1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Transformasi Modernitas di Saudi

31 Mei 2019

Dalam era transformasi, Arab Saudi sibuk 'berdandan'. Bagaimana proses modernisasi di negara Teluk tersebut dalam perseteruannya dengan Iran yang merupakan rumah kaum Syiah?

Saudi Arabien: Fashionweek 2018
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine

Di bawah pengaruh Putra Mahkota Saudi, Mohammad bin Salman, Arab Saudi bersolek diri. Dunia luar memandang negara monarki absolut itu tengah bertransformasi dari negara konservatif ke arah yang lebih moderat dan modern.

Namun seiring perjalanan waktu, pergumulan negara di Semenanjung Arabia ini, tak lepas dari perseteruannya dengan Iran yang menjadi memiliki penduduk Syiah terbesar dunia.

Cendekiawan muslim, Profesor Sumanto al Qurtuby sejak beberapa tahun terakhir tinggal dan menjadi pengajar di Universitas King Fahd,  Arab  Saudi. Kepada Deutsche Welle, ia menjabarkan analisanya dalam mengamati reformasi di negara adi daya di Teluk itu dan bagaimana sikap pemerintah Arab Saudi terhadap kelompok syiah.

Sumanto al Qurtuby, dalam kunjungannya ke kantor Deutsche Welle di Bonn, Jerman.Foto: DW/A. Purwaningsih

DW: Keran kebebasan sudah dibuka kerajaan Saudi. Apakah reformasi yang dilakukan oleh pangeran Arab cukup terasa efeknya di masyarakat?

Sumanto al Qurtuby:  Reformasi di Saudi sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Sebetulnya reformasi sudah dimulai sejak rezim almarhum Raja Abdullah, namun pergerakannya pelan-pelan, karena kelompok konservatif di negara itu masih kuat.

Di Teluk Arab, Arab Saudi tergolong negara yang paling lambat dalam reformasi, karena sejarah negara ini berbeda dengan Arab Teluk lainnya. Di Arab Saudi ada kelompok-kelompok Islamic radical yang pada tahun 1970-an menyulap Saudi jadi konservatif. Dulu Arab Saudi tak seperti itu. Dulu pada tahun 1930-an sudah ada bioskop-bioskop, di Dammam, di Jeddah, dan tempat-tempat lain.

Arab Saudi kemudian berubah menjadi konservatif, sejak adanya gerakan Syafah Movement, gerakan wahabi ekstrem ikhwan, yang mengontrol Saudi sejak mereka mengkudeta Mekkah. Juhayman al-Utaibi merupakan kelompok yang memimpin revolusi sampai berdarah-darah dalam mengkudeta Kab'ah pada akhir tahun 70-an. Sejak saat itu, Arab Saudi menjadi berubah karena dikendalikan oleh kelompok radikal.

Struktur kekuasaan di Arab Saudi terbagi atas klan-klan, termasuk untuk urusan ideologi Wahabisme yang dikuasai klan Al ash-Sheikh. Lantas apakah gerakan reformasi lahir dari kesadaran sendiri atau hasil dari  perang kekuasaan yang mengakibatkan wahabisme terusir dari pusat kekuasaan?

Tidak ada pembagian klan secara sosial politik. Namun secara keagamaan, Arab Saudi dikontrol oleh keturunan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ‘pendiri' Wahabi, yang dianggap keturunan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab yang diangkat menjadi syeikh atau pemimpin agama, tapi badan itu munculnya belakangan, bukan sejak kerajaan Arab Saudi berdiri. Penguasa lembaga itu  harus dari keturunan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.

Tapi dari aspek sosial politik tidak ada pembagian klan secara tertulis, meskipun hal itu menjadi bagian dari kesepakatan tidak tertulis. Arab Saudi didirikan oleh suku-suku klan-klan di Arab tengah, seperti wilayah Najd, Qossem dan sebagainya. Klan-klan itulah yang secara sosial politik menguasai sosial, politik dan ekonomi Arab Saudi. Namun ada pula klan-klan di luar itu yang menjalin hubungan baik dengan  kerajaan Saudi yang lalu diberikan konsesi perekonomian, misalnya klan bin Laden. Klan bin Laden bukan klan pendiri Saudi, tapi karena hubungan baik dengan kerajaan. Yang tidak bisa diubah tentunya jabatan gubernur yang harus merupakan keturunan Muhammad bin Saud yang merupakan pendiri Saudi. Untuk menteri bisa diambil dari berbagai macam kelompok.

Seberapa pelik ‘perseteruan' di antara klan-klan itu ?

Tentu saja pasti terjadi clash. Namun harus diingat bahwa banyak yang salah paham tentang peta keagamaan di Saudi. Saudi tidak selalu melulu dikuasai kelompok tertentu.  Saudi terdiri dari banyak kelompok aliran. Pengikut kelompok Hanafi, Syafi'i  itu cukup banyak, cendikia  Syiah ada banyak, demikian juga kelompok moderat juga banyak.  Dalam kelompok Wahabi pun ada banyak variasinya, demikian pula di dalam kelompok Salafi, ada yang moderat, ekstremis, eks ultra ekstremis dan lain sebagainya. Semua ada. Cuma belum ada gerakan masif untuk mengubah kondisi itu.

DW:  Apakah perbedaan-perbedaan pemikiran itu tidak dipersoalkan atau disuarakan?

Menurut pengamatan saya, orang Saudi itu cukup pragmatis, dalam pengertian, sepanjang basic need mereka terpenuhi,  hal di luar itu kurang dianggap penting, atau punya efek. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemunafikan. Misalnya dulu orang Saudi tak boleh melihat Twitter, namun mereka melakukannya di ruang privat. TV mereka pun besar-besar. Bahkan melakukan hal tersebut di luar negeri, misalnya menonton di Bahrain.

Hal tersebut yang kini ingin diubah pemerintah: 'Jangan menghamburkan uang di luar negeri', maka kini di Saudi dibangun pusat-pusat turisme, bioskop-bioskop kini sudah dibangun. Mereka juga gencar mengundang tokoh-tokoh musik internasional, rapper dari Amerika Serikat dari, Eropa, Yunani, dll.

Negara seperti apa ke depan yang dibayangkan pemerintah Saudi?

Sama seperti negara-negara lain, masjid modern, misalnya. Orang-orang bisa menikmati modernisasi, teknologi, dll. Mereka sadar bahwa untuk menjadi negara modern tidak bisa  bersikap tertutup.

Tapi bagaimana pengaruhnya hal itu pada kelompok garis keras?

Ya, perubahan reformasi itu hanya ditentang oleh wahabi-wahabi yang ekstremis. Namun para wahabi moderat, mereka sangat open-minded. Di Arab Saudi, ada wahabi yang konservatif, ekstremis, sangat ultra konservatif. Wahabi punya banyak varian. Wahabi yang open-minded sangat senang dengan perkembangan normal.

Mengapa dulu Arab Saudi menjadi konservatif pada tahun 1980-an dan keras terhadap Iran?

Dulu ada perubahan politik saat Iran dipimpin oleh rezim Khomeini. Saudi membutuhkan faksi-faksi untuk menandingi hegemoni Iran. Sebelum jatuh ke tangan Khomeini, Iran itu bersahabat sekali dengan Saudi. Namun semua berubah sejak Revolusi Iran. Dulu Saudi bermusuhan dengan Mesir, karena di Mesir ada gerakan nasionalisme Arab, Pan Arabisme, pada awal hingga pertengahan 1960-an, musuh Saudi adalah Mesir, plus Irak, Suriah, ketika ada gerakan nasionalisme Arab. Kenapa Saudi manjadi musuh nasionalisme Arab? Karena nasionalisme Arab tu dianggap membahayakan struktur politik Saudi.

Kemudian pada saat Revolusi Iran terjadi ‘shifting power‘. Sebenarnya yang dibidik oleh Saudi bukanlah syiah-nya melainkan rezim Iran-nya. Kebetulan saja, penguasanya syiah. Padahal sebenarnya kan populasi Syiah di Saudi banyak juga ada 15-20%. Saudi tidak punya masalah dengan Syiah di Saudi. Yang dibidik Saudi itu Iran. Mengapa? Karena kalau Iran dibiarkan berkuasa, maka akan membahayakan perbatasan.   Kalau dilihat di peta, negara  mereka hanya dibatasi Teluk Persia, orang Arab Saudi menyebutnya Teluk Arab, tidak mau teluk Persia, Arabian Gulf. Jadi kita bisa melihat Iran, Iran bisa melihat Arab.

Jadi persoalannya sebenarnya lebih pada perosalan geo-politik. Dan menurut mereka bahaya jika Iran sampai menjadi negara yang powerful, karena dianggap akan membahayakan stabilitas Arab Saudi sebagai negara super power. Oleh sebab itu Saudi berkonflik terus dengan negara manapun yang di-back-up oleh Iran.  Misalnya kelompok Hizbullah di Libanon, atau kelompok Syiah di Irak, akan dimusuhi Arab Saudi, termasuk kelompok Houtis di Yaman. Mereka dinilai membahayakan Arab Saudi. Kepentingan asional harus didahulukan ketimbang hal yang lain. Oleh sebab itu, sebetulnya ada kasus eksekusi terhadap ulama Syiah di Saudi  yang pro Iran. Namun ulama syiah lainnya tetap bersahabat dengan Saudi, apalagi para sarjana moderat Syiah yang pro Saudi.

Bukankah Marja' dalam Syiah tidak harus berkiblat kepada Iran, bisa ke Najab misalnya?

Itu dia, oleh sebab itu Saudi hanya berkonflik dengan tokoh-tokoh Iran yang pro-Khomeini, pro- Iran. Dan jumlahnya tak banyak. Mereka disingkirkan karena terus-menerus mengusik Saudi, memberontak dan lain sebagainya, hal itu dianggap berbahaya. Jadi kelompok syiah lainnya pun ikut dilibatkan dalam program National Dialogue, yang dibangun sejak zaman pemerintahan almarhum Raja Abdullah. National Dialogue ini terdiri dari berbagai kelompok syiah sunni, wahabi, waliki, hannafi dan lain sebagainya, lintas mashab. Banyak ulama syiah yang dilibatkan. Di kampus saya juga banyak orang Syiah, terutama kelompok Amal, yang syiah tapi pro Arab, kemudian pecah menjadi Hitzbullah, karena adanya intervensi Iran.  Kemudian kelompok syiah pun terpecah-pecah, ada kelompok pro Arab, pro Iran, ada pula yang di luar itu, ada kelompok al Jaffar. Jadi masalah internal di dalam syiah itu pun kompleks sekali. Belum lagi ada kelompok Zaidi, Ismaili, dan sebagainya. Jadi kelompok Syiah tidak bisa digeneralisasi.

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.