Trump Berterimakasih Kepada Putin Soal Pengusiran Diplomat
11 Agustus 2017
Presiden AS Donald Trump mengucapkan terima kasih kepada Presiden Rusia Vladimir Putin karena telah memerintahkan pemangkasan staf diplomatik AS di Rusia. Satu lagi pernyataan kontroversial Trump.
Iklan
Hampir dua minggu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan Amerika Serikat untuk mengurangi staf diplomatnya di Rusia secara drastis. Rusia menuntut AS mengurangi jumlah staf diplomatik dari 1200 menjadi 445 orang. Langkah itu sempat dikritik Kementerian Luar Negeri dan diplomat-diplomat teras AS. Namun Presiden Donald Trump kini menyambut langkah itu.
"Saya sangat bersyukur bahwa dia (Putin) memangkas sejumlah besar staf, karena sekarang anggaran gaji (untuk staf diplomat) jadi lebih rendah," kata Trump kepada wartawan saat berlibur di klub golfnya di Bedminster, New Jersey, hari Kamis (10/8).
Trump selanjutnya mengatakan "tidak ada alasan bagi mereka (para diplomat) untuk kembali" dan "kita akan menghemat banyak uang".
Pernyataan Trump bertolak belakang dengan reaksi-reaksi kalangan diplomatik AS. Kalangan pejabat di Departemen Luar Negeri sebelumnya menyebut langkah Moskow sebagai "tindakan yang perlu disesalkan dan tidak beralasan." Departemen Luar Negeri hari Kamis tidak bereaksi terhadap komentar Trump.
Komite di Kongres AS dan pejabat khusus Robert Mueller sedang menyelidiki kemungkinan campur tangan Rusia dalam kampanye pemilihan tahun 2016, antara lain dengan hacking dan metode lainnya untuk membantu Trump. Mereka juga menyelidiki kemungkinan adanya kolusi antara tim kampanye dan pejabat Rusia. Moskow berulang kali membantah tuduhan itu. Kongres AS kemudian memutuskan UU sanksi baru terhadap Rusia yang ditandatangani oleh Presiden Trump.
Presiden Rusia Vladimir Putin bereaksi terhadap sanksi baru yang diberlakukan itu dengan memerintahkan pemotongan staf kedutaan dan konsulat AS di Rusia. AS diminta menarik 755 dari 1200 stafnya dengan batas waktu sampai 1 September.
Selama kampanye pemilu presiden, Donald Trump secara konsisten menyatakan akan menjalinhubungan yang lebih baik dengan Rusia. Trump juga menolak untuk mengkritik Putin dan secara tegas menolak kesimpulan badan intelijen bahwa ada upaya Rusia mempengaruhi jalannya pemilihan.
Nicholas Burns, mantan pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri AS di bawah Presiden George W. Bush, menyebut komentar Trump yang memuji Putin itu "aneh."
"Jika dia bercanda, dia seharusnya lebih paham," kata Burns yang sekarang mengajar di Sekolah Tinggi Pemerintahan di Harvard University. "Jika tidak, ini belum pernah terjadi sebelumnya. Seorang presiden tidak pernah membela pengusiran diplomatnya."
Seorang diplomat veteran AS yang tidak ingin disebut namanya mengatakan kepada kantor berita Reuters, staf Departemen Luar Negeri "kaget dan terguncang" oleh ucapan Trump.
Mantan pejabat tinggi Departemen Luar Negeri yang menangani urusan Eropa, Dan Heather Conley mengatakan, pengusiran ratusan orang dari sebuah kedutaan besar AS adalah hal luar biasa dan "sangat sulit untuk melihat bagaimana presiden bisa melihat pengusiran ini sebagai perkembangan 'positif' dalam bentuk apapun."
Kronologi Hubungan Trump Dengan Rusia
Skandal kedekatan sejumlah orang terdekat Donald Trump dengan Rusia mendominasi penyelidikan FBI atas intervensi Kremlin terhadap pemilu kepresidenan AS. Inilah kronologi hubungan gelap antara Trump dan Moskow.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J.S. Applewhite
2013: Trump Dekati Russia
Pada 18 Juni 2013 Donald Trump berkicau di Twitter: "Kontes kecantikan Miss Universe akan disiarkan langsung dari MOSKOW, Rusia. Ini akan semakin mendekatkan dua negara." Ia kemudian menambahkan, "Apakah anda kira Putin akan hadir - jika ya, apakah ia akan menjadi sahabat baru saya?" Pada Oktober di tahun yang sama Trump mengakui telah melakukan "banyak bisnis dengan Rusia."
Foto: picture-alliance/dpa/V. Prokofyev
September 2015: Dugaan Serangan Siber
Seroang agen FBI mewanti-wanti Komite Nasional Partai Demokrat (DNC) ihwal serangan siber. Pada 18 Mei 2016 James Cloapper, Direktur Komunitas Intelijen, mengatakan ada "sejumlah indikasi" serangan siber terhadap salah satu tim kampanye pemilu kepresidenan. Sebulan kemudian DNC mengaku menjadi korban serangan siber oleh peretas Rusia.
Foto: picture alliance/MAXPPP/R. Brunel
20 Juli 2016: Kislyak Isyaratkan Dukungan
Senator Jeff Sessions yang sejak awal mendukung Donald Trump dan memimpin Komite Penasehat Keamanan Nasional milik kandidat Partai Republik itu bertemu dengan Duta Besar Rusia Sergey Kislyak dan sekelompok duta besar lain di sela-sela Konvensi Nasional Partai Republik. Sessions awalnya sempat membantah bertemu Kislyak. Tapi Gedung Putih kemudian mengakui kebenaran kabar tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
22 Juli 2016. Assange Terlibat
Di tengah masa kampanye situs WikiLeaks milik Julian Assange memublikasikan 20.000 email milik petinggi partai Demokrat yang dicuri dari server DNC. Kumpulan email tersebut mengungkap bagaimana petinggi partai lebih mengunggulkan Hillary Clinton, ketimbang pesaingnya Senator Bernie Sanders.
Foto: Reuters/N. Hall
25 Juli 2016: FBI Turun Tangan
Menyusul unggahan WikiLeaks Badan Investigasi Federal AS (FB) mengumumkan pihaknya membuka penyelidikan terhadap serangan siber pada masa kampanye. "Kebocoran semacam ini selalu kami anggap serius," ujar Direktur James Comey. Penyelidikan FBI lalu memicu kritik tajam atas kecerobohan tim kampanye Hillary Clinton dalam menyimpan informasi rahasia.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
8 November 2016: Trump Terpilih
Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat mesi kalah jumlah suara, namun menang dalam jumlah delegasi. Uniknya pada 9 November parlemen Rusia merayakan kabar kemenangan Trump dengan bertepuk tangan di sela-sela sidang.
Foto: Reuters/K. Lamarque
10 November 2016: Gedung Putih Membantah
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Rybakov mengakui adanya "kontak" antara pemerintah Rusia dengan tim kampanye Trump selama pemilihan umum kepresidenan. "Tentu saja kami mengenal sebagian besar anggota tim kampanyenya," kata Rybakov. Trump membantah klaim tersebut.
Foto: Imago/Itar-Tass
18 November 2016: Flynn Datang dan Pergi
Trump mengangkat Jendral Michael Flynn sebagai penasehat keamanan nasional. Bekas kepala Dinas Intelijen Militer itu pernah menjadi penasehat kebijakan luar negeri selama masa kampanye. Flynn mengundurkan diri bulan Februari setelah tergerus isu kedekatannya dengan Rusia. Ia antara lain pernah bertemu dengan Presiden Vladimir Putin dalam sebuah acara pribadi di Moskow.
Foto: Reuters/C. Barria
26 Januari 2017: Surat Maut dari Jaksa Agung
Jaksa Agung AS Sally Yates mengabarkan Gedung Putih bahwa Flynn berbohong mengenai pertemuannya dengan Duta Besar Rusia Kislyak. Ia meyakini Rusia memiliki rahasia yang bisa digunakan untuk memeras Flynn. Tidak lama kemudian Trump memecat Yates dan menunjuk Jeff Sessions sebagai penggantinya.
Foto: Getty Images/P. Marovich
2 Maret 2017: Sessions Tunduk
Trump mengatakan ia memiliki "kepercayaan penuh" pada Jaksa Agung Jeff Sessions. Tokoh konservatif itu lalu mengatakan ia tidak akan terlibat dalam semua investigasi yang berkaitan dengan hubungan antara tim kampanye Trump dengan Rusia.
Foto: Getty Images/S.Loeb
20 Maret 2017: FBI Usut Trump
Direktur FBI James Comey mengkonfirmasikan kepada parlemen bahwa lembaganya memulai investigasi dugaan hubungan ilegal antara Rusia dan tim kampanye Trump. Pada hari yang sama Presiden Trump menyerang pemberitaan tentang investigasi Rusia lewat Twitter.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/J. S. Applewhite
9 Mei 2017: Trump Pecat Comey
Menyusul penyelidikan oleh FBI, Trump lalu memecat James Comey. "Meski saya menghargai sikap anda mengabarkan saya dalam tiga kesempatan bahwa saya tidak sedang diselidiki, saya tetap mendukung penilaian Departemen Kehakiman bahwa anda tidak mampu memimpin FBI dengan efektif," tulis Trump dalam surat pemecatan Comey.
Foto: Reuters/J. Ernst/K. Lamarque
17 Mei 2017: Mueller Tiba, Trump Meradang
Menyusul konflik kepentingan yang memaksa Jaksa Agung Jeff Sessions menarik diri dari investigasi Rusia, wakilnya Rod Rosenstein menunjuk bekas Direktur FBI Robert Mueller sebagai penyidik khusus kasus dugaan intervensi Rusia. Langkah tersebut tidak diambil tanpa keterlibatan Gedung Putih. Awal Juni Mueller menempatkan Trump sebagai tokoh kunci dalam penyelidikan tersebut.