1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Transgender dan Politisasi LGBT

25 Desember 2018

Memasuki tahun pemilu, retorika sarat kebencian para pemimpin terhadap kaum minoritas seksual diyakini akan bertambah. Narasi muram itu hidup dari minimnya pengetahuan seksual masyarakat. Simak opini Julia Suryakusuma

Symbolbild Kirche Homosexuelle
Foto: imago/epd

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis ICD-11, versi terbaru Klasifikasi Penyakit Internasional, yang menyatakan bahwa transgender tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental. 

Hal ini mengejutkan karena WHO menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit mental pada tahun 1990. Bahkan Asosiasi Psikiatri Amerika (American Psychiatric Association, APA) telah melakukannya pada tahun 1973.

Penulis: Julia SuryakusumaFoto: Julia Suryakusuma

Mengapa mereka begitu lama berbuat yang sama dengan orang transgender? WHO mengatakan mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kondisi tersebut yang sekarang dianggap sebagai identitas seksual. Oleh karenanya, jika membiarkannya dalam daftar penyakit mental dapat menyebabkan stigma.

Ya, tentunya lebih baik terlambat dari pada sama sekali tidak!

Tapi bisakah prasangka sosial dihapus dengan sebuah pernyataan? Jika aktivis hak-hak gender di seluruh dunia memuji langkah WHO itu, pemerintah Indonesia  menanggapinya dengan lesu. Bagi mereka, nilai lokal lebih penting daripada sains.

Menurut Firdiansyah, direktur kesehatan mental dan penyalahgunaan zat adiktif di Kementerian Kesehatan, "Diagnosis psikologis berbeda dengan diagnosis fisik. Faktor kesehatan mental sangat terkait dengan nilai-nilai agama dan budaya ... kami berkeyakinan bahwa transgenderism (!)  adalah gangguan mental, dan kami akan mendukungnya dengan ilmu kedokteran yang berbasis bukti”.

Transgenderisme?

Apakah ini ideologi, seperti komunisme? Pertama-tama, istilah "transgenderisme" tidak ada. Ia juga bukan sebuah ideologi, tetapi di mata pemerintah dan segmen masyarakat yang konservatif sepertinya dianggap demikian. Nyatanya, diskriminasi yang dialami oleh anggota komunitas LGBT mirip dengan yang dialami oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah 1965.

Namun jika kita akan berbicara tentang nilai-nilai agama dan budaya, bagaimana dengan suku Bugis, salah satu dari empat kelompok etnis utama di Sulawesi Selatan?

Mereka mengenali lima jenis kelamin: makkunrai, oroané, bissu, calabai, dan calalai.

Makkunrai dan oroané adalah perempuan dan laki-laki heteroseksual, atau apa yang sekarang disebut cisgender; bissu adalah pendeta perantara, sebuah "meta-gender" yang harus mengakumulasi keempat ciri gender pada mereka untuk menjadi bissu; sementara calabai dan calalai setara dengan wanita trans dan pria trans. Kelima jenis kelamin ini merupakan bagian integral dari struktur agama dan budaya orang Bugis.

Memang suku lain di Indonesia tidak memiliki pengelompokan gender seperti ini, tetapi kita memiliki banyak sekali orang trans. Sepuluh persen penduduk Indonesia adalah LGBT seperti di negara lain di dunia. Orang trans lebih sedikit jumlahnya, tetapi mereka sering lebih tampak karena penampilan mereka yang ‘berbeda'.

Sebuah survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) awal tahun ini menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia menerima hak LGBT, termasuk orang-orang transgender, untuk hadir  di masyarakat, dan mendesak pemerintah untuk melindungi mereka.

Kepanikan moral

Namun, sejak awal tahun 2016, telah terjadi kepanikan moral terhadap komunitas LGBT di Indonesia. Tiba-tiba mereka mendapat  serangan pernyataan-pernyataan diskriminatif yang berasal dari para pemimpin kita sendiri.

Kepanikan moral ini tidak mereda hingga sekarang, dan ini jelas berkaitan dengan munculnya Islam konservatif di arena politik Indonesia. Mengingat bahwa tahun ini dan tahun berikutnya adalah tahun politik pemilu, pidato-pidato sarat kebencian dari para pemimpin kita terhadap LGBT nampaknya akan bertambah. Mereka juga memanfaatkan ketidaktahuan  masyarakat tentang orientasi seksual, ekspresi dan identitas gender. Begitulah kalau pendidikan seks diabaikan, bahkan dianggap amoral.

Pada awal 2018, TLC, sebuah jaringan televisi Amerika, memutar serangkaian film tentang empat pasangan di mana sang istri menemukan bahwa suami mereka secara diam-diam sebenarnya transgender.

Setelah menyembunyikan kenyataan ini lama sekali, mereka mengungkapkannya karena sudah tak tahan lagi menutupi kebohongan identitas diri mereka. Seri televisi ini disebut "Lost in Transition" (Hilang dalam Transisi). Transisi yang dimaksud di sini adalah bertransisi dari  gender pria ke wanita (bisa juga sebaliknya).

Berkaitan dengan identitas gender di Indonesia, kita juga "hilang dalam transisi" -  antara sains, hukum, kewajiban negara untuk melindungi warganya, dan politik pemilu yang tidak sungkan mengarah anggota masyarakat yang paling rentan hanya untuk memenangkan suara.

@JihadJulia

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.