1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Trauma Jadi Budak Seks ISIS, Ia Bakar Diri

30 Agustus 2016

Yasmin pernah jadi korban perkosaan ISIS. Ia melarikan diri. Namun, trauma memicunya membakar diri ketika takut diperkosa lagi. Kini ia menjalani perawatan di Jerman dan kembali menyulam masa depan.

Jesdidin Jeside Frau Flucht vor IS
Foto: Getty Images/AFP/S.Hamed

Trauma Jadi Budak Seks, Gadis Yazidi Bakar Diri

02:19

This browser does not support the video element.

Ketika pertama kali bertemu dengan Yasmin, psikolog khusus trauma Jan Ilhan Kizilhan terkejut dan terdiam: "Saya bertemu dengannya di kamp pengungsi dekat kota Dohuk. Dan ketika saya membuka tenda selama 5-10 detik, saya syok sendiri. Karena tubuhnya benar-benar terbakar, tidak ada mata, tidak ada hidung, tidak ada telinga. Semua kulit terbakar. "

Gadis ini sebenarnya telah diselamatkan dan tinggal sebuah kamp pengungsi di Irak selama dua minggu, ketika suatu hari trauma itu datang menghantui. Ia merasa mendengar suara-suara militan ISIS di luar tendanya. Yasmin mengira orang yang dulu menculiknya datang.

Trauma itu membuatnya berpikir, dirinya akan menghadapi perkosaan dan pelecehan seksual lagi di tangan ISIS. Yasmin yang baru berusia 17 tahun bersumpah untuk membuat dirinya tidak lagi menarik, dengan mengguyur wajah dan tubuhnya dengan bensin lalu menyalakan korek api. Api membakar rambut dan wajahnya, mengupas hidung, bibir dan telinganya.

Jan Ilhan Kizilhan, psikolog khusus penanganan trauma yang mengobati Yasmin mengisahkan: "Suatu hari dia bermimpi buruk. Dalam mimpi buruk ini dia merasa bahwa inilah yang terjadi, bahwa di depan tenda ada gerombolan ISIS, dan ISIS akan memerkosanya. Satu-satunya yang ada di pikiran Yasmin, adalah 'bagaimana saya bisa menjadi tak menarik agar tak tidak diperkosa lagi' dan oleh sebab itu ia mengambil bensin dan membakar diri."

Yasmin bercerita: "Saya sangat takut. Saya sangat marah dan saya menangis sepanjang waktu. Saya bertemu dokter dan mereka memberi saya suntikan dan pil. Tapi saya tidak bisa makan selama dua hari. Saya tidak bisa makan, menangis sepanjang waktu. Dan sebagian besar waktu saya bisa mendengar suara mereka berada di telinga saya. Kami tinggal di tepi sungai di Khanke. Saya bisa mendengar suara mereka, saya sangat takut. Dan sekali waktu mortir menghantam Khanke, saya begitu takut dan berlari ke tetangga saya. Setelah itu saya sangat takut, saya tidak tahan lagi. Dan inilah yang terjadi pada saya. "

1100 Korban Dibawa ke Jerman

Ia dibawa ke Jerman tahun lalu, untuk menjalani perawatan. Yasmin yang kini berusia 18 tahun adalah salah satu dari 1.100 perempuan ang dibawa ke Jerman untuk mendapat perawatan psikologis: "Kami membawa 1.100 perempuan dan anak-anak korban IS. Dulu mereka ada yang disiksa, diperkosa. Kami memeriksa kondisinya dan membawa mereka untuk mendapat perawatan medis di Jerman. " Mereka kebanyakan dari minoritas etnis Yazidi, yang telah melarikan diri dari tahanan ISIS.

Yasmin bersedia untuk menceritakan kisahnya pada media AP, tetapi meminta agar AP tidak menggunakan nama belakangnya karena takut ISIS membalas dendam.

Program perawatan yang dijalankan Kizilhan telah menarik perhatian internasional. Ia dan timnya mencoba untuk mengatasi masalah mendasar, yakni: setelah korban diselamatkan, trauma tetap membekas untuk jangka waktu yang lama. Bahkan di kamp-kamp pengungsi di Irak, Kizilhan mencatat ada sekitar 60 kasus di mana perempuan Yazidi bunuh diri.

Meski cobaan berat dihadapinya, Yasmin berdiri tegak dan wajahnya cerah saat ia ingat bagaimana Kizilhan memasuki tendanya di kamp pengungsi. Dia mengatakan pada sang psikolog, ia dan ibunya ingin mendapat bantuan perawatan di Jerman. Gadis Yazidi korban ISIS ini ingin pergi ke Jerman sehingga bisa merasa aman dan seperti dirinya sendiri lagi.

3 Agustus 2014, kelompok ISIS menyapu ke daerah Sinjar di Irak utara, rumah bagi mayoritas Yazidi. Mereka membunuh orang-orang dan mengambil beberapa anak laki-laki, perempuan dan anak perempuan. Diperkirakan 3.200 etnis Yazidi masih ditahan ISIS di Suriah.

Klik untuk membaca kelanjutan kisah Yasmin...

Jerman mengucurkan dana sebesar 95 juta Euro untuk program tiga tahun, yang di antaranya digunakan untuk membawa para korban kekejaman ISIS ke jerman dan mendapat perawatan. Kizilhan, seorang psikolog yang mengkhususkan diri dalam trauma, diminta untuk membantu.

Kizilhan, yang berlatar belakang Kurdi, lahir di Turki dan dapat berbicara bahasa Kurdi, termasuk dialek Yazidi, Jerman, Turki, Persia, Inggris dan bahkan beberapa bahasa Arab.

Dari bulan Februari 2015 hingga Januari 2016, tim kecil yang terdiri dari berbagai ahli pergi ke kamp-kamp pengungsi di Irak utara. Kizilhan melakukan 14 kali perjalanan dan mewawancarai 1.400-an perempuan dan anak-anak yang ia temukan. Ia mencoba untuk menentukan siapa yang akan mendapat manfaat terbaik dari program yang terbatas ini.

Pada akhirnya, ia memutuskan 1.100 perempuan dan anak perempuan mulai usia 4 hingga 56 tahun yang akan mendapatkan bantuan.

Kizilhan dan timnya kemudian bertemu dengan pemimpin agama kepala Yazidi, Baba Sheikh, di situs suci Lalish. Sang tokoh yang dihormati itu sepakat agar para korban tidak merasa terkucil atas apa yang mereka alami. Malahan ia mencium kepala para korban dan mengatakan kepada komunitas mereka, ia sangat bangga atas ketabahan mereka.

Yasmin masih 16 tahun usianya ketika ia dan adiknya terpisah dari keluarga mereka ketika mereka melarikan diri ke pegunungan, ditangkap dan ditahan ISIS: "Semua gadis diculik. Pria tewas dan para perempuan dan anak-anak dibawa. Mereka mengajar anak-anak bahasa Arab. Mereka memaksa anak-anak bekerja dan mengajar mereka untuk membunuh orang-orang seperti mereka. Setelah itu saya melarikan diri dengan adik. Kondisi saya masih sangat buruk. "

Setelah tujuh hari, mereka melarikan diri. Meski sudah lolos dari ISIS, dia masih takut dan selalu menangis.

Yasmin: Dunia Perlu Tahu

Terputus-putus suaranya ketika Yasmin mencoba untuk menjelaskan apa yang menyebabkan dia membakar dirinya sendiri. Ia berbicara samar-samar ketika mengingat memori buruk itu. "Suara mereka ada di telinga saya," katanya. "Saya bisa mendengar suara mereka, saya sangat takut."

Kini Yasmin berbagi rumah dengan orangtuanya, saudara perempuan dan dua saudara, yang akan bergabung nanti. Saudaranya tidak pernah berbicara tentang apa yang terjadi padanya. Tapi bagi Yasmin, dunia harus tahu apa yang terjadi.

Selain menjalani psikoterapi jangka panjang, Yasmin juga harus menjalani beberapa kali operasi pemulihan. Yasmin ingin tinggal di Jerman, menyelesaikan studinya, dan menggapai impiannya: "Saya mau tinggal di sini (Jerman), sehingga saya bisa menyelesaikan sekolah saya dan studi universitas saya."

ap/vlz(ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait