Presiden AS Donald Trump sudah ingin sekali bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT G20 di Jerman. Namun tidak semua anggota pemerintahan AS senang dengan langkah itu.
Iklan
Sebagian pejabat pemerintahan Amerika Serikat percaya bahwa AS perlu menjaga jarak dari Rusia, terutama pada saat ini, ketika Presiden Donald Trump sedang menjalani pemeriksaan tentang hubungan tim kampanyenya dengan pejabat-pejabat tinggi Rusia.
Tapi Presiden Trump justru ingin mengadakan pertemuan bilateral penuh dengan Putin dan sudah meminta akses media dan semua protokol khas yang terkait dengan sesi semacam itu. Padahal pejabat di Departemen Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional telah meminta Trump untuk lebih menahan diri dalam relasinya dengan Rusia.
Beberapa penasehat merekomendasikan agar Trump cukup melakukan sekedar pertemuan "pull-aside" yang cepat dan informal di sela-sela KTT G20 dekat Hamburg awal Juli mendatang. Pertemuan AS-Rusia cukup dilakukan tingkat delegasi, yang biasanya tidak melibatkan presiden, kata seorang pejabat kementerian luar negeri yang tidak ingin disebut namanya kepada kantor berita AFP.
Presiden Trump ingin mengembangkan hubungan kerja dengan Rusia untuk menggalakkan hubungan ekonomi, meskipun ada investigasi yang sedang berlangsung.
Juru bicara Putin Dmitry Peskov ketika ditanya wartawan soal itu mengatakan di Moskow hari Senin (26/6) bahwa "sisi protokolnya bersifat sekunder." Kedua pemimpin akan menghadiri acara yang sama di lokasi dan pada waktu yang sama, kata Peskov. Jadi "dalam hal apapun akan ada kesempatan untuk bertemu."
Kalangan pengamat berpendapat, memang ada potensi keuntungan dari pertemuan dengan Putin. Tatap muka dapat membuat kedua belah pihak saling kenal dan bisa berpotensi menghilangkan kecurigaan berlebihan yang sering muncul dalam komunikasi impersonal, misalnya hanya lewat telepon.
Trump memang sebelumnya beberapa kali menyatakan bahwa dia bisa memperbaiki kerenggangan AS-Rusia yang muncul selama era Presiden Obama, terutama mengenai isu-isu seperti konflik Suriah yang sedang berlangsung.
Tapi kalangan pengamat juga menyatakan ada banyak resiko. Sebab Trump dikenal sering mengabaikan protokoler dan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dalam diplomasi tingkat tinggi. Misalnya dalam sebuah pertemuan singkat di Oval Office dengan pejabat tinggi Rusia bulan lalu, Trump tiba-tiba mengungkapkan informasi yang sangat rahasia tentang adanya ancaman kelompok teror ISIS terhadap sebuah maskapai penerbangan. Trump menyatakan, informasi itu didapatnya dari pemerintah Israel.
Beberapa kalangan juga memperingatkan Presiden Trump, bahwa Putin tidak bisa dipercaya.
Oleg Kalugin, mantan jenderal yang pernah bertugas untuk dinas rahasia Rusia KGB mengatakan, Putin adalah seorang politisi yang cerdik dan berpengalaman, yang punya "prioritas lain" dalam pertemuan dengan Trump. Putin ingin agar sanksi AS terhadap Rusia dicabut dan harga minyak ditingkatkan.
"Putin tahu bagaimana cara mengalihkan pembicaraan demi keuntungannya," kata Kalugin.
Nina Khrushcheva, profesor urusan Rusia di New School mengatakan, posisi Trump memang sulit.
"Dia tidak bisa terlalu baik kepada Putin, karena akan ditafsirkan seakan-akan dia memiliki hubungan khusus dengan Rusia," katanya. "Dia tidak bisa terlalu serius, karena Putin punya banyak pengaruh dan cara berpikir KGB. Tapi Trump perlu memenuhi janji kampanyenya untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Rusia."
Gedung Putih mengatakan, belum ada keputusan akhir mengenai bentuk pertemuan antara Trump dan Putin di G20 di Jerman. Pertemuan bilateral AS-Rusia yang terakhir adalah tahun 2015 antara Putin dan Obama.
Kronologi Hubungan Trump Dengan Rusia
Skandal kedekatan sejumlah orang terdekat Donald Trump dengan Rusia mendominasi penyelidikan FBI atas intervensi Kremlin terhadap pemilu kepresidenan AS. Inilah kronologi hubungan gelap antara Trump dan Moskow.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J.S. Applewhite
2013: Trump Dekati Russia
Pada 18 Juni 2013 Donald Trump berkicau di Twitter: "Kontes kecantikan Miss Universe akan disiarkan langsung dari MOSKOW, Rusia. Ini akan semakin mendekatkan dua negara." Ia kemudian menambahkan, "Apakah anda kira Putin akan hadir - jika ya, apakah ia akan menjadi sahabat baru saya?" Pada Oktober di tahun yang sama Trump mengakui telah melakukan "banyak bisnis dengan Rusia."
Foto: picture-alliance/dpa/V. Prokofyev
September 2015: Dugaan Serangan Siber
Seroang agen FBI mewanti-wanti Komite Nasional Partai Demokrat (DNC) ihwal serangan siber. Pada 18 Mei 2016 James Cloapper, Direktur Komunitas Intelijen, mengatakan ada "sejumlah indikasi" serangan siber terhadap salah satu tim kampanye pemilu kepresidenan. Sebulan kemudian DNC mengaku menjadi korban serangan siber oleh peretas Rusia.
Foto: picture alliance/MAXPPP/R. Brunel
20 Juli 2016: Kislyak Isyaratkan Dukungan
Senator Jeff Sessions yang sejak awal mendukung Donald Trump dan memimpin Komite Penasehat Keamanan Nasional milik kandidat Partai Republik itu bertemu dengan Duta Besar Rusia Sergey Kislyak dan sekelompok duta besar lain di sela-sela Konvensi Nasional Partai Republik. Sessions awalnya sempat membantah bertemu Kislyak. Tapi Gedung Putih kemudian mengakui kebenaran kabar tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
22 Juli 2016. Assange Terlibat
Di tengah masa kampanye situs WikiLeaks milik Julian Assange memublikasikan 20.000 email milik petinggi partai Demokrat yang dicuri dari server DNC. Kumpulan email tersebut mengungkap bagaimana petinggi partai lebih mengunggulkan Hillary Clinton, ketimbang pesaingnya Senator Bernie Sanders.
Foto: Reuters/N. Hall
25 Juli 2016: FBI Turun Tangan
Menyusul unggahan WikiLeaks Badan Investigasi Federal AS (FB) mengumumkan pihaknya membuka penyelidikan terhadap serangan siber pada masa kampanye. "Kebocoran semacam ini selalu kami anggap serius," ujar Direktur James Comey. Penyelidikan FBI lalu memicu kritik tajam atas kecerobohan tim kampanye Hillary Clinton dalam menyimpan informasi rahasia.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
8 November 2016: Trump Terpilih
Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat mesi kalah jumlah suara, namun menang dalam jumlah delegasi. Uniknya pada 9 November parlemen Rusia merayakan kabar kemenangan Trump dengan bertepuk tangan di sela-sela sidang.
Foto: Reuters/K. Lamarque
10 November 2016: Gedung Putih Membantah
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Rybakov mengakui adanya "kontak" antara pemerintah Rusia dengan tim kampanye Trump selama pemilihan umum kepresidenan. "Tentu saja kami mengenal sebagian besar anggota tim kampanyenya," kata Rybakov. Trump membantah klaim tersebut.
Foto: Imago/Itar-Tass
18 November 2016: Flynn Datang dan Pergi
Trump mengangkat Jendral Michael Flynn sebagai penasehat keamanan nasional. Bekas kepala Dinas Intelijen Militer itu pernah menjadi penasehat kebijakan luar negeri selama masa kampanye. Flynn mengundurkan diri bulan Februari setelah tergerus isu kedekatannya dengan Rusia. Ia antara lain pernah bertemu dengan Presiden Vladimir Putin dalam sebuah acara pribadi di Moskow.
Foto: Reuters/C. Barria
26 Januari 2017: Surat Maut dari Jaksa Agung
Jaksa Agung AS Sally Yates mengabarkan Gedung Putih bahwa Flynn berbohong mengenai pertemuannya dengan Duta Besar Rusia Kislyak. Ia meyakini Rusia memiliki rahasia yang bisa digunakan untuk memeras Flynn. Tidak lama kemudian Trump memecat Yates dan menunjuk Jeff Sessions sebagai penggantinya.
Foto: Getty Images/P. Marovich
2 Maret 2017: Sessions Tunduk
Trump mengatakan ia memiliki "kepercayaan penuh" pada Jaksa Agung Jeff Sessions. Tokoh konservatif itu lalu mengatakan ia tidak akan terlibat dalam semua investigasi yang berkaitan dengan hubungan antara tim kampanye Trump dengan Rusia.
Foto: Getty Images/S.Loeb
20 Maret 2017: FBI Usut Trump
Direktur FBI James Comey mengkonfirmasikan kepada parlemen bahwa lembaganya memulai investigasi dugaan hubungan ilegal antara Rusia dan tim kampanye Trump. Pada hari yang sama Presiden Trump menyerang pemberitaan tentang investigasi Rusia lewat Twitter.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/J. S. Applewhite
9 Mei 2017: Trump Pecat Comey
Menyusul penyelidikan oleh FBI, Trump lalu memecat James Comey. "Meski saya menghargai sikap anda mengabarkan saya dalam tiga kesempatan bahwa saya tidak sedang diselidiki, saya tetap mendukung penilaian Departemen Kehakiman bahwa anda tidak mampu memimpin FBI dengan efektif," tulis Trump dalam surat pemecatan Comey.
Foto: Reuters/J. Ernst/K. Lamarque
17 Mei 2017: Mueller Tiba, Trump Meradang
Menyusul konflik kepentingan yang memaksa Jaksa Agung Jeff Sessions menarik diri dari investigasi Rusia, wakilnya Rod Rosenstein menunjuk bekas Direktur FBI Robert Mueller sebagai penyidik khusus kasus dugaan intervensi Rusia. Langkah tersebut tidak diambil tanpa keterlibatan Gedung Putih. Awal Juni Mueller menempatkan Trump sebagai tokoh kunci dalam penyelidikan tersebut.