1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

'Toyoko Kids' Berjuang Bertahan Hidup di Kota Besar Jepang

11 Juni 2024

Toyoko Kids, para remaja di Tokyo bersatu untuk hindari pelecehan dan penelantaran. Namun malah terjerumus ke dunia narkoba dan prostitusi.

Pusat perbelanjaan Ginza di Tokyo, Jepang
Para pekerja sosial mengatakan perlunya lebih banyak binaan kepada generasi muda terlantar dan dianiaya di TokyoFoto: Taidgh Barron/Zuma/picture alliance

Suzuka dan Nipa hampir selalu berpakaian serba hitam yang menjadi ‘seragam' tidak resmi Toyoko Kids, kelompok yang menjadi pelarian kaum muda di ibu kota Jepang, Tokyo.

Nipa tiba di distrik lampu merah Kabukicho di Tokyo pada Januari 2024 dan dengan cepat diterima oleh kelompok Toyoko Kids. Sedangkan Suzuki baru tiba pada bulan April.

Seperti kebanyakan gadis di kelompok yang terdiri dari beberapa ratus remaja berusia 20-an ini, mereka terpaksa menjadi pekerja seks untuk bertahan hidup.

Saat tidak bekerja, mereka tidur di jalanan atau di apartemen teman. Ketika cuaca terlalu buruk, mereka berkumpul dan berbagi hotel murah untuk bermalam.

Remaja Kabukicho terjerumus narkoba

Apabila masih ada uang tersisa, mereka akan memakainya untuk membeli rokok, alkohol, dan obat-obatan bebas yang mereka konsumsi dalam jumlah besar agar bisa overdosis.

Tren overdosis yang disengaja pertama kali muncul pada tahun 2022. Dalam penggerebekan di tempat nongkrong Toyoko Kids pada bulan Desember tahun lalu, polisi menangkap 29 remaja di bawah umur. Beberapa di antaranya ditemukan memiliki berbagai jenis obat-obatan yang dijual bebas, kata pihak berwenang kepada media lokal.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Sejumlah anak muda di seluruh Jepang yang mengikuti gaya hidup Toyoko Kids, yang sering dibagikan di media sosial, ditemukan meninggal dunia. Di Kabukicho, kasus kematian para remaja juga ditemukan.

Hukum rimba di jalanan Tokyo

Sekitar lima tahun lalu, kelompok remaja tunawisma ini pada awalnya berkumpul di lapangan bebas kendaraan yang dikelilingi toko 24 jam, bar karaoke, restoran, hotel murah, dan kompleks bioskop, kata Hidemori Gen. Ia adalah salah satu anggota pendiri Seiboren, atau Dewan Ayah dan Ibu untuk Melindungi Pemuda.

"Peraturan Jepang tidak lagi berlaku di lapangan tempat mereka berkumpul dan di jalan-jalan terdekat," kata Hidemori Gen.

"Mereka minum dan merokok meski di bawah batas usia legal," tambahnya. "Mereka membeli obat-obatan supaya mengalami overdosis."

Distrik ini menjadi terkenal karena semakin banyak pemuda yang mulai berkumpul dan menarik perhatian media, kata Gen. Hal ini, pada akhirnya, "menjadikan tempat itu seperti kiblat bagi anak-anak dari seluruh negeri." 

Polisi melakukan beberapa intervensi setengah hati, katanya. Pada tahun 2021, polisi menangkap Haoru, pemimpin tidak resmi kelompok tersebut, setelah enam orang menyiksa dan membunuh seorang tunawisma.

Haoru kemudian bunuh diri sebelum sempat diadili.

"Anak-anak ini melarikan diri dari orang tua yang menganiaya mereka atau tidak memedulikan mereka,” kata Gen. "Beberapa di antara mereka adalah anak yatim piatu yang melarikan diri dari rumah. Dan sekarang ini adalah rumah mereka, tempat tanpa aturan dan buka 24 jam sehari."

Gen menyayangkan lemahnya undang-undang mengenai tunawisma dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak di Jepang. Itu sebabnya "sangat, sangat sulit menghentikan masalah ini.”

"Pemerintah pusat, pemerintah kota Tokyo, dan polisi semua tahu bahwa ada masalah. Mereka bisa melihatnya di jalan-jalan di sini, tapi mereka tidak berbuat apa-apa,” katanya.

"Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang bertanggung jawab membantu anak-anak muda ini,” katanya. 

Gen menyalahkan masalah Kabukicho sebagai penyebab perubahan dramatis yang terjadi dalam masyarakat Jepang dalam dekade terakhir. Masalah serupa juga mulai muncul di jalanan distrik kehidupan malam lain di seluruh negeri, seperti Susukino di Sapporo dan Minami di Osaka.

"Masalah ini tidak ada 10 tahun lalu,” katanya. "Di masa lalu, Jepang adalah komunitas desa di mana keluarga dan tetangga saling menjaga dan membantu,” katanya.

"Semua itu sudah tidak ada lagi. Semakin banyak orang punya masalah keuangan, banyak ibu tunggal yang berjuang untuk bertahan hidup, anak-anak kecil tenggelam dalam ponsel dan dunia online."

Bahaya mengintai di jalan

Uni, pemuda berusia 22 tahun, dan keluarganya harus meninggalkan Prefektur Fukushima setelah bencana nuklir pada Maret 2011.

Keluarganya mengalami kesulitan keuangan dan harus terus berpindah tempat tinggal selama bertahun-tahun. Uni tiba di Kabukicho 18 bulan lalu setelah melihat video Toyoko Kids di TikTok.

"Semua orang ramah dan terbuka, dan mudah menemukan orang untuk diajak bicara," katanya. "Saya pertama kali datang ke sini karena saya pikir saya mungkin bisa membantu anak-anak yang bermasalah, tapi akhirnya saya tinggal bersama mereka." 

"Pertama kali datang ke sini karena saya pikir mungkin bisa membantu anak-anak yang bermasalah, tapi akhirnya saya tinggal bersama mereka," kata Uni.Foto: Julian Ryall/DW

Uni mengakui bahwa keadaan ini bisa berbahaya. Anak-anak yang lebih lemah dapat dengan mudah dibujuk masuk ke dunia prostitusi, katanya, dan mereka meniru perilaku orang lain dalam kelompok tersebut. Dia mengenal seorang pemuda yang meninggal karena bunuh diri dengan melompat dari gedung.

Saat ditanya tentang harapannya di masa depan, Suzuka berkata, "Saya tidak punya mimpi."

Namun Nipa mengatakan dia ingin "memiliki pekerjaan yang membuat saya dihormati."

ae/yf

Catatan Editor: Jika kamu mengalami masalah emosi serius atau pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu mencari bantuan profesional. Kamu dapat menemukan informasi tentang cara mendapatkan bantuan, di mana pun kamu berada, melalui situs web berikut: https://www.befrienders.org

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait