1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Faktor Pengaruh Rasio Kematian COVID-19 di Indonesia

Rizki Akbar Putra
19 Maret 2020

Rasio kematian akibat COVID-19 di Indonesia capai 8 persen, sementara rasio global menurut WHO sebesar 4 persen. Terbatasnya lokasi pemeriksaan, hingga kesiapan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan ikut berpengaruh.

Kasus corona di Korea Selatan
Foto: picture-alliance/dpa/XinHua

Korban meninggal dunia karena COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Hingga Kamis (19/03) sore, jumlah kasus COVID-19 dilaporkan sebanyak 309 kasus, sedangkan sehari sebelumnya mencapai 227 kasus. Sebanyak 15 kasus di antaranya dinyatakan sembuh, sementara 25 kasus meninggal dunia.

Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara Penanganan COVID-19 Indonesia, Achmad Yurianto. "Total kasus pada hari ini adalah 309 orang," ujar pria yang akrab dipanggil Yuri dalam konferensi pers yang ditayangkan di laman YouTube BNPB, Kamis.

DKI Jakarta menjadi provinsi penyumbang kasus terbanyak dengan total sejauh ini ada 52 kasus, disusul Banten dengan 10 kasus.

Yuri menjelaskan bahwa 25 kasus meninggal telah menjadikan rasio kematian akibat COVID-19 di Indonesia menjadi 8 persen. Sementara rasio kematian dunia yang dirilis WHO hanyalah 4 persen. Meski mengaku rasio tersebut tinggi, Yuri berpendapat angka ini masih dapat terus berubah.

"Angka ini memang masih tinggi, tapi ini adalah angka yang dinamis, yang setiap saat jumlah kasus baru akan bisa meningkat dengan cepat. Dan kemudian mudah-mudahan tidak ada lagi kasus yang meninggal," jelas Yuri.

Banyak faktor pengaruhi rasio kematian

Menanggapi tingginya rasio kematian COVID-19 di Indonesia, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi, menyebut ada banyak faktor yang mempengaruhi rasio mortalitas. Salah satunya yaitu keterbatasan data karena hingga saat ini data kasus positif COVID-19 hanya didapat dari beberapa lokasi pemeriksaan.

Usia dan riwayat penyakit penyerta juga menjadi faktor tingginya rasio kematian. Menurut Adib, dengan adanya informasi usia dan riwayat penyakit penyerta, petugas medis bisa memberikan penangan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona di Indonesia.

"Ini yang kasus di Indonesia, ada temuan meninggal 25, kita ingin datanya. 25 (orang) usia berapa saja, ada faktor penyakit penyerta apa. Ini penting juga untuk kami dalam sebuah riset data ilmiah, supaya kita bisa mengantisipasi langkah-langkah dalam penanganan (COVID-19) di Indonesia. Apakah nanti ada perbedaan penanganannya di Indonesia dengan negara lain?" jelas Adib saat diwawancara DW Indonesia, Kamis (19/03).

"Dari sisi lain, apa pasien-pasien yang meninggal itu masuk ke rumah sakit, dirawat di rumah sakit sudah dalam kondisi yang berat sewaktu masuk? Misalnya 25 kasus masuk sudah dengan pneumonia berat, sepsis, ya memang itu termasuk prognosis buruk untuk penanganannya," ia menambahkan.

Adib juga menyoroti sarana dan prasarana yang tersedia di fasilitas-fasilitas kesehatan dalam menangani kasus COVID-19. "Apakah memang juga dipengaruhi sarana dan prasarana? ICU, isolasi, dengan ventilatornya, juga penting. Ketersediaan sarana prasarananya sudah mendukung tidak? Karena itu juga berpengaruh dalam perawatan penangannya. Bukan masalah dokternya, tapi ketersediaan fasilitas tadi," kata Adib.

Kasus corona diprediksi akan bertambah

Adib yang juga merupakan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), memprediksi jumlah kasus COVID-19 di Indonesia akan meningkat seiring bertambahnya laboratorium pemeriksaan spesimen yang disediakan pemerintah. Ini berarti apabila semua laboratorium pemeriksaan sudah diaktifkan, bukan tidak mungkin kasus-kasus baru juga akan ditemukan, terang Adib.

Sementara itu, juru bicara Penanganan COVID-19 Indonesia, Achmad Yurianto, dalam konferensi persnya menyatakan mayoritas kasus meninggal COVID-19 terjadi kepada mereka yang berusia lanjut dan memiliki riwayat penyakit pendahulu. "Beberapa kasus meninggal dalam rentang usia 45 hingga 65 tahun. Satu kasus 37 tahun. Kalau kita lihat faktor lain ada penyakit pendahulu, diabetes, hipertensi, dan jantung kronis," paparnya.

Hingga berita ini diturunkan, sedikitnya 218.000 kasus COVID-19 tersebar di seluruh dunia dengan 8.800 orang meninggal dunia dan 84.000 orang telah sembuh.

rap/ae