1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Toilet dan Modernisasi

18 Juli 2017

Mengapa bukti kemodernan hanya terbatas pada pembangunan gedung, penggunaan alat-alat dan teknologi, fasilitas WC. Bukankah seharusnya lewat cara berpikir? Simak opini Nadya Karima Melati ini.

Symbolbild - Toilette in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa

Seorang kawan bule pergi ke mall kelas atas di Jakarta, dia terkaget-kaget karena dirinya disambut oleh petugas kebersihan dan diucapkan terima kasih setelah selesai gunakan toilet di pusat perbelanjaan tersebut.

Sang lelaki asal negara asing itu merasa janggal, mengapa harus mendapat ucapan terima kasih setelah buang air? Apa masalahnya? Apakah kotorannya begitu spesial?

Ketika saya mendengarkan ceritanya, saya juga ikut kaget, karena mungkin baru dia yang merasa aneh dengan perlakuan tersebut.Apakah mungkin orang luar mampu melihat keanehan dan keunikan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta dan memiliki perangkat bahasa untuk mengkritik dan menuliskannya.

Sedangkan kita yang berada di dalamnya menerima begitu saja atas beberapa larangan dan anjuran tanpa mempertanyakannya kembali?

Banyaknya pembangunan di sana-sini tidak hanya mengubah wajah ibukota tapi juga interaksi dan norma sosial di dalamnya. Wacana pembangunan selalu dilekatkan dengan upaya modernisasi dan pembangunan tersebut diterima begitu saja oleh masyarakat termasuk saya. Modernisasi bukan sekedar mengikuti perilaku negara maju atau membangun gedung, modernisasi juga penyesuaian perilaku dan budaya dengan zaman yang terus berubah.

Tapi apakah kita menyadari sedang berada dalam modernisasi atau kita terbawa arus westernisasi? Tulisan ini akan memikirkan ulang modernisme melalui perilaku sehari-hari penggunakan toilet.

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Berefleksi lewat toilet

Kakus. Alat sederhana dan sehari-hari. Pelengkap hidup yang berguna untuk buang isi perut atau bahasa halusnya, buang air: besar ataupun kecil. Jamban sudah diasosiasikan dengan tahi, muntah, air kencing, darah mens dan segala hal dianggap menjijikan yang berasal dari tubuh manusia.

Walau lekat dan diasosiasikan dengan kotoran, penyair Wiji Tukul sempat menyebutkannya sebagai kritik terhadap negara yang tidak mempedulikan penduduk/rakyat atas nama kepentingan pembangunan negara, katanya "Nasionalisme itu nasi, dimakan jadi tahi.” Jamban adalah tempat ke mana tahi-tahi itu bermuara.

Pergerakan peradaban menuju zaman modern melengkapi tubuh untuk berdisiplin dalam buang air. Baik lokasi maupun tata caranya. Sadar atau tidak, toilet dijadikan ukuran ‘kemajuan' suatu peradaban.

Water closet atau disingkat WC adalah bagian dari peradaban, pendisiplinan tubuh masyarakat untuk mengeluarkan tinja di lokasi yang sama dibuktikan melalui parit-parit dari peradaban Romawi kuno yang sisa-sisanya masih bisa kita lihat hingga saat ini. 

Kemudian, kloset terus berinovasi dengan ditemukannya lubang untuk menampung tinja, saluran pembuangan leher angsa yang membuat air menggenang di bagian atas sehingga menghambat penyebaran bau, hingga wash down closet yang banyak kita jumpai hari ini.

Dalam bidang arsitektur, kakus mencerminkan budaya setempat. Bahkan filsuf asal Slovenia, Slavoj Zizek menyatakan bahwa ideologi tiap-tiap negara pembentuk Eropa yakni Perancis, Jeman dan Anglo Saxon tercermin dari bentuk  mereka. Kakus Perancis yang lubangnya terletak di belakang menunjukan semangat Perancis  untuk melakukan revolusi, kakus orang Inggris yang berada di tengah dan dikelilingi oleh air memperlihatkan semangat orang Inggris yang gemar berlayar dan kakus orang Jerman yang lubangnya di bagian depan memperlihatkan etika berpikir menginvestigasi dan mengobservasi Jerman.

Sedangkan buat saya, bentuk kakus mencerminkan budaya dan mampu menjadi mikroskop untuk melihat arus modernitas dalam kehidupan sehari-hari lebih jauh. Kepemilikan kakus mampu merepresentasikan klasifikasi sosial dan ekonomi dan melihat gerak modernisme masyarakat.

Hampir di setiap rumah kelas menengah dilengkapi dengan MCK (mandi, cuci, kakus) yang berdasarkan anjuran dari Kementerian Kesehatan No.416 Tahun 1990 yang harus memiliki kriteria jarak dengan sumber air minum, ketersediaan gayung dan sebagai macamnya. Negara, menghadirkan dirinya untuk mengatur masyarakat dalam urusan buang air dan menganjurkan penduduk untuk tidak lagi buang air besar di sungai atau kali melainkan membangun kamar mandi yang berfungsi untuk melakukan seluruh kegiatan membasuh.

Ada beberapa alasan untuk memindahkan kebiasaan basuh dari sungai ke kamar mandi: mulai dari kesehatan dan kebersihan, pencemaran sungai dan paling utama kemodernan. Selanjutnya, tata cara buang hajat dan kepemilikan toilet menjadi penentu kemajuan peradaban dan kelas sosial. Contohnya adalah bagaimana mahasiswa saat diperuntukkan KKN (Kuliah Kerja Nyata) harus berusaha membuat dirinya nyaman dan terbiasa dengan kondisi kamar mandi di lokasi pedesaan yang dianggap ala kadarnya.

Sedangkan kos-kosan mahasiswa sendiri jelas menentukan kelas ekonomi berdasarkan ketersediaan kamar mandi umum ataupun privat. Untuk kamar dengan fasilitas kamar mandi di luar alias kamar mandi bersama, harga kosan akan lebih murah dibandingkan kos dengan kamar mandi dan jamban sendiri yang biasanya dimiliki oleh mahasiswa dari kelas ekonomi lebih atas.

Masyarakat, kurang lebih seperti yang dialami oleh kehidupan mahasiswa sehari-hari itu. Tidak hanya ketersediaan kamar mandi sebagai penanda kelas, tapi juga berfungsi untuk mengukur dan membedakan modernitas.

Kamar mandi menjadi simbol wilayah yang sudah modern dan tidak modern. Tidak disangkal lagi bahwa toilet duduk selalu dianggap lebih modern daripada toilet jongkok.

Padahal, bule di paragraf pembuka tulisan saya di atas ini belum tentu mampu menggunakan toilet jongkok. Jongkok, adalah keahlian yang selalu dilabelkan dimiliki oleh orang Asia, dan khususnya Asia Tenggara menggunakan air untuk membasuh dan membersihkan bagian-bagian yang perlu dibersihkan. Dan posisi jongkok dan duduk sebenarnya lebih menunjukan pluralitas kebudayaan begitu juga dengan alat pembersihnya.

Modernisasi, globalisasi dan westernisasi

Pertanyaan berikutnya muncul, mengapa hotel-hotel berbintang dan mall selalu menyediakan toilet duduk? Hotel, menyediakan fasilitas berdasarkan pengunjung/pelanggan. Keberadaan hotel sendiri merupakan pembuktian globalisasi.

Ketersediaan kakus duduk dan WC yang kering adalah asumsi dasar bahwa tamu yang akan berkunjung adalah kelas atas yang didominasi kulit putih, untuk itu fasilitas kamar mandi disesuaikan dengan asumsi tersebut. Tapi bagaimana jika toilet hotel dan mall dijadikan patokan untuk menjadi modern, karena keberadaan tempat itu dianggap sebagai motor penggerak modernisasi. Hotel sebagai lokasi bertemu budaya antar negara dan mall sebagai pembuktian kapitalisme global yang bericiri pasar bebas.

Jika Risa Permanadeli dalam bukunya Dadi Wong Wadon mengungkapkan modernisme adalah globalisasi itu sendiri, saya bersepakat untuk itu. Tapi kemudian modernisasi dipertanyakan lebih jauh lagi karena ternyata ada tuntutan pasar global untuk menjadi modern dan memang sebenarnya di mana dan bagaimanakah batasan-batasan modern itu?

Apakah menjadi modern bertentangan dengan identitas kesukuan?

Risa menjelaskan bahwa penampilan menentukan kemodernan atau pencapaian ‘Dadi Wong' dan konsumsi menjadi jalan yang dipilih untuk menunjukan keberhasilan mencapainya.

Dan ruang domestik seperti toilet tidak berada dalam ruang yang beda dengan ruang publik. Toilet, menjadi ruang domestik yang diakumulasi dengan benda-benda modern lainnya seperti ikut serta dengan tren make up terkini adalah tahapan untuk masuk ke ruang publik.

Jadi, domestik dan publik bukan ruang yang terpisah melainkan saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Untuk itu, renovasi toilet jongkok menjadi duduk bukan hal yang aneh dan merupakan bentuk adaptasi demi memasuki globalisasi hari ini.

Sekarang, perumahan ataupun rumah-rumah kelas menengah berlomba-lomba untuk memiliki kakus duduk karena dianggap lebih modern hanya karena hotel berbintang dan mall-mall kelas atas itu menggunakannya.

Tuntuannya adalah menjadi bagian dari  masyarakat yang global. Jika ilmu pengetahuan alam telah memberikan kemajuan dalam bidang fisika-kimia dan tubuh manusia mempunyai sifat universal, kita menerapkannya mentah-mentah pada kehidupan sosial kita melalui pendisiplinan tata cara buang hajat dan penggunaan kloset duduk yang marak.

Kita sedang melakukan universalisasi budaya melalui globalisasi di mulai dari hal paling privat dan lekat: penggunaan kakus.Sekarang kita mempertanyakan lagi, di mana sebenarnya posisi kita sebagai masyarakat di dalam arus globalisasi? Apakah modernisasi akan selalu berwajah pembangunan dan penggunaan barang-barang elektronik?

Bukti kemodernan terbatas pada pembangunan gedung, pengaturan WC dan penggunaan alat-alat dan teknologi, bukan pada mental. Modernisasi dipaksakan melalui alat-alat mulai dari kloset duduk hingga barang elektronik yang berasal dari tuntutan pasar bebas, bukan dari keinginan masyarakat sendiri dan negara.

Penulis:

Nadya Karima Melati

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis