Tren Wisata ‘Terakhir Kali’ Bikin Alam Cepat Punah!
20 Desember 2024
Tren wisata “terakhir kali” sedang viral di kalangan turis. Aksi menikmati alam "mumpung masih ada" begini justru percepat kepunahan.
Iklan
Ada tren yang lagi booming nih di kalangan para turis, yaitu wisata last-chance tourism atau wisata kesempatan terakhir.
Bayangkan, para turis itu berlomba-lomba mengunjungi gletser yang terancam lenyap, atau terumbu karang yang kian memutih, hingga mengunjungi habitat spesies hewan langka seperti beruang kutub.
Semua itu dilakukan hanya untuk melihat dan mengabadikan keindahan alam itu sebelum terlambat. Sekilas, niat ini terdengar mulia, bukan? Eits... tapi ternyata efeknya malah justru merugikan lingkungan.
Sektor perjalanan wisata di dunia itu menyumbang sekitar 8 sampai 11% emisi gas rumah kaca global, yang justru memperparah kondisi alam.
Jadi, ketika para wisatawan terbang ke Arktika atau menyelam di antara terumbu karang, mereka tanpa sadar justru mempercepat hilangnya keajaiban alam itu.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ironisnya, banyak dari para wisatawan ini adalah orang-orang yang peduli terhadap lingkungan, sadar akan krisis iklim, dan berpendidikan tinggi. Sayang banget kalau semua terabaikan hanya demi ikut arus tren. Hmm...
Motivasi tersembunyi di balik tren wisata terakhir kali
Kenapa ya para turis ini justu berlomba-lomba pergi ke tempat yang jelas-jelas sedang sekarat? Menurut sebuah studi dari Jurnal Pariwisata Berkelanjutan 2023, motivasi para turis ‘wisata suram' ini lebih dari sekadar dokumentasi.
Ada rasa ingin menyaksikan secara langsung objek keajaiban alam itu sebelum benar-benar hilang. Para turis, terutama perempuan dan wisatawan yang berusia paruh baya, merasa pengalaman ini memberikan sensasi berbeda, seolah ikut jadi bagian dari sejarah.
10 Kekayaan Alam Yang Terancam Musnah
Dari hutan di Amazon hingga Laut Mati, banyak harta karun alam berharga yang terancam musnah akibat perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/JOKER/W. G. Allgöwer
Hutan hujan Amazon: Paru-paru dunia
Hutan hujan tropis paling berharga yang membentang di sembilan negara di Amerika Selatan ini merupakan penyerap karbon dunia dan rumah bagi beragam tanaman dan hewan langka. Namun pada tahun 2020, tingkat deforestasinya mencapai titik tertinggi karena banyak lahan yang dibuka untuk peternakan, pertanian, dan pertambangan, yang juga menyebabkan jumlah curah hujan di sana menurun seperempatnya.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Arrevad
Great Barrier Reef: Kurang dari 80 tahun lagi
Great Barrier Reef di lepas pantai timur laut Australia telah menjadi rumah bagi 400 jenis karang, 500 spesies ikan dan lebih dari 4000 jenis moluska, seperti penyu. Sayangnya, akibat meningkatnya suhu air laut global sebesar 1,5 derajat Celsius, setengah dari terumbu karang itu telah hilang. Diperkirakan, terumbu karang terbesar di dunia ini akan lenyap pada tahun 2100.
Foto: University of Exeter/Tim Gordon
Surga Darwin yang terancam punah
Kepulauan Galapagos Ekuador yang terletak 1.000 km di lepas pantai barat Amerika Selatan adalah situs Warisan Dunia atas berbagai macam fauna dan flora yang hidup di kepulauan vulkaniknya. Meskipun banyak spesies unik berevolusi di kepulauan ini dan menginspirasi Charles Darwin, surga alam yang langka ini terancam hilang akibat invasi spesiesnya, polusi, hingga penangkapan yang berlebihan.
Foto: imago/Westend61
Himalaya: Gletser mencair, sampah menggunung
Pada tahun 1980, Reinhold Messner berhasil melakukan pendakian solo pertama Gunung Everest tanpa oksigen tambahan. Beberapa dekade kemudian, gunung tertinggi di dunia ini telah didaki lebih dari 10.000 kali. Puncak gunungnya telah menarik banyak pendaki yang justru meninggalkan lebih banyak sampah. Pegunungan Himalaya juga mengalami pencairan gletser yang cukup tinggi akibat pemanasan global.
Foto: AFP/Project Possible
Taman Nasional Pohon Joshua tanpa pohonnya
Akhir abad ini, pohon Joshua yang menjadi nama taman nasional di California, terancam lenyap akibat kenaikan suhu global. Bibit tumbuhan gurun yucca ini tengah berjuang melawan kekeringan. Walaupun banyak yang tumbuh di ketinggian yang lebih sejuk, serangga yang membantu penyerbukan jumlahnya sangat sedikit. Pertumbuhan hama justru lebih banyak di daerah tersebut dan meningkatkan risiko kebakaran.
Foto: picture-alliance/United-Archives
Salju menghilang di Kilimanjaro
Gunung terbesar di benua Afrika ini terdiri dari tiga "kubah" vulkaniknya, salah satu yang tertinggi mencapai 5.895 meter di atas permukaan laut bernama "Kibo". Sekitar 85% salju putih di puncaknya telah menghilang perlahan dari tahun 1912 hingga 2009. Para peneliti menduga bahwa pemanasan global menjadi alasan berkurangnya lapisan salju di warisan Tanzania tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Machu Picchu: Jejak lingkungan pariwisata
Lebih dari 1,5 juta wisatawan per tahun, telah mengunjungi peninggalan bersejarah suku Inca di Andes, Peru. UNESCO meminta agar jumlah pengunjung dikurangi, dengan alasan bahwa jejak dari jutaan langkah kaki itu dapat membuat struktur kuno ini tidak stabil. Banyaknya turis juga berdampak negatif bagi lingkungan sekitarnya.
Foto: picture-alliance/C. Wojtkowski
Maladewa: Menghilang ke lautan
Ingin berlibur ke Maladewa? Coba pikirkan kembali. Dampak negatif perjalanan udara terhadap iklim menjadi kontribusi besar menghilangnya Maladewa ke lautan. Seiring dengan meningkatnya pemanasan global, permukaan air laut dunia juga meningkat hingga 3,7 cm per tahunnya. Bagi Maladewa yang terletak hanya 1,5 meter di atas permukaan laut, setiap sentimeternya sangat lah berharga.
Foto: DW/R. Richter
Danau Nikaragua: Akhir dari keindahan dunia?
Bukan perahu dayung seperti yang diusulkan, melainkan kapal kontainer besar yang akan mulai berlayar melewati Terusan Nikaragua yang menghubungkan Laut Karibia dengan Samudra Pasifik tersebut. Para aktivis lingkungan khawatir hal itu akan berdampak negatif terhadap seluruh ekosistem danau air tawar yang merupakan rumah bagi hiu dan ikan todak, sekaligus pemasok air minum bagi penduduk lokalnya.
Foto: picture-alliance/AP
Kemusnahan Laut Mati
Terletak 420 meter di bawah permukaan laut, Laut Mati yang dikelilingi oleh daratan ini adalah lautan air terendah di bumi. Tetapi danau garam yang unik ini perlahan-lahan mulai mengering. Pengambilan air minum dari Sungai Yordan oleh pihak Israel dan Yordania telah menyebabkan tingkat volume airnya menurun sekitar satu meter setiap tahunnya. (kp/hp)
Foto: picture-alliance/JOKER/W. G. Allgöwer
10 foto1 | 10
Tapi nih ya, momen saat kita berhadapan langsung dengan alam yang hampir punah ternyata dinilai bisa memicu kepedulian dan kesadaran atas kondisi lingkungan.
Kata para ilmuwan, melihat penurunan populasi beruang kutub dengan mata kepala sendiri itu memang bisa memicu orang untuk lebih peduli. Pengalaman ini ternyata bisa banget men-trigger kesadaran untuk kita menjaga Bumi. Ini penting supaya bisa memperlambat kehancuran alam yang kita huni ini. Tapi tentu saja, semuanya harus seimbang.