1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tindakan Jerman terhadap Pelanggaran Perlindungan Data Dinilai Lambat

6 Mei 2009

Internet, surat elektronik dan telefon genggam merupakan alat komunikasi yang berjaring tanpa batas. Namun juga terbuka untuk pengawasan total. Para pelindung data, menuntut adanya pembatasan yang jelas melalui hukum.

Gambar simbol perlindungan dataFoto: Bilderbox

Pada hari Selasa (05/05), di Berlin berlangsung sebuah konferensi dua hari mengenai perlindungan data. Konferensi ini mempertemukan para ahli politik, administrasi dan ekonomi, yang beberapa bulan terakhir menghadapi berbagai skandal yang terkait dengan perlindungan data. Baik perusahaan telekomunikasi Jerman, perusahaan kereta api Jerman maupun sejumlah supermarket telah melanggar hak individu para pekerjanya dan memata-matai mereka secara ilegal. Seruan semakin keras untuk perlindungan buruh yang lebih besar. Apalagi rancangan undang-undang perlindungan data baru berulang kali dipresentasikan, namun sampai kini belum dipraktikkan.

Daftar mengenai kelemahan perlindungan data yang dibahas para petugas bidang ini di Berlin, sangat panjang. Skandal yang terkait pun cukup banyak. Maret lalu di Jerman, misalnya, terbongkar skandal Perusahaan Kereta Api Deutsche Bahn. Perusahaan negara itu telah memata-matai 170 ribu pegawainya dan secara sistematis memeriksa data guna menyelidiki hubungan karyawannya dengan para mitra usaha Deutsche Bahn. Perusahaan itu menggunakan peluang korupsi sebagai alasan resmi untuk tindakan memata-matai yang berlangsung seputar 2002/2003 itu. Masalahnya, meskipun alasan itu mungkin dipercaya, tindakannya tetap melanggar undang-undang perlindungan data yang berlaku di Jeman. Sayangnya formulasi undang-undang itu sangat umum dan kuno, sehingga peluang untuk melanggarnya pun sangat besar.

Pejabat perlindungan data, Alexander Dix menyerukan agar dibuat undang-undang yang lebih rinci dan lebih baik. "Alasan untuk memata-matai secara luas tidak boleh ada hanya atas dasar sebuah dugaan. Namun masalahnya justru di sini, karena terdapat peluang dalam formulasi hukumnya. Itulah sebabnya diperlukan penanganan, dan ini secara politik harus juga diakui," Alexander Dix menerangkan.

Desember tahun 2008 lalu, Menteri Dalam Negeri Jerman Wolfgang Schäuble juga memasukkan sebuah rancangan undang-undang yang melindungi dari kebiasaan perusahaan menjual alamat serta data-data klien kepada pembeli dengan harga tertinggi. Data yang diperjualbelikan itu, termasuk juga data perbankan pribadi para klien. Salah satu kritik yang paling keras disuarakan Gisela Piltz, dari Partai Demokrat Bebas. "Saya pikir yang bakal kita hadapi berat sekali. Pengawasan sampai ke ruang yang paling intim dalam ekonomi setiap orang, harus mendapatkan perhatian."

Namun perubahan tak kunjung ada. Kini Alexander Dix menilai bahwa bukan saja diperlukan undang-undang yang lebih baik, melainkan perlu adanya ganti-rugi bagi para korban skandal-skandal pelanggaran data pribadi itu. "Hukuman terhadap pelanggaran ruang pribadi seseorang harus lebih tegas. Dalam hal ini para pekerja secara prinsipil berada di posisi lemah, karena mereka tidak bisa membuktikan tindakan majikannya. Karena itu, justru dalam hal inilah hak-hak para pekerja harus diperkuat."

Di pihak lain, pejabat badan pengawas perlindungan data, Peter Schaar, mengaku jawatannya sering merasa seperti macan ompong karena tidak memiliki otoritas untuk menghentikan pelanggaran yang ditemukan.

Suara kritis memang banyak. Namun pembaruan undang-undang perlindungan data, tampaknya tidak akan ditetapkan dalam masa legislasi ini. Dua bulan lagi parlemen Jerman memasuki masa libur musim panas. Sedangkan September mendatang, akan berlangsung pemilu. Dikuatirkan, tema perlindungan data akan begitu saja terlupakan, sampai skandal berikutnya.

Marcel Fürstenau/Edith Koesoemawiria

Editor: Yuniman Farid