Ramadan di Jerman di Masa Pandemi Corona
16 Mei 2020Suara adzan dari sebuah laman website sayup-sayup terdengar. Dokter Kynann Anindhita segera bergegas membersihkan diri, menuju ke sebuah kapel di rumah sakit tempatnya berdinas, menghamparkan sajadah dan mendirikan salat. “Di mana pun saya beribadah, Tuhan mendengarkan doa saya,“ demikian keyakinannya. Di kapel itu, para karyawan dengan berbagai latar belakang agama bebas untuk beribadah menurut keyakinannya masing-masing.
Kynann Anindita adalah seorang dokter di Rumah Sakit Klinikum Stuttgart, Jerman. Sejak tahun 2017, dokter asal Indonesia tersebut mengabdikan ilmunya di rumah sakit itu.
Sebagai dokter yang merawat pasien COVID-19, bulan Ramadan tahun 2020 ini, tantangannya cukup berat.”Dari awal orang bilang ini penyakit yang mudah diatasi, tapi kenyataannya banyak anak muda bisa terinfeksi virus corona sampai stadium lanjut dan bahkan ada yang meninggal dunia.”
Karena beratnya bertugas di masa wabah, pada bulan puasa ini ia menerapkan tiga hal dalam menjaga daya tahan tubuhnya, yakni menjaga kebutuhan istirahat, asupan air minum setelah buka puasa, dan menjaga pikiran. ”Tidur itu waktunya tidak mudah, Ramadan tahun ini mataharinya bersinar lama hingga 17 jam, “ ujar Kynnan.”Bahkan di tengah-tengah istiharat kerja, saya harus bisa ambil waktu tidur.”
“Asupan air juga sangat penting. Bagaimana caranya di malam yang pendek itu kita bisa tetap minum air hingga dua liter air,” kata Kynnan lebih lanjut seraya menambahkan pentingnya menjaga pikiran agar tidak stres dan selalu berpikiran positif, “Jangan banyak berpkir yang macam-macam,” tandas pria asal Pekanbaru ini. “Meski saat berpuasa lebih capai, kita ingatkan diri kita lagi bahwa ini adalah ujian.”
“Makna Ramadan di tengah pandemi COVID-19 ini merasuk di dalam hati. Pada saat ini banyak ketidakjelasan. Orang-orang mulai menunjukkan sifat-sifat aslinya. Baik yang positif maupun yang negatif. Menurut saya orang-orang ini mencari tempat bersandar, dan saya bersandar kepada Allah. Ramadan di tengah pandemi membuat saya yakin, Allah itu ada di sana dan bisa menciptakan ini semua dan itulah tempat saya untuk berserah diri,” papar Kynann.
Menjadi minoritas yang setara
Namun Kynann merasa bersyukur, menurutnya lingkungan tempat kerjanya di Jerman sudah sangat bertoleransi dengan umat beragama lain, ia bercerita: “Orang Jerman kadang sangat logis, bertanya ini dan itu, mengapa berpuasa, mengapa tak minum dan makan seharian, bukankah tak baik bagi kesehatan? Mereka bertanya itu karena ingin berargumentasi saja dan ingin tahu logika berpikir kita saja. Jadi tinggal dijawab saja dengan sejujur-jujurnya, karena alasan ini dan itu. Mungkin ada yang tidak sependapat tapi mereka kembalikan lagi kepada kita, ya berarti itu kepercayaan kamu,” demikian diceritakan Kynnan.
Besarnya semangat toleransi beragama di Jerman juga dirasakan oleh Pelita Octorina seorang periset doktoral dengan fokus studi zooplankton di Universitas Konstanz di Jerman. “Alhamdulillah saya tidak mendapatkan masalah dengan menjadi minoritas di Jerman, baik dalam kehidupan beragama maupun sosial. Banyak warga Jerman tidak peduli apa agama saya dan mereka tetap memperlakukan saya dengan baik.“
Pelita bercerita tempat tinggalnya di Konstanz berdekatan dengan masjid kota, sehingga biasanya memudahkan keluarganya beribadah saat Ramadan. Namun di tengah pandemi corona tahun ini, masjid tersebut tertutup bagi masyarakat.
Kangen kajian religi
Yang agak sulit selama ini baginya adalah mencari pertemuan kajian religi. “Meskipun saya tinggal dekat masjid dan mereka memiliki jadwal kajian terutama bagi anak anak, keluarga kami tidak ikut serta sebab faktor bahasa menjadi kendala karena kajian tidak diselengarakan dalam bahasa Jerman, melainkan bahasa Turki, sebab mayoritas jemaahnya adalah orang Turki.”
Saat belum pindah ke Jerman dan masih tinggal di Sukabumi dulu, Pelita bekerja di Universitas Muhammadiyah Sukabumi, di mana semua kegiatannya di tempat kerja bernapaskan Islam, mulai dari pakaian, bahasa, dan waktu beribadah. “Kampus kami dulu memiliki fasilitas untuk beribadah dan menyediakan waktu khusus untuk beribadah bersama-sama (berjamaah). Dan kajian keislaman pun menjadi kegiatan rutin mingguan." Itu sebabnya ia merindukan kajian religi.
Pelita mengakui pada awalnya sedikit mengalami kesulitan untuk beribadah (salat) di Eropa, terutama karena kondisi musim yang menyebabkan perbedaan lamanya waktu siang dan malam yang signifikan di musim panas maupun musim dingin. Berbeda dengan Kynann di tempat kerjanya di universitas di Konstanz tidak memiliki fasilitas untuk beribadah, serta jadwal salat kadang tidak bertepatan dengan jadwal istirahat.“Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai beradaptasi. Hal ini tidak terlepas dari dukungan kolega di institut. Mereka mengizinkan saya untuk beribadah di ruang perpustakaan atau ruang kumpul bersama. Bahkan saya sering melakukan ibadah di kantor saya, di mana di sana juga berkerja dua orang kolega saya yang berkebangsaan Jerman.“
Pelita menambahkan mereka tidak keberatan saya beribadah di saat mereka pun sedang bekerja di ruangan yang sama. “Saya tidak menemui kesulitan menjadi satu-satunya muslim berhijab yang bekerja di sana.“
Ambil positifnya
Di bulan Ramadan ini, secara fisik Pelita merasa kelelahan, “Paling terasa ketika saat pulang pergi ke kantor karena saya harus mengayuh sepeda sekitar hampir satu jam sekali jalan. Apalagi jalannya menanjak,” paparnya sambil meliukkan badannya yang terasa pegal. Setelah pembatasan ke luar rumah, kini Pelita sudah mulai ke kantor lagi.
Namun ia juga punya kiat khusus dalam menyiasatinya. Pekerjaan di kantor ia pilih yang tidak membutuhkan aktivitas fisik berlebih. Di bulan puasa ini, ia memilih bekerja di depan mikroskop. “Karena jam tidur juga berkurang, habis salat tarawih ke waktu sahur sangat pendek, jadi kadang tidur malam cuma satu jam, habis salat subuh tidur sekitar tiga jam, total tidur paling empat jam sehari. Maka bekerja di depan mikroskop pun dibatasi sekitar tiga jam. Saya pusing jika lebih dari itu. Jika tidak puasa saya bisa bekerja di depan mikroskop sampai 5-6 jam,” paparnya.
Bagi yang bekerja di laboratorium, ia menyarankan pentingnya menghemat tenaga. “Apalagi selain bekerja di laboratorium, kita juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, serta jadi guru sementara karena pandemi corona anak tidak sekolah,” tambah Pelita lebih lanjut.
Namun meski puasa di tengah pandemi, menurut Pelita, puasa tahun ini jauh lebih ringan dari pada tahun sebelumnya, karena cuacanya tidak panas, waktunya tidak terlalu panjang, dan banyak diam di rumah.
Dengan kondisi tersebut, maka anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar bisa berpuasa seharian, karena tidak pergi ke sekolah, tidak perlu bangun pagi, tidak kecapaian bermain di sekolah, “Dan tidak ngiler lihat orang lain makan karena puasanya di rumah. Ambil positifnya,“ tandasnya sambil tertawa.