1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tradisi Mudik / Gerakan Anti Korupsi / Hubungan AS-Eropa

18 November 2003
Tinjauan Pers Indonesia menyoroti Tradisi Mudik, Gerakan Anti Korupsi, dan Hubungan Amerika Serikat-Eropa. Setiap tahun menjelang lebaran, satu hal pasti jadi sorotan media, yaitu arus mudik. Masyarakat berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Tradisi ini nyaris tidak kenal status dan golongan. Semua melakukannya, baik kalangan atas maupun rakyat kecil, pejabat tinggi maupun pekerja kasar. Harian Media Indonesia menulis:

Bagi masyarakat bawah, mudik justru merupakan kesempatan untuk membawa rezeki yang mereka peroleh di kota, membaginya sebagian untuk sanak keluarga di desa. Mudik sedemikian penting, sehingga orang bersedia bertarung mendapatkan angkutan. Bahkan, untuk mendapatkan tiket, sampai tidur di stasiun kereta api. Bersamaan dengan gairah mudik ini, muncul segudang masalah. Di antaranya, kriminalitas meningkat. Rakyat kecil yang bersemangat pulang kampung itu menjadi sasaran copet, todong, dan penipuan. Para calo juga bergentayangan. Karena itu, kembali di-ingatkan pentingnya polisi mengerahkan kemampuan untuk menciptakan keamanan. Polisi pun harus bertindak tegas mengatur lalu lintas. Siapa yang suka main serobot dan menciptakan kemacetan, jangan diberi ampun. Untuk itu, diperlukan polisi yang kuat jiwanya, yang tidak menerima uang sogok. Kepada masyarakat, kembali diserukan pentingnya disiplin. Salah satu yang jelek dalam tubuh bangsa ini adalah ketidakdisiplinan. Disiplin sosial yang rendah tercermin dari buruknya rasa hormat kepada budaya antre yang teratur. Orang senang main serobot, senang main jalan pintas, senang menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai. Mudik adalah tradisi, yang mestinya tidak perlu makan korban. Karena itu, dianjurkan kepada para pemudik agar melakukan perjalanan dengan kesabaran dan kehati-hatian, sehingga sampai di tujuan dengan selamat.

Sorotan berikutnya: korupsi. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi. Harian Republika berkomentar:

Di tengah ketidakberdayaan bangsa ini melawan korupsi, syukurlah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak patah semangat. Dua kekuatan itu bahu-membahu melakukan gerakan melawan korupsi. Sebagai gerakan kultural, mereka tak bisa memanggil Presiden, Jaksa Agung, atau Kapolri untuk mempertanggungjawabkan amanat MPR. Mereka tak bisa menyeret koruptor ke pengadilan. Mereka hanya memiliki kekuatan moral. Menyebarkan nilai-nilai, yang diharapkan mampu mengerakkan masyarakat untuk tidak korupsi, dan kemudian menekan pemerintah atau politisi. Muhammadiyah juga akan melibatkan tokoh-tokoh dari agama lain serta tokoh-tokoh masyarakat. Gerakan ini diharapkan efektif di tengah persiapan menghadapi pemilu 2004. Gerakan ini diharapkan menyemangati rakyat untuk tak memilih wakil-wakilnya yang korup, agar rakyat memilih pemimpin yang berani melakukan perang melawan kosupsi. Korupsilah yang menjadi inti kehancuran Indonesia saat ini.

Harian Kompas menyoroti hubungan antara Amerika Serikat dan Eropa, yang belakangan ini terlihat semakin renggang. Kompas menilai:

Kekompakan Eropa Barat dengan Amerika Serikat, yang sangat mengental terutama pada era Perang Dingin, cenderung mencair. Eropa tidak begitu saja mengikuti lagi segala kebijakan global AS. Selama era Perang Dingin, Eropa Barat mau tidak mau banyak bergantung pada AS, yang berada di garis paling depan dalam pertarungan ideologi dengan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Konfigurasi hubungan itu berubah, bersama berakhirnya Perang Dingin. Pertentangan paling mencolok antara AS dan Eropa terlihat dalam kasus Irak. Jerman dan Perancis menentang rencana AS menggempur Irak. Penolakan itu sempat menimbulkan kekecewaan, bahkan kemarahan di kalangan segelintir masyarakat AS. Sejumlah produk Perancis, misalnya anggur dan parfum, diboikot, meski tidak berlangsung lama. Uni Eropa dan AS juga mengambil posisi berbeda dalam isu nuklir Iran. Sesungguhnya Uni Eropa dan AS pada awalnya sama-sama merisaukan dugaan program persenjataan nuklir Iran. Kedua pihak menekan Iran mengungkapkan program persenjataan nuklirnya. Hanya dalam perkembangannya, Uni Eropa cenderung memilih pendekatan dialog dengan Iran, lebih-lebih setelah hasil inspeksi IAEA menyimpulkan, Iran tidak memiliki program persenjataan nuklir. Sebaliknya AS menghendaki agar isu nuklir Iran dibawa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. AS berpendapat, Iran harus diberi sanksi ekonomi oleh PBB. Tekanan yang dilakukan AS terhadap Iran saat ini tentu saja mengundang berbagai gugatan, lebih-lebih setelah melihat AS kedodoran di Irak.