Survei: Makin Lemah Demokrasi, Makin Tinggi Korupsi
29 Januari 2019
Transparency International dalam laporan terbarunya menyatakan, luasnya korupsi berkaitan dengan pengembangan demokrasi. Ranking Indonesia sedikit membaik ke posisi 89 (2018), dari sebelumnya 96 (2017).
Iklan
Organisasi anti korupsi Transparency International dalam laporan terbarunya yang dirilis hari Selasa (29/1) di Berlin menyebutkan, tingkat perkembangan demokrasi berkaitan dengan tingkat korupsi di suatu negara. Transparency International secara rutin merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari 180 negara. Dalam laporan terbaru CPI 2018, posisi Indonesia sedikit membaik ke ranking 89, dari sebelumnya 96. Namun Indonesia tetap berada di peringkat bawah, masih di bawah Cina, Serbia dan Bosnia-Herzegovina.
Dalam laporan CPI 2018 Transparency juga memeriksa kaitan antara perkembangan demokrasi dengan tingkat korupsi di suatu negara. Negara-negara seperti Hongaria dan Turki menjadi lebih korup karena mereka menjadi lebih otokratis. Bahkan di Amerika Serikat korupsi makin buruk, dan AS terlempar dari posisi 20 teratas.
Secara keseluruhan, Denmark dinilai sebagai negara terbersih dan menduduki peringkat satu, diikuti oleh Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiss. Selanjutnya diikuti oleh Norwegia, Belanda, Kanada, Luksemburg yang masuk 10 besar. Jerman berada di peringkat 11.
Somalia berada di peringkat terbawah sebagai negara paling korup. Diikuti oleh Suriah, Sudan Selatan, Yaman, Korea Utara, Sudan, Guinea-Bissau, Guinea Ekuatorial, Afghanistan dan Libya.
Kaitan demokrasi dan korupsi
Dalam analisisnya Transparency memberikan skor bersih korupsi kepada setiap negara dari 1 (terburuk) sampai 100 (terbersih). Transparansi mengatakan, ada kaitan jelas antara korupsi dan kesehatan demokrasi. Dua pertiga dari 200 negara yang dianalisa hanya mendapat skor di bawah 50.
Negara-negara dengan demokrasi yang stabil rata-rata mendapat skor 75, sedangkan negara-negara dengan "demokrasi yang cacat" rata-rata mendapat skor 49. Sedangkan rezim otokratis hanya mendapat skor rata-rata 30. Indonesia mendapat skor 38.
Sebagai contoh disebutkan, selama lima tahun terakhir skor Hongaria turun delapan poin dan Turki sembilan poin. Transparency mengutip hasil survei demokrasi tahunan dari Freedom House, yang menurunkan Turki dari kategori "sebagian bebas" menjadi "tidak bebas," sementara Hongaria mencatat skor terendah untuk hak-hak politik sejak jatuhnya komunisme pada tahun 1989.
Amerika Serikat dalam survei Transparency Internasional mendapat skor 71, empat poin lebih rendah dibanding tahun 2017. Untuk pertama kalinya sejak 2011, AS terlempar dari ranking 20 negara teratas, dan kini menduduki peringkat 22.
"Penurunan empat poin.. adalah bendera merah dan datang pada saat AS mengalami ancaman terhadap sistem check and balance, serta erosi norma-norma etis," kata organisasi anti korupsi itu.
Demokrasi sehat bisa redam korupsi
Peringkat tersebut mencerminkan "memburuknya aturan hukum dan lembaga-lembaga demokratis, serta ruang yang cepat menyusut untuk masyarakat sipil dan media independen," demikian disebutkan Transparency International dalam laporan terbarunya.
"Penelitian kami membuat hubungan yang jelas antara demokrasi yang sehat dan berhasil memerangi korupsi sektor publik," kata Delia Ferreira Rubio, Ketua Transparency International.
"Korupsi jauh lebih mungkin berkembang di mana fondasi demokrasi lemah dan, seperti terlihat di banyak negara, di mana politisi tidak demokratis dan populis dapat memanfaatnya untuk keuntungan mereka," tambahnya.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dihitung menggunakan 13 sumber data berbeda yang menampilkan penilaian dan persepsi korupsi di sektor publik dari para pelaku bisnis dan para pakar. Data-data itu dikumpulkan antara dari laporan Bank Dunia, Survei Opini Eksekutif Forum Ekonomi Dunia WEF, laporan Bank Pembangunan Afrika dan hasil-hasil survei internasional yang berkaitan dengan penegakan hukum dan kebijakan publik.
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)