1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Timbang-menimbang Wacana Repatriasi WNI Eks-ISIS

Rizki Akbar Putra
11 Februari 2020

Pro dan kontra iringi polemik wacana pemulangan WNI eks-ISIS ke tanah air. Dari perspektif keamanan hingga sisi hak asasi manusia jadi pertimbangan pemerintah Indonesia.

Syrien al-Hol camp IS-Angeghörige
Foto: Getty Images/AFP/D. Souleiman

Wacana pemulangan WNI eks-ISIS ke Indonesia kini hangat diperbincangkan. Pro dan kontra mengiringi bergulirnya wacana ini. Pemerintah Indonesia pun dilema atas dua pilihan antara hak asasi manusia (HAM) dan potensi ancaman radikalisme pemulangan mantan kombatan ISIS. Saat ini, sedikitnya 600 WNI eks-ISIS tersebar di beberapa wilayah di Timur Tengah.

Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberikan isyarat untuk menolak pemulangan ratusan WNI eks-ISIS tersebut. Namun ia mengatakan pemerintah tengah mengkaji secara mendalam terkait wacana ini.

"Kita ini pastikan harus semuanya lewat perhitungan kalkulasi plus minusnya semuanya dihitung secara detail dan keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya," ujar Jokowi dikutip dari detiknews, Jumat (07/02).

Keamanan

Banyak pihak angkat suara terkait polemik ini. Pengamat terorisme dari Jurnal Intelijen, Stanislaus Riyanta mengatakan pemerintah patut mengedepankan perspektif keamanan dalam mempertimbangkan pengambilan keputusan terkait wacana pemulangan WNI eks-ISIS.

Musababnya, beberapa kali aksi teror yang terjadi di dalam negeri dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Potensi ancaman tersebut, menurutnya bisa menjadi nyata bersumber dari WNI mantan kombatan ISIS tersebut.

"Anggota ISIS yang berasal dari Indonesia banyak yang sudah belajar cara menggunakan senjata, berlatih cara menyerang, melakukan pembunuhan dengan keji,” ujar Stanislaus dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia, Senin (10/02) sore.

"Meskipun berbagai perspektif seperti humanisme dan HAM menjadi pembela untuk memulangkan anggota ISIS asal Indonesia tersebut, namun negara sebaiknya tetap mempertimbangkan faktor keamanan dan kesalamatan 270 juta warga negaranya," lanjutnya.

Stanislaus mengatakan, kini nasib tak jelas para WNI yang telah berbaiat kepada ISIS tersebut merupakan konsekuensi yang harus mereka tanggung.

"Perlu diingat bahwa 600 anggota ISIS tersebut meninggalkan Indonesia atas niat sendiri, tanpa izin pemerintah, dan mereka bergabung dengan organisasi teroris yang sudah dilarang. Pilihan tersebut tentu mempunyai implikasi risiko yang harus siap ditanggung,” ungkap Stanislaus.

Nasib anak-anak

Kepada DW Indonesia, Ketua SETARA Institue, Hendardi meminta pemerintah bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan terkait nasib para WNI eks-ISIS. Ia berpendapat Indonesia dapat menggalang kesepekatan internasional tentang nasib mantan kombatan ISIS. Tak hanya Indonesia, banyak WNA eks-ISIS lainnya yang juga memiliki nasib serupa.

Cepat atau lambat Indonesia dinilai harus mengambil sikap terkait nasib WNI eks-ISIS tersebut. "Isu kemanusiaan dan statelessness akan menjadi perhatian utama dunia internasional," terang Hendardi.

Ia menegaskan pemerintah bisa mengutamakan pemulangan anak-anak Indonesia dari wilayah Timur Tengah agar tidak terpapar paham ISIS. 

"Terutama yang berada di bawah usia 9 tahun. Semakin lama anak-anak itu tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis. Semakin lama mereka disana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem di sana," lanjutnya.

Langkah-langkah pencegahan dan penanganan ekstremisme keagamaan di dalam negeri dapat diintensifkan pemerintah agar gerakan serupa ISIS di masa-masa yang akan datang dapat dihindari. Selain itu, intoleransi menurutnya menjadi "anak tangga pertama" menuju aksi-aksi radikalisme dan terorisme. (rap/vlz)