Pengadilan Khmer Merah, Peringatan Bagi Korut & ISIS
23 November 2016
Tribunal Kamboja yang didukung PBB mengukuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi dua petinggi Khmer Merah, Nuon Chea dan Khieu Samphan. Ini bisa menjadi pelajaran bagi pelanggar HAM di negara lain, tandas PBB.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Nhet Sok Heng
Iklan
Mahkamah Kukuhkan Penjara Seumur Hidup Petinggi Khmer Merah
01:22
This browser does not support the video element.
Hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada dua mantan pemimpin Khmer Merah harus menjadi peringatan untuk pelanggar hak asasi lainnya, termasuk di Korea Utara, Filipina dan ISIS, demikian disampaikan Perserikatan Bangsa-bangsa, hari Rabu (23/11).
Tribunal yang didukung PBB di Kamboja menolak banding terhadap hukuman seumur hidup penjara dijatuhkan kepada Nuon Chea (90 tahun) dan Khieu Samphan (85 tahun). Keduanya adalah pemimpin senior rezim yang bertanggung jawab atas kematian hingga dua juta orang di Kamboja dalam kurun waktu tahun 1975-1979. "Perpanjangan tangan keadilan internasional akhirnya menang," ujar David Scheffer, utusan Sekretaris Jenderal PBB di tribunal, kepada wartawan setelah putusan.
Tokoh senior Khmer Merah: Nuon CheaFoto: picture-alliance/AP/ECCC/N. Sok Heng
Pelajaran bagi negara atau kelompok lain
"Pemimpin senior bertanggung jawab untukaksi kejahatan kekejaman di bawah kepemimpinan mereka, itu akhirnya benar-benar terjadi," tambahnya. Dia kemudian menyebutkan sejumlah negara tertentu di mana para pemimpin negaranya harus "mencatat apa yang terjadi saat ini". Negara-negara yang dimaksud antara lain: Filipina, Sudan Selatan, Sudan, Republik Afrika Tengah, Suriah dan Korea Utara. Dia juga menyebut ISIS, yang dianggap telah melakukan kekejaman secara meluas di sejumlah bagian negara Irak dan Suriah."Apa yang terjadi hari ini di ruang sidang ini akhirnya dapat mencapai kewenangan mereka karena keadilan internasional tidak menyerah," ungkapnya lebih lanjut.
Pengadilan memutuskan kedua petinggi Khmer Merah ini bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan, penganiayaan atas dasar politik dan tindakan tidak manusiawi lainnya saat Khmer merah berkuasa. Chea atau " kakak kedua” dan Samphan, yang pernah menjadi presiden Kamboja sudah dijatuhi hukuman seumur hidup Agustus tahun 2014.
Kekejaman Rezim Khmer Merah terbongkar dimana mereka telah menewaskan sejumlah besar warga dan meninggalkan bekas luka pada generasi mendatang. Beberapa pengamat telah membandingkan Khmer Merah dengan ISIS yang dalam revolusinya untuk mewujudkan cita-cita telah melakukan kebiadaban.
Tokoh senior Khmer Merah, Khieu Samphan Foto: picture-alliance/dpa/ECCC/N. Sok Heng
Pemimpin gerakan Pol Pot meninggal pada tahun 1998, dan pemerintah kuat Kamboja Hun Sen telah menjadi semakin berhati-hati dalam menuntut kader Khmer Merah di tingkat yang lebih rendah.
Korban selamat merasa lega
Pengacara Nuon Chea mengatakan dia tidak bisa memahami keputusan pengadilan. Pengacara terpidana Nuon Chea, Victor Cope memaparkan: "Itu adalah sesuatu yang saya tidak bisa jelaskan kepadanya. Bukan berarti itu karena ia berusia 90 tahun dan Anda tahu dia akan hanya memiliki waktu yang singkat. Jadi secara material mungkin itu tak jadi kepedulian, tetapi jika kami sudah menjaminkan begitu banyak hal saat banding, maka mengapa masih dijatuhkan hukuman seumur hidup?"
Di lain pihak, Chum Mey, yang selamat dari rezim Khmer Merah mengatakan: "Saya puas dengan putusan ini sekarang. Di masa lalu, saya khawatir bahwa pengadilan ini tidak bisa melaksanakan sidang kasus terhadap Nuon Chea dan Khieu Samphan karena mereka semakin tua dan mereka bisa meninggal sebelum sidang selesai, seperti terdakwa lainnya, Leng Sary yang meninggal tanpa diadili. Sekarang pengadilan telah menyelesaikan prosedur hukuman terhadap mereka, jadi saya sangat senang. "
Sebelumnya, upaya banding atas hukuman penjara seumur hidup yang diajukan Kaing Guek Eav juga ditolak. Kaing Guek Eav, alias "Duch", merupakan kepala penjara Tuol Sleng yang fenomenal, di mana sebanyak 14.000 orang disiksa dan dieksekusi.
ap/hp (ebu/aptn/rtrtv/afp)
Penjahat Perang Jepang yang Didewakan
Mereka bertanggungjawab atas kematian jutaan warga sipil dan masih mendapat tempat kehormatan di kuil Yasukuni. Betapapun besar kejahatannya, mereka dianggap sebagai pahlawan. Siapa mereka dan apa dosa-dosanya?
Foto: Keystone/Getty Images
Hideki Tojo
Hideki Tojo adalah Perdana Menteri Jepang dari 1941 hingga 1944 dan kepala staf militer. Ia didakwa bertanggungjawab atas pembantaian 4 juta penduduk Cina dan melakukan eksperimen senjata biologi kepada tawanan perang. Setelah Jepang kalah, Tojo sempat berniat bunuh diri dengan pistol. Tapi niat tersebut batal dan ia dihukum gantung tahun 1948.
Foto: Keystone/Getty Images
Kenji Doihara
Doihara mengawali karirnya tahun 1912 sebagai agen rahasia di Beijing. Pria yang fasih berbahasa Mandarin ini mendirikan "Kerajaan Manchuria," bersama kaisar terakhir Cina, Puyi. Kerajaan tersebut adalah pemerintahan boneka Jepang. Tahun 1940, Doihara terlibat dalam serangan ke Pearl Harbor dan digantung delapan tahun kemudian.
Foto: Gemeinfrei/Unbekannt
Iwane Matsui
Matsui didakwa terlibat dalam pembantaian Nanjing 1937 yang menewaskan 300.000 penduduk Cina dalam sepekan. Kini sejahrawan meyakini keputusan pembantaian itu datang dari keluarga kekaisaran. Namun tidak seperti perwira militer yang terlibat, keluarga ningrat itu tidak pernah didakwa. Matsui dieksekusi mati tahun 1948.
Foto: Gemeinfrei
Heitaro Kimura
Tahun 1939, Kimura mengobarkan perang brutal terhadap milisi bersenjata Partai Komunis Cina. Ia mendirikan kamp konsentrasi yang menampung ribuan tawanan perang. Tahun 1944 Kimura lalu dikirim ke Burma buat memimpin pasukan Jepang. Ia memaksa tawanan buat membangun jalur kereta api sepanjang 415 ke Thailand. Akibatnya 13.000 serdadu tewas. Kimura mati digantung tahun 1948.
Foto: Gemeinfrei
Koki Hirota
Hirota memimpin pemerintahan Jepang hingga Februari 1937 dan kemudian menjabat menteri luar negeri. Ia didakwa terlibat dalam pembantaian Nanjing. Hirota (tengah) adalah satu-satunya politisi sipil yang digantung tahun 1948.
Foto: Keystone/Getty Images
Seishiro Itagaki
Pada September 1931 Itagaki mengarsiteki pemboman jalur kereta api di Manchuria. Jepang memanfaatkan peristiwa itu buat mendeklarasikan perang terhadap Cina. Itagaki kemudian dikirim ke Korea Utara, Malaysia dan Indonesia sebelum menyerah tahun 1945.
Foto: Gemeinfrei
Akira Muto
Sejak perang berkecamuk, Muto bertempur di Cina dan kemudian didakwa terlibat dalam kejahatan perang, antara lain pembantaian Nanjing. Menurut majelis hakim, Muto tidak cuma membiarkan tawanan perang kelaparan, tetapi juga "menyiksa dan membunuh" mereka.
Foto: Gemeinfrei
Yosuke Matsuoka
Di bawah kepemimpinannya Jepang meninggalkan Liga Bangsa-bangsa setelah dituding memulai perang terhadap Cina. Matsuoka yang kemudian menjabat sebagai menteri luar negeri termasuk inisator perjanjian triparti antara Jepang, Nazi Jerman dan Fasis Italia. Setelah perang Matsuoka meninggal dunia sebelum dieksekusi mati.
Foto: Gemeinfrei/Japanese book Ningen Matsuoka no Zenbo
Osami Nagano
Marsekal Osami Nagano memerintahkan serangan Jepang ke pangkalan militer AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Sebanyak 12 kapal perang AS menjadi korban dan lebih dari 2400 serdadu tewas. Nagano meninggal dunia akibat radang paru-paru tahun 1946 sebelum sempat diseret ke pengadilan penjahat perang di Tokyo.
Foto: Gemeinfrei
Toshio Shiratori
Toshio Shiratori adalah otak di balik propaganda Jepang. Ia pernah menjabat duta besar italia dan termasuk aktor yang aktif mendorong aliansi dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini. Sebagai penasehat utama Kementrian Luar Negeri, ia yang mengarsiteki ideologi fasis militer Jepang di daerah-daerah pendudukan. Toshio dihukum penjara seumur hidup dan meninggal tahun 1949.
Foto: Gemeinfrei
Yoshijiro Umezu
Antara 1939 dan 1945, Umezu mengkomandoi Milisi Guandong yang berkekuatan 700.000 serdadu. Kendati ia menentang kapitulasi Jepang, Umezu (berbaju militer di baris terdepan) diperintahkan menandatangani dokumen kapitulasi pada 2 September 1945. Umezu dihukum penjara seumur hidup dan meninggal dunia tahun 1949.