan sama saja seperti bulan-bulan lainnya. “Semua sama saja, jadi tak ada perasaan apa-apa…“ Namun jika Ramadan tiba, rasa rindu Sanusi pada rang tua dan kampung halaman semakin menggebu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kangen "ngabuburit"
Michi Widyastuti kangen sahur dan berbuka puasa bersama keluarga. Ia tak pernah lupa asyiknya “ngabuburit“ di tanah air, sebelum akhirnya pindah ke Jerman. Meski karyawan toko organik ini pandai dan hobi memasak, tiap bulan puasa, ia tetap ‘ngidam‘ makanan enak di Indonesia. Ia tinggal di Jerman bersama suaminya yang orang Jerman dan putri kembarnya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lupa buka puasa gara-gara nonton bola
"Tak ada adzan, tak ada kultum, tak ada tukang kolak..." demikian tutur Anky Padmadinata tentang Ramadan di Jerman. Ia mengaku jika keasyikan melakukan sesuatu, seperti nonton bola misalnya, kadang-kadang terlewat berbuka puasa. Tiga hari pertama puasa terasa berat karena tubuh belum terbiasa, setelahnya tak ada masalah.