Timor Leste dan Australia Adu Pendapat di Mahkamah Arbitrase
29 Agustus 2016Mulai hari Senin ini (29/08) Mahmakah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration -PCA) mulai melakukan dengar pendapat dalam kasus sengketa perbatasan laut antara Timor Leste dan Australia di kawasan celah Timor.
Bulan April lalu, Timor Leste meminta PBB menyelesaikan sengketa maritimnya dengan Australia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Yang dipertaruhkan adalah pemasukan sampai 40 miliar dolar per tahun dari minyak dan gas.
Australia berulang kali menolak melakukan negosiasi tentang perbatasan laut dengan Timor Leste, karena khawatir akan kehilangan miliaran dolar dari ekspolrasi minyak dan gas.
Timor Leste berpendapat, perbatasan laut seharusnya setengah dari jarak antara Timor Leste-Australia. Tapi itu berarti, wilayah yang diduga punya cadangan minyak dan gas terbesar akan berada di bawah kedaulatan Timor Leste.
Timor Leste akhirnya membawa masalah itu ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Sekalipun hasilnya nanti tidak bersifat mengikat karena Australia sudah keluar dari UNCLOS sebelum Timor Timur resmi menjadi negara berdaulat.
Wakil-wakil dari kedua negara sekarang akan merepresentasikan posisi mereka di PCA Den Haag. Prosesnya bisa berlangsung selama setahun, sebelum para hakim menghasilkan laporan mereka.
Perdana Menteri Timor Leste , Rui Maria de Arauji April lalu menyatakan, maju ke Mahkamah Internasional adalah "langkah terakhir dalam mewujudkan kedaulatan kita sebagai negara merdeka."
Tapi sebelum sidang dengar pendapat dimulai, Australia sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa Mahkamah Arbitrasi Internasional PCA di Den Haag tidak punya yurisdiksi dalam kasus ini. Artinya, Australia tidak akan memperhatikan keputusan yang dihasilkan di sana.
Menteri Luar Negeri australia Julie Bishop menyatakan, negaranya tetap akan mengikuti pertemuan Komisi Konsiliasi di Den Haag yang menjadi bagian dari PCA. Namun Kementerian Luar Negeri dan Kejaksaan Australia juga merilis pernyataan tegas.
"Kami akan berargumentasi, bahwa komisi tidak punya yurisdiksi untuk melakukan dengar pendapat tentang perbatasan maritim", demikian disebutkan dalam pernyataan bersama Julie Bishop dengan Jaksa Agung Australia Georgy Brandis.
Pihak Australia bersikeras, perjanjian yang dibuat dengan Indonesia dan dengan Timor Leste tetap punya kekuatan legal yang mengikat dan menegaskan bahwa perjanjian itu menguntungkan kedua belah pihak.
Namun pemerintah Timor Leste menuduh Australia melakukan spionase selama perundingan tahun 2006, beberapa tahun setelah Timor Leste resmi merdeka dari Indoensia antara lain dengan bantuan dari Australia.
Timor Leste pernah mengajukan kasus spionase ini ke Mahkamah Pidana Internasional PBB, tapi menarik lagi kasus itu, setelah Australia mengembalikan beberapa dokumen sensitif.
Pemerintah di Dili menyatakan "menyesali" pendirian Australia yang sekarang menolak fregulasi Mahkamah Arbitrase Internasional. Australia juga dikritik sebagai "hipokrit" dan menerapkan "standar ganda", karena mendesak Cina menaati rekomendasi PCA dalam sengeketa perbatasan di Laut Cina Selatan, namun menolak otoritas lembaga peradilan tertua dunia itu ketika menghadapi kasus Celah Timor.
hp/ap (afp, dpa)