Timor Leste dan Australia Upayakan Kesepakatan Batas Laut
13 Oktober 2016
Timor Leste dan Australia ingin mencapai kesepakatan dalam sengketa perbatasan laut melalui mediasi Mahkamah Arbitrase Internasiona Den Haag. Pertemuan tertutup kedua negara berlangsung "produktif".
Iklan
Timor Leste dan Australia bermaksud mencapai kesepakatan baru tentang batas-batas maritim yang jadi sengketa di perairan Laut Timor yang kaya sumber daya. Demikian dilaporkan Mahkamah Tetap Arbitrase Internasional, Permanent Court of Arbitration - PCA), di Den Haag hari Kamis (13/09).
Pertemuan tertutup antara kedua negara telah berlangsung "sangat produktif" dan akan dilanjutkan tahun depan, kata Mahkamah Tetap Arbitrase dalam sebuah pernyataan. Kesepakatan bisa dicapai sampai bulan September tahun depan.
Mahkamah Arbitrase bulan lalu memutuskan menerima keberatan yang diajukan Timor Leste dan meminta Australia menegosiasikan lagi kesepakatan bagi hasil antara kedua negara.
Australia memainkan peran penting dalam proses kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia tahun 2002, setelah pendukung opsi kemerdekaan memenangkan referendum yang dilaksanakan tahun 1999 di bawah pengawasan PBB.
Tidak lama setelah kemerdekaan, Timor Leste dan Australia menyepakati perjanjian bagi hasil dari eksploitasi sumber minyak dan gas di kawasan yang dinamakan Greater Sunrise. Namun Timor Leste kemudian menyebut kesepakatan itu tidak adil. Timor Leste juga sempat menuduh Australia melakukan kegiatan spionase saat perundingan.
"Semua setuju untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu dari proses konsiliasi," kata Peter Taksoe-Jensen dari Mahkamah Arbitrase yang memimpin perundingan antara kedua negara. Proses ini akan berlangsugn sampai batas waktu yang ditetapkan, yaitu 19 September 2017.
"Saya sangat senang melihat niat yang tulus dari kedua belah pihak untuk duduk bersama dalam semangat kerjasama," kata Peter Taksoe-Jensen selanjutnya.
"Kedua belah pihak patut mendapat pujian karena bersedia untuk melangkah melampaui perbedaan masa lalu, dan bekerja keras untuk menciptakan kondisi yang kondusif demi tercapainya kesepakatan."
Timor Leste mengajukan kasus sengketa perbatasan laut itu ke Mahkamah Arbitrase yang diharapkan bisa menetapkan batas-batas laut di kawasan Greater Sunrise. Timor Leste menyatakan bahwa perjanjian sebelumnya cacat karena ada kegiatan spionase Australia terhadap para diplomatnya.
Timor Leste menuntut agar batas laut harus ditarik di jarak tengah antara kedua negara. Namun Australia menolak interpretasi itu dengan alasan, cara pendefinisian seperti itu bisa mendorong Indonesia untuk juga berusaha menggeser perbatasan lautnya dan memperoleh kepemilikan ladang minyak yang disengketakan.
Kawasan Greater Sunrise diperkirakan punya cadangan gas sekitar 5,1 triliun kaki kubik dan 226 juta barel kondensat. Selama ini, eksploitasi kawasan itu dihentikan karena rendahnya harga gas bumi dan sengketa perbatasam antara kedua negara.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.