1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Trauma Pembantaian Sinjar Hantui Perempuan Yazidi

Sandra Petersmann | Brigitta Schülke-Gill
24 Juni 2020

“Tanpa anak-anak, saya sudah bunuh diri,” kata Kocher, perempuan Yazidi yang lolos dari penjara ISIS. Pengalaman hidup di neraka dunia itu menyisakan amarah tak berkesudahan buat ibu yang kehilangan tiga anaknya itu. 

Irak, Jesidin Kocher mit drei ihrer Töchter. Sie war mit ihren Kindern zwei Jahre in IS-Gefangenschaft.
Kocher bersama anak-anaknya di persembunyian etnis Yazidi di Gunung Sinjar, utara Irak.Foto: DW/B.Schülke

Waktu tidak menyembuhkan luka, terutama jika baru kembali dari neraka. Sebab itu pula sejak kepulangannya ke kampung halaman di utara Irak, Kocher, seorang perempuan Yazidi, mengenakan pakaian serba hitam sebagai tanda duka.  

Setelah dibebaskan dari cengkraman Islamic State, Kocher dan suaminya, Mahmood, beserta lima anak perempuan mereka hidup di dataran tinggi di kaki Gunung Sinjar di utara Irak yang tandus dan gersang. Mereka semua adalah pengungsi yang terjebak di negeri sendiri. "Sudah telat bagi saya,” kata perempuan  di usia 40 tahun itu.  

Kocher mengaku, pikirannya selalu melayang ke tiga anaknya yang tidak jelas keberadaannya hingga kini. Hanya kelima anak perempuannya lah yang memberikan kekuatan bagi sang ibu. “Tanpa anak-anak, saya sudah bunuh diri,” kata dia. 

Pembantaian di Gunung Sinjar 

Mimpi buruk bagi Kocher bermula 3 Agustus 2014, ketika milisi ISIS menyerbu kawasan Sinjar yang sejak berabad-abad menjadi kampung halaman warga Yazidi. Bagi para “tentara Tuhan”, anggota etnis minoritas ini adalah “kafir” dan “penyembah iblis.” 

Para jihadis lalu melancarkan apa yang disebut PBB sebagai sebuah genosida. Hingga kini, tidak seorangpun diseret ke pengadilan terkait kejahatan kemanusiaan di Gunung Sinjar. 

Pada hari-hari setelah kedatangan ISIS, 50.000 warga Yazidi melarikan diri ke puncak-puncak gunung, sebagai langkah terakhir mencari perlindungan di tempat yang mereka anggap suci itu. Bersama keluarga lain, Kocher dan delapan anaknya mengikuti langkah serupa, meniti jalur terjal di lereng gunung. 

Pakaian para pelarian Yazidi yang tercecer ketika disergap gerilyawan ISIS di Gunung Sinjar, Irak Utara.Foto: DW/S.Petersmann

Namun belum separuh perjalanan, rombongan kecil itu disergap kombatan ISIS. Sebagian dibunuh, yang lain dijadikan budak. Sisa-sisa pakaian yang tercabik dan bersimbah darah di sepanjang jalan menjadi saksi bisu keputusasaan warga Yazidi menyelamatkan diri dari kejaran para jihadis. 

“Mereka juga menculik perempuan yang lebih tua ketimbang saya dan memaksa mereka menikahi lima atau enam laki-laki,” kisahnya. Tidak sekalipun dia menggunakan kata pemerkosaan. “Mereka menukar perempuan dengan rokok, atau memberikan hadiah budak perempuan kepada satu sama lain.” 

Kocher terpencar dari anak-anaknya ketika ditahan secara terpisah di penjara ISIS. Salah seorang anak perempuannya bernama Aveen dinikahkan paksa oleh kombatan ISIS dan dibawa ke Mosul. Sejak ijab kabul, “tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari Aveen.” 

Kocher dan kelima anak perempuan yang lain “dijual seperti buah-buahan di atas gerobak,” pertama di Irak, kemudian dibawa keluar ke Suriah. Terakhir mereka mendarat di Raqqa, sebelum dibebaskan pada 2016. Menurut kabar burung, pemerintah otonomi Kurdi sendiri yang membayar uang tebusan. 

Hantu kebebasan 

Menyusul ekspansi di utara Irak, ISIS memperbudak 7.000 perempuan dan anak-anak warga Yazidi. Hingga kini baru separuh yang dipulangkan. 

Kocher bertemu suaminya di kawasan Kurdi di utara Irak. Selama dua tahun berpisah, Mahmood bergabung dengan milisi Kurdi untuk mengusir ISIS dari Sinjar. Pertamakali berjumpa, kedua anak perempuannya yang berusia empat dan enam tahun tidak mengenali sang ayah. 

“Kadang-kadang saya menangis seperti orang gila,” kata Kocher. “Tapi tidak pernah di depan anak-anak,” imbuhnya. “Saya bukan orang normal lagi. Dokter bilang tidak ada obat yang bisa membantu. Mereka bilang saya berpikir terlalu banyak.” 
Sejak reunifikasi kecil itu, keluarga Kocher hidup di kampung tenda yang berceceran di gunung Sinjar. Di atas dataran tinggi yang gersang dan berangin kencang ini, sebanyak 2.000 keluarga atau 10.000 orang hidup berdesakan. Mereka terlalu takut untuk keluar dari persembunyian. 

Lokasi Gunung Sinjar di utara Irak

Hampir 70 kuburan massal ditemukan di kawasan Sinjar sejak ISIS dinyatakan takluk. Namun ketika dunia merayakan kehancuran Kekhalifahan di Irak, nasib kaum Yazidi cendrung diabaikan. 

Rambusi yang telah mati 

Di awal ekspansi kekhalifahan al-Baghdadi, lebih dari 200.000 warga Yazidi melarikan diri dari Sinjar. Kebanyakan berkumpul di dekat kota Dohuk di wilayah Otonomi Kurdi, atau melakukan perjalanan panjang ke Eropa. 

Kocher dan keluarganya mendapat bantuan berupa 20 ekor kambing dari sebuah organisasi Kristen. Bantuan tersebut diberikan sebagai modal mereka membangun kehidupan baru. Sebelum serbuan jihadis ISIS, mereka memiliki sebuah rumah besar di Rambusi, desa kecil di kawasan Sinjar. 

Kini desa itu telah mati dan ditinggalkan. Bahkan tidak seekorpun anjing liar terlihat berkeliaran. Sebagian besar rumah sudah diratakan dengan tanah. 

Kocher bilang dia tidak peduli rumah lamanya telah hancur. “Cara mereka menculik gadis kecil, cuma berusia enam atau delapan tahun. Bagaimana mereka diserahkan ke sekelompok pria berjumlah 11 atau 12 orang. Seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang hamil oleh jihadis ISIS, bukan kah itu hal yang paling sulit?,” ujarnya dengan nada geram. 

Mahmood hanya membisu. Dia terkadang menyambangi reruntuhan rumah lamanya untuk mencari foto atau benda kenangan lain. Beberapa warga mengatakan sejumlah tetangga mereka yang muslim ikut membantu jihadis ISIS. Rekonsiliasi di Rambusi, kata mereka, tidak akan pernah bisa terjadi. 

rzn/as   

*Berita ini terbit pada tahun 2018 dan diunggah ulang sesuai konteks.
 

Trauma Jadi Budak Seks, Gadis Yazidi Bakar Diri

02:19

This browser does not support the video element.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait