Seiring modernitas yang terus dikejar, ada yang sulit dicapai sekaligus: soal toleransi. Kemajuan teknologi & pengetahuan tidak serta merta mendorong masyarakat untuk maju dalam hal toleransi. Opini Zacky Khairul Umam.
Iklan
Para cendekiawan kita sudah berbicara banyak soal toleransi yang menjadi asas penting dalam pembentukan masyarakat madani atau beradab. Yakni, upaya tenggang rasa atau saling menghormati di antara berbagai perbedaan yang mengemuka di masyarakat.
Akan tetapi, dewasa ini kita mengalami surplus identitas politik dan keakuan yang, tidak bisa dihindari, sering berkumandang dari gema masyarakat liberal di negeri-negeri Barat. Misalnya, gagasan toleransi dipahami sebagai engkau harus menghormati daku yang berpandangan dan bahkan bersikap intoleran.
Pertentangan muncul di sini. Banyak orang yang berpandangan intoleran justru menuntut untuk dihormati sebagai haknya.
Sepadan dengan demokrasi yang sedang kita bangun, ada banyak sekali unsur kebangsaan yang memiliki gagasan dan gerakan anti-demokrasi namun bernafas dengan oksigen kebebasan demokratis pasca-1998.
Tidak secuil di antaranya, bahkan, yang hakikatnya ingin merobohkan demokrasi dan prinsip toleransi dengan cara menunggangi dalil demokrasi.
Di antara berbagai masyarakat muslim di dunia, hanya masyarakat muslim Indonesia yang paling “toleran” dalam hal kontradiktif ini.
Wacana dan jaringan keindonesiaan kita, tidak bisa dipungkiri, tidak bisa dilepaskan dari kuatnya pengaruh demokrasi liberal di Barat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualitas tetapi sering luput bahwa nilai ini bisa menyerang balik dirinya. Tegasnya, metamorfosis toleransi menjadi intoleransi.
Membentuk “budaya dominan”
Sama seperti di Jerman, misalnya, banyak dari kita sedang terpacu untuk membentuk “keberagamaan yang digdaya” atau kecenderungan untuk membentuk “budaya dominan” alias Leitkultur.
Seiring dengan gagalnya prinsip hidup saling menghormati di antara berbagai identitas yang beragam, yakni gagalnya membumikan multikulturalisme, banyak yang tergerak untuk membentuk sebuah keseragaman yang adiluhung yang dibungkus dengan wicara keindonesiaan.
Di kota atau provinsi yang menerapkan syariat Islam atau tidak, misalnya, ada semacam konvensi sosial baru bahwa ruang-ruang sekolah dan kepegawaian wajib dihiasi dengan penggunaan jilbab atau hijab bagi perempuan.
Mereka yang tidak mengenakan, meskipun tidak eksplisit disebut sebagai tidak Islami, bisa saja mengalamai eksklusi sosial. Jilbab tidak lagi merupakan simbol kebebasan dan perlawanan. Di sini kita melihat sisi keterpaksaan.
Karena terlalu “religius” pula, hanya masyarakat ´Muslim Indonesia yang kebanyakan tergiring opini keliru bahwa warung-warung dan restoran selama bulan Ramadan kemarin harus mutlak tutup.
Dalil yang dirapal berkelindan dengan toleransi: para pemilik warung harus menghargai mereka yang berpuasa.
Di banyak wilayah kota, bahkan pemerintah ikut merazia mereka yang istikamah berjualan selama bulan puasa. Belakangan kita miris melihat seorang ibu yang dirampas barang dagangannya, sumber satu-satunya ia mengais rezeki. Untungnya, banyak warga madani yang peduli.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Toleransi memperhatikan hak-hak sosial lainnya
Maka, kita semestinya mengaitkan pemahaman kita tentang toleransi dengan kebutuhan untuk menumbuhkan keadilan sosial di masyarakat kita.
Di sinilah, kita perlu mendedah kembali pertanyaan yang benar tentang jenis toleransi apa yang sesuai dengan keindonesiaan kita.
Sudah saatnya traktat tentang toleransi dan keadilan dirancang bersamaan supaya kita tidak limbung dalam berdikari. Dalam bahasa Arab, kata “toleransi” berarti tasamuh yang pengertiannya mengandung hal resiprokal, musyarakah baynal isnayn.
Ada unsur perserikatan yang saling menopang di sini atau tolerantia dalam bahasa Latin yang mengandung pengertian “mendukung dan berdaya tahan.” Artinya, toleransi sejatinya bukan toleransi jika tidak memperhatikan hak-hak sosial lainnya.
Dalam keterkaitan semantik tersebut, kita mengendaki sejenis toleransi yang berwajah emansipatoris. Apapun posisi tindakan kita, apakah terkait dengan hubungan antaragama, intra-agama, atau sesama warga dan masyarakat pada umumnya, terpaku pada determinasi untuk menciptakan iklim kehidupan yang tidak hanya menjunjung tenggang rasa setinggi-tingginya, melainkan juga membentangkan rasa adil seluas-luasnya.
Dalam timbangan itu, kita sulit memberatkan ego/hasrat masing-masing yang orang lain harus “menoleransinya” lebih berat dari keadilan sosial yang menjadi tujuan agama itu sendiri.
Melalui ukuran ini, barangkali gagasan al-hanifiyyah al-samhah atau ide toleransi yang lapang sebagai “manisfetasi agama yang paling dicintai Tuhan,” seperti bunyi hadis yang diriwayatkan sahabat Nabi Ibnu ‘Abbas yang berilmu luas, bisa dibumikan di Nusantara. Wallahu a'lam.
Penulis: Zacky Khairul Umam
Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Keluarga Muslim Jaga Gereja Makam Suci
Meski terdapat enam golongan Kristen saling berbagi Gereja Makam Suci di Yerusalem, kunci gereja dipercayakan pada keluarga Muslim, yang selama ratusan tahun menjaga gereja itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Gereja Makam Kudus
Inilah Gereja Makam Kudus atau gereja makam Suci di Yerusalem (The Holy Sepulchre). Ini merupakan sebuah gereja Kristen di Kota Tua Yerusalem, yang dipercaya orang Kristen sebagai tempat Yesus disalib, dimakamkan dan dan mengalami kebangkitan.
Foto: Reuters/Cohen
Enam Golongan Kristen
Gereja ini terbagi dalam enam golongan Kristen, yakni Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia, Katholik, Ortodoks Siria, Ortodoks Koptik Aleksandria-Mesir, dan Ortodoks Ethiopia Tewahedo. Katholik Roma, Yunani, dan Armenia -- memegang 70 persen kepemilikan gereja. Tak jarang terjadi percekcokan di antara mereka.
Foto: Reuters/Cohen
Alasan manajemen
Ke-6 golongan Kristen yang berbagi gereja ini sulit menyepakati banyak masalah praktis seperti perbaikan, bahkan pembersihan gereja. Ada kekuatiran bahwa jika salah satu dari mereka memegang kunci, mereka bisa saja mengunci agar yang lain tak bisa masuk. Maka salah satu alasan ini diyakini sebagai alasan kunci diserahkan pada keluarga Muslim.
Foto: G.Tibbon/AFP/Getty Images
Tradisi Nenek Moyang
Nusseibeh adalah keluarga Muslim Yerusalem kuno -- yang turun-temurun dari zaman Nabi Muhammad. Mereka memegang kunci Gereja Makam Suci di Yerusalem. Dua jam setelah matahari terbenam, mereka mengunci gereja dan membukanya sebelum fajar, setiap pagi. Ini tradisi sejak zaman nenek moyang mereka selama ratusan tahun. Keluarga Nusseibeh sendiri tinggal di luar Kota Tua.
Foto: picture-alliance/Marius Becker
Sang Penjaga
Wajeeh Nusseibeh adalah penjaga pintu saat ini. Keluarganya telah melakukannya lebih dari 1.300 tahun, meskipun ada satu celah selama 88 tahun, ketika Tentara Salib Kristen memerintah Yerusalem pada abad ke-12. Kisah tetntang ini pernah difilmkan dengan judul: Im Haus Meines Vaters Sind Viele Wohnungen (Di Rumah Bapakku Banyak Apartemen).
Foto: X-Verleih
Harus Pulang tepat Waktu
Para biarawan yang tinggal di dalam harus tepat waktu untuk pulang. Jika tidak, terpaksa bermalam di tempat lain. Ini ritual terperinci. Ritualnya, begitu pintu dari kayu tebal ditutup, seorang biarawan di dalam mendorong tangga lewat lubang yang sengaja dibangun, sehingga orang dari luar hanya bisa memanjat untuk mencapai kunci paling atas.
Foto: picture alliance/Bildagentur huber
Peziarah datang dari Segala Penjuru
Peziarah datang dari berbagai penjuru dunia. Banyak di antara mereka yang terharu saat menyentuh batu di pintu masuk, dimana tubuh Yesus dibaringkan setelah diturunkan dari kayu salib. Setiap masa prosesei keagamaan, gereja ini dipadati peziarah.
Foto: Reuters/Cohen
Di Bawah Satu Atap
Biarawan dari gereja Armenia memulai prosesi di sekitar makam, sementara para biarawan Katholik berjarak tak jauh di depan mereka. Ibarat kompetisi bagi telinga Tuhan. Ini satu-satunya gereja di dunia dimana gereja timur dan barat memuji Tuhan, di bawah atap yang sama, pada saat bersamaan.Tentu saja terkadang ada beberapa perbedaan pendapat.
Foto: Tibbon/AFP/Getty Images
Dari Perselisihan Hingga Kekerasan
Terkadang, perbedaan pandangan berujung pada kekerasan, seperti pada perayaan Paskah Ortodoks tahun 1995. Tampak polisi Israel baku hantam dengan pemuda Kristen yang ambil bagain dalam perayaan itu. Pada umumnya konflik terjadi karena sengketa batas wilayah. Pihak yang satu cemas jika pihak yang lain mencoba melanggar batas wilayah yang bukan miliknya.