Terlepas dari kontroversinya, 17 Mei dimaknai sebagai Hari Buku Nasional. Upaya menembus pentas dunia tak bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku bermutu. Simak opini Anton Kurnia
Iklan
Bulan April dan Mei sarat dengan hari peringatan yang terkait dengan dunia literasi. Setiap 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Tanggal ini dipilih UNESCO karena bertepatan dengan saat penting yang berkaitan dengan para penulis besar. Tanggal 23 April adalah hari kematian Miguel de Cervantes (1547-1616) dan William Shakespeare (1564-1616). Lima hari kemudian, tepatnya tanggal 28 April yang bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Chairil Anwar, oleh sebagian orang di negeri kita diperingati sebagai Hari Sastra. Sementara, tanggal 17 Mei dimaknai sebagai Hari Buku Nasional bagi kita di Indonesia—terlepas dari kontroversi di belakangnya.
Bicara soal buku dan sastra saya jadi teringat Shakespeare, pujangga tersohor Inggris yang menulis lakon drama Romeo and Juliet. Dan bicara soal Shakespeare, saya jadi teringat pada Shakespeare and Company.
Shakespeare and Company adalah sebuah toko buku di Paris yang didirikan Sylvia Beach pada November 1919 dan kelak menjadi legendaris. Toko buku Shakespeare and Company didirikan bukan karena semangat ingin menjadi kaya atau niat-niat kapitalistis lainnya. Sylvia yang terlahir sebagai Nancy Woodbridge merantau ke Paris dari Baltimore, Amerika Serikat, melakukannya karena rasa cinta terhadap buku dan sastra serta keinginan untuk berbagi kebaikan.
Ulysses, novel adikarya James Joyce yang ditolak belasan penerbit karena dianggap cabul dan aneh, diterbitkan untuk kali pertama oleh Shakespeare and Company pada tanggal 2 bulan 2 tahun '22. Kelak buku setebal 1000-an halaman itu yang mula-mula dicetak 1.000 eksemplar itu dianggap sebagai novel terbaik yang terbit pada abad ke-20 oleh para kritikus sastra dan mengilhami para penulis dari generasi setelahnya.
Toko buku impian
Atas bantuan kawan, mentor, dan kemudian kekasihnya, Adrienne Monnier—seorang perempuan yang lebih dulu membuat toko buku lain di Paris, Sylvia mendirikan toko buku impiannya, mula-mula di Rue Dupuytren lalu pindah ke Rue l'Odeon—di seberang toko buku milik Adrienne—dua tahun kemudian. Di tempat itulah Ulysses diterbitkan dan diluncurkan dengan uang pinjaman dan modal cekak. Hingga kini, di bangunan bekas toko buku itu terdapat pelat bertuliskan keterangan bahwa pada 1922 tempat itu menjadi saksi sejarah kelahiran Ulysses.
Seiring waktu, toko buku yang didirikan Sylvia kian berkembang dan mendapat tempat di hati para pembaca dan penghasil bacaan. Para penulis kerap berkumpul, berdiskusi, dan menginap di toko buku itu—dari yang saat itu belum jadi siapa-siapa hingga yang sudah masyhur ke mana-mana. Sebutlah nama-nama: Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Gertrude Stein, Ezra Pound, Andre Gide.
Namun, pada 1941, saat Nazi menguasai Paris, toko buku itu terpaksa ditutup. Sylvia bahkan sempat ditahan penguasa. Desas-desus beredar, konon penyebab toko itu ditutup adalah karena Sylvia menolak menyerahkan sebuah buku langka koleksi toko itu kepada seorang perwira Nazi.
Sepuluh tahun kemudian, seorang Amerika lainnya yang terdampar di Paris dan mengagumi Sylvia membuka toko buku bernama Le Mistral di Rue de la Bucherie, di kawasan Tepi Kiri Sungai Seine, seberang Katedral Notre Dame yang tersohor dan tak begitu jauh dari toko buku milik Sylvia yang tak pernah dia buka lagi. Tempat itu pun lekas menjadi pusat nongkrong kaum literati Paris layaknya toko buku Sylvia pada masanya. Pada 1964, dua tahun setelah kematian Sylvia, Whitman mengubah nama toko bukunya menjadi Shakespeare and Company untuk menghormati Sylvia. Toko buku legendaris itu pun terlahir kembali.
Tak hanya sampai di situ. Kisah terus berlanjut. Pada 1 April 1981, Whitman dianugerahi seorang anak. Putri tunggalnya itu ia beri nama Sylvia Beach untuk mengenang dan menghormati Sylvia. Saat Whitman wafat, dua hari setelah berulang tahun yang ke-98 pada 2011, Sylvia Beach Whitman melanjutkan ayahnya mengelola toko itu hingga saat ini. Lengkaplah sudah kisah kelahiran kembali Sylvia Beach dan toko buku Shakespeare and Company.
Perpustakaan Paling Indah di Dunia
Perpusatakaan telah menopang peradaban manusia sejak lebih dari 4000 tahun. Bentuknya kini bisa bermacam-macam, ada yang serupa istana, sementara yang lain lebih mirip UFO. Inilah perpusataan paling spektakuler di dunia.
Foto: Imago/imagebroker
Perpustakaan Anna-Amalia, Weimar
Berdiri sejak lebih dari 300 tahun, perpusatakaan Anna Amalia di Weimar, Jerman, terkenal berkat aula berbentuk memanjang yang dibangun dengan gaya Rokoko (gambar). Tahun 2004 sebagian gedung perpusatakaan terbakar dilalap api. Butuh waktu tiga tahun bagi Jerman untuk merestorasi perpusatakaan bersejarah ini ke bentuk aslinya.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Woitas
Universitas Teknik Delft
Perpusatakaan di kompleks Universitas Teknik Delft, Belanda, terlihat mencolok berkat desain atapnya yang modern dan ditumbuhi rumput. Atap unik itu menjadi tempat beristirahat pada mahasiswa di musim panas. Kubah berbentuk kerucut yang menjulang di tengah gedung memiliki tinggi 42 meter dan menyimpan rak buku setinggi empat lantai.
Foto: Nicholas Kane/Arcaid/picture alliance
Biblioteca Joanina, Coimbra
Harian Inggris "The Daily Telegraph" pernah membaptis perpusatakaan di Coimbra, Portugal, ini sebagai salah satu yang paling spektakuler di dunia. Adalah raja Johann V. yang memerintahkan pembangunannya. Setiap rak pada perpustakaan ini dibuat dengan kayu mawar dan kayu hitam. Kini Biblioteca Joanina menjadi bagian Fakultas Hukum Universitas Coimbra.
Foto: picture-alliance/akg-images/H. Champollion
Bibliotheca Alexandrina, Alexandria
Perpusatakaan paling terkenal di dunia ini pernah habis terbakar 2000 tahun silam. Hingga saat itu Bibliotheca Alexandrina adalah wadah terbesar ilmu pengetahuan di dunia dengan lebih dari 490.000 lembar papirus. Tahun 2002 silam pemerintah Mesir merenovasi perpusataakaan ini dengan dana sekitar 220 juta Dollar AS.
Foto: picture-alliance/Arco Images GmbH
Klosterbibliothek St. Gallen
Sejak lebih dari 1300 silam berdiri perpusatakaan biara di St. Gallen, Swiss. Istana pengetahuan ini tidak cuma menyimpan buku, tetapi juga mengoleksi sejumlah mumi dan artefak kuno asal Mesir. Aula perpustakaan (gambar) termasuk yang paling indah di dunia. Perpustakaan ini terdaftar sebagai Warisan Budaya UNESCO sejak 1983.
Foto: picture-alliance/Stuart Dee/robertharding
Perpustakaan Filologi, FU Berlin
Lantaran bentuknya yang menyerupai kepala manusia, perpusatakaan Filologi di Free University Berlin ini mendapat julukan "otak." Gedungnya didesain oleh arsitek ternama Inggris, Norman Foster dan tuntas dibangun tahun 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Andree/Helga Lade
Library of Congress, Washington
Perpustakaan nasional ini dibangun 1800 silam dan habis terbakar 14 tahun kemudian. Presiden ketiga AS, Thomas Jefferson lalu menawarkan perpustakaan pribadinya yang memiliki koleksi 6500 judul buku. Bagian paling spektakuler dari Library of Congress adalah aula utamanya yang didesain dengan gaya Renaissance.
Foto: picture-alliance/JOKER/H. Khandani
Trinity College Library, Dublin
Memanjang sejauh 64 meter dan lebar 12 meter, aula utama perpusatakaan Trinity College ini pantas dijuluki "Long Room." Awalnya ruangan ini cuma memiliki atap datar yang terbuat dari gipsum. Tahun 1858 sejumlah arsitek meninggikan ruangan perpustakaan dan membangun atap melengkung dengan kayu Oak.
Foto: Imago/imagebroker
National Library of China, Beijing
Dengan koleksi lebih dari 30 juta judul buku, perpustakaan nasional Cina termasuk tujuh perpustakaan terbesar di dunia. Dibangun tahun 1809, perpustakaan ini dulu bernama "Perpusatakaan Ibukota." Sejak tahun 1928 namanya diubah menjadi "Perpustakaan Beijing." Baru tahun 1998 pemerintah Cina mengizinkan nama perpustakaan diubah menjadi yang sekarang.
Foto: Getty Images/AFP/W. Zhao
El Ateneo Grand Splendid, Buenos Aires
Gedung ini bukan perpustakaan, melainkan toko buku. "Ateneo" di Argentina memiliki sejarah panjang. Dibangun 1919, awalnya gedung ini berfungsi sebagai gedung teater. Pada dekade 1920an pemiliknya menyulap Ateneo menjadi bioskop. Baru pada tahun 2000 pemiliknya mengubah gedung bersejarah ini menjadi toko buku yang dilengkapi dengan kedai kopi dan aula membaca.
Foto: picture-alliance/AP Photo/V.R. Caivano
10 foto1 | 10
Surga Penulis Bohemian
Saat saya mengunjungi toko buku legendaris itu akhir Oktober lalu, usai menghadiri Frankfurt Book Fair, saya menemukan aura yang menggetarkan pada rak-rak, bangku kayu, dan buku-buku yang terpajang di mana-mana. Dengan segera merasakan dua hal penting yang menjadi ruh toko buku ini sejak bermula dari gagasan Sylvia pertama dan kemudian dilanjutkan spiritnya oleh George Whitman dan Sylvia kedua: cinta terhadap buku dan sastra serta keinginan untuk berbagi kebaikan.
Ribuan buku baru dan bekas karya para penulis dari berbagai penjuru dunia yang berjejal di atas rak yang meluber hingga ke atap lantai dua mencerminkan hal pertama. Sementara, di atas satu lorong masuk toko buku unik ini terdapat kalimat menyejukkan yang mencerminkan hal kedua: "Not be inhospitable to strangers lest they be angels in disguise.” Jangan bersikap tak ramah terhadap orang asing. Siapa tahu dia malaikat yang sedang menyamar.
Di tempat ini bahkan disediakan tempat tidur bagi para penulis bohemian yang ingin menginap tanpa dipungut bayaran. Syaratnya cuma tiga hal sederhana: membantu mengelola toko selama menginap, membaca satu buku sehari, dan menulis sesuatu tentang toko buku itu. Tempat tidur sederhana di tengah jejalan buku yang disediakan disana disebut "Tumbleweed”. Konon setidaknya sudah 30.000 orang menjadi penulis bohemian yang menginap di "Tumbleweed” sejak 1950-an.
George Whitman yang eksentrik dan kekiri-kirian itu pernah berkata, entah bercanda atau sungguh-sungguh, bahwa Shakespeare and Company adalah "utopia kaum sosialis yang disamarkan sebagai toko buku”.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Banyak penulis ternama pernah singgah, meninggalkan jejak, dan berkarya di "utopia kaum sosialis” itu. Mulai dari penulis kiri macam Bertolt Brecht, para eksponen Generasi Beat seperti Allen Ginsberg, pahlawan El Boom serupa Julio Cortazar, perawi erotika macam Anais Nin, hingga musisi pencinta buku serupa Jim Morrison dan Frank Sinatra.
Sylvia mungkin tak pernah membayangkan toko buku yang dia rintis nyaris seabad silam akan menjadi abadi. Barangkali ada toko buku lain yang koleksinya lebih lengkap dan lebih menggoda ketimbang toko buku ini. Namun, tampaknya sulit mencari yang sama unik dan selegendaris Shakespeare and Company. Dan barangkali, yang lebih penting, Sylvia dan toko buku yang menjadi warisan tak ternilainya ini memberi bukti buat kita bahwa cinta dan kebaikan bukanlah hal sia-sia.
Di tengah keterbatasan toko buku berkualitas di negeri sendiri yang menyajikan khazanah tersembunyi dan mutakhir sastra dunia, saya bermimpi suatu hari nanti ada toko buku semacam ini di berbagai kota di tanah air. Upaya untuk menembus pentas dunia tak bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku bermutu yang mudah diakses, termasuk melalui edisi terjemahan.
Waktu saya meninggalkan toko buku itu, Paris telah beranjak malam. Kafe di sebelah toko yang didirikan Sylvia kedua setahun sebelumnya telah tutup. Begitu pula satu ruangan khusus di sampingnya yang khusus memajang buku-buku langka edisi pertama. Saya merasa cukup dengan membawa pulang dua buku dan sepucuk kartu pos. Di salah satu kartu pos yang dipajang di depan pintu tercetak kata-kata George Whitman: berikan yang kamu bisa, ambil yang kamu perlukan.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis, buku terbarunya yang akan segera terbit adalah Dalam Bayangan Bendera Merah: Sejumlah Catatan dan Esai Budaya.
@AntonKurnia9
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.