1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaBrasil

Timnas Brasil: Berakhirnya Era "Jogo Bonito"

Tobias Käufer
26 Maret 2024

Tim nasional Brasil dinilai mulai kehilangan identitas sepak bola yang dulu menjadi acuan bagi banyak negara. Penyebabnya adalah cuci gudang talenta-talenta muda yang diborong klub-klub kaya Eropa.

Tim nasional Brasil di Piala Dunia 2022 Qatar
Tim nasional Brasil di Piala Dunia 2022 QatarFoto: Francois Nel/Getty Images

Mendung menggelayuti tim nasional sepak bola pria Brasil sejak beberapa tahun belakangan. Setelah gagal lolos ke Olympiade Paris 2024, timnas berjuluk 'Selecao' itu kini hanya bertengger di posisi keenam babak kualifikasi Piala Dunia di Amerika Selatan. Bagi juara dunia lima kali itu, pencapaian Vinicius Junior dkk. masih jauh dari harapan.

Sebab itu pula, Dorival Junior menjadi pelatih ketiga dalam dua tahun terakhir yang diberi kans memoles timnas. "Saat ini, tidak ada lagi yang namanya sepak bola ala Brasil," kata bekas pemain timnas, Grafite. Gaya permainan indah alias"Jogo Bonito", yang menyihir penonton sejak era Pele, kini tidak lagi bisa dikenali pada permainan tim Samba.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Eksodus gembosi pengembangan di dalam negeri

Redupnya identitas Brasil, menurut mendiang legenda sepak bola Brasil, Mario Zagallo, dipicu maraknya penjualan talenta muda ke luar negeri. Pernyataan itu diungkapkan Zagallo usai tim asuhannya dipermalukan 1:7 oleh Jerman di babak semi final Piala Dunia 2014 di rumah sendiri.

Eksodus talenta muda Brasil antara lain dipicu perubahan regulasi di Eropa 20 tahun silam. Sejak itu, klub-klub Eropa tidak lagi dibatasi dalam berbelanja pemain asing. Menurut Asosiasi Sepak Bola Brasil, kelonggaran itu mendorong ratusan talenta muda Brasil menerima pinangan klub Eropa setiap tahunnya.

"Hal ini mengganggu pengembangan identitas sepak bola Brasil," kata David Gomes, sejahrawan sepak bola Brasil. Pemain-pemain terbaik, yang mampu mewarisi gaya sepak bola Brasil, tidak lagi punya waktu mengembangkan talenta di negeri sendiri, imbuhnya.

Termasuk di antaranya adalah kebebasan menggiring bola seorang diri untuk menentukan jalannya pertandingan. Di Eropa, disiplin tim sebaliknya lebih dikedepankan dan ditanamkan sejak dini.

Transfer besar silaukan publik

Biasanya, hanya penjualan talenta istimewa seperti Vinicius Junior pada tahun 2018 atau Endrick ke Real Madrid tahun ini yang menyedot perhatian terbesar.

Namun dengan banyaknya penjualan pemain yang luput dari perhatian, liga Brasil terus kehilangan substansi dan kualitas, baik di level akar rumput maupun di level profesional. Bisnis pemain muda di Brasil bisa dibandingkan dengan eksploitasi bahan mentah. Cuma saja, bukan tembaga, minyak bumi, atau litium yang diambil oleh negara-negara industri kaya, melainkan bakat-bakat sepak bola.

"Adalah hal normal bahwa pemain Brasil menyesuaikan diri dengan gaya sepak bola Eropa, tapi masalahnya timnas Brasil tidak bisa mengimbangi dengan baik," kata Grafite, bekas pemain timnas.

Menurutnya, pemain Brasil memiliki ritme dan kecepatan main yang berbeda dengan di Eropa, kata pria berusia 44 tahun itu. Kedua identitas itu bertabrakan di tim nasional, kata dia. "Hal ini bisa disimak pada Piala Dunia terakhir," ujarnya. Di Qatar 2022, Brasil tersingkir di babak perempat final setelah kalah dari Kroasia.

Kesuksesan liga Inggris korbankan liga lain

Liga Primer Inggris saat ini dianggap sebagai tolok ukur klub sepak bola di seluruh dunia. "Tetapi bagaimana Premier League bisa menjadi liga terbesar di dunia ketika Inggris tidak memiliki pemain terbaik atau prestasi mentereng di Piala Dunia?” tanya sejarawan Gomes dan memberikan jawabannya sendiri: "Itu hanya bisa dilakukan dengan mengimpor pemain, dari Amerika Latin dan Afrika. Dan Brasil adalah salah satu gudang terbesar dari bakat ini."

"Bayangkan betapa kuatnya liga sepak bola Brasil jika saat ini memiliki pemain yang menghasilkan uang di Inggris, seperti Douglas Luiz, Lucas Paquetá, João Gomes, Bruno Guimarães , Richarlison, atau di liga Eropa lainnya, seperti Vinícius Junior atau Rodrygo," imbuhnya lagi.

Hampir mustahil menghentikan tren pembelian talenta muda oleh klub kaya, kata Gomes: "Untuk membangun liga yang kuat di Brasil, diperlukan manajemen klub dan keuangan yang baik. Pertandingan yang adil diperlukan. Juga sesuatu yang mengurangi ketergantungan klub pada penjualan besar."

Menurutnya, dukungan politik juga diperlukan. "Kami membutuhkan undang-undang yang melindungi klub-klub kecil.”

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait