1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Tsutomu Yamaguchi Selamat dari Bom Atom Hiroshima, Nagasaki 

7 Agustus 2020

Selamat dari bom atom pertama di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, dengan badan penuh luka, insinyur Tsutomu Yamaguchi putuskan untuk pulang ke kampungnya di Nagasaki. Di sana bom atom kembali menghantamnya.

Reruntuhan bangunan di Jepang tahun 1945
Reruntuhan bangunan di Jepang akibat bom atom tahun 1945Foto: picture-alliance/dpa/Nagasaki Atomic Bomb Museum

Jepang pada pertengahan tahun 1945 sedang gencar-gencarnya terlibat dalam Perang Dunia 2 melawan sekutu. Banyak kapal pembawa minyak hancur terkena bom. Karena itulah, jasa dan pengetahuan milik insinyur perkapalan seperti Tsutomu Yamaguchi sangat dibutuhkan untuk merancang kapal-kapal baru.

Tsutomu Yamaguchi lahir di Nagasaki tahun 1916. Pada pertengahan tahun 1945, perusahaan tempatnya bekerja mengirim insinyur muda ini untuk bekerja selama tiga bulan di perusahaan pembuat kapal Mitsubishi Heavy Industries di Hiroshima bersama dua rekannya.

Pagi tanggal 6 Agustus 1945 seharusnya jadi pagi terakhir bagi Yamaguchi bekerja di Hiroshima. Ia akan segera pulang ke rumahnya di Nagasaki, tempat keluarga besarnya, istri serta bayi mereka yang saat itu baru berusia beberapa bulan.

Pagi itu Yamaguchi seperti biasa berangkat ke kantor bersama dua orang rekannya. Dia ingat mendengar suara mesin pesawat terbang di udara. Tapi di Hiroshima itu bukan hal yang luar biasa mengingat kota itu adalah kota industri dan basis militer. Sama sekali tidak ada yang tahu bahwa suara pesawat yang ia dengar adalah suara mesin pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat, yang sebentar lagi akan mengubah nasib banyak orang.

Tsutomu Yamaguchi di akhir hidupnya banyak membagikan pengalamannya atas kengerian tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.Foto: picture-alliance/dpa

Tiba-tiba Yamaguchi melihat kilatan cahaya yang membutakan mata. Bom atom pertama meledak hanya 600 meter di atas kota Hiroshima. Awan jamur terlihat membumbung tinggi ke udara. Pagi itu bahkan baru pukul 8.15. Yamaguchi jatuh tersungkur dan pingsan. Saat kembali membuka mata, Yamaguchi merasakan sakit yang teramat sangat di telinga. Yamaguchi memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu.

Pagi itu tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang dijuluki “Little Boy” di Hiroshima, menewaskan sedikitnya 140 ribu orang dari total penduduk Hiroshima saat itu berjumlah sekitar 350 ribu jiwa. Sekitar 70 ribu orang diperkirakan meninggal langsung karena ledakan bom atom, sementara puluhan ribu lainnya meninggal kemudian akibat efek samping dan radiasi yang ditimbulkan.

‘Jalan neraka’ menuju stasiun kereta

Namun Yamaguchi selamat. Dengan kepala dan lengan menderita luka bakar berat, pemuda yang saat itu baru berusia 29 tahun ini berjalan gontai ke arah reruntuhan galangan kapal Mitsubishi tempatnya bekerja. Di sana, ia menemukan kedua rekan kerjanya, Akira Iwanaga dan Kuniyoshi Sato. Mereka juga selamat.

Yamaguchi ingat harus menghabiskan malam tanggal 6 Agustus 1945 di sebuah tempat penampungan. Orang-orang di sekitarnya berteriak kesakitan dan tengah sekarat. Dia sendiri tidak bisa tidur.

Keesokan paginya tanggal 7 Agustus, Yamaguchi dan dua rekannya memutuskan pergi ke stasiun kereta api. Katanya, menurut informasi yang mereka dengar, ada kereta yang – entah bagaimana caranya – masih beroperasi.

Namun perjalanan dari tempat penampungan menuju stasiun kereta sungguh ibarat film horor yang menggambarkan kengerian. Api masih berkobaran di sana-sini, bangunan-bangunan hancur, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, sebagian meleleh dan hangus terbakar. Kulit para korban digambarkan ibarat lelehan plastik yang tergantung, terkupas dari tubuh mereka. 

Jembatan-jembatan di Hiroshima telah hancur. Yamaguchi ingat, di sebuah sungai, dengan wajah dan lengan penuh luka akibat bom atom, ia terpaksa berenang melewati tumpukan mayat yang mengambang agar bisa sampai ke stasiun.

Sesampainya di stasiun, kereta yang dinaiki Yamaguchi penuh dengan penumpang yang mengalami luka bakar akibat bom. Kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan linglung. Hari itu Yamaguchi naik kereta malam ke kampung halaman di Nagasaki. Tempat ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya. Tempat keluarganya tinggal dan ia berharap mendapatkan rasa aman dan perawatan di sana. Sama sekali ia tidak tahu, apa yang akan segera menimpanya.

Nagasaki, 9 Agustus 1945

Tiba di Nagasaki tanggal 8 Agustus 1945, Yamaguchi langsung mengunjungi sebuah rumah sakit untuk dirawat oleh seorang dokter yang tidak lain adalah teman sekolahnya. Namun karena luka bakar yang menghitam di lengan dan wajahnya, dokter itu tidak dapat langsung mengenali Yamaguchi. Saat ia kembali ke rumah penuh dengan bebatan perban, ibunya bahkan sempat mengira ia hantu.

Meski sama sekali belum pulih dari luka-lukanya, Yamaguchi memutuskan berangkat ke kantor Mitsubishi kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 untuk melapor. Arus informasi saat itu berbeda jauh dengan sekarang. Hari itu, orang-orang di Nagasaki sama sekali tidak tahu apa yang telah menimpa Hiroshima.

Sekitar pukul 11 pagi, ia bertemu dengan seorang direktur yang menginginkan laporan penuh tentang kejadian di Hiroshima. Ia pun melaporkan semua yang ia ingat, tentang cahaya yang membutakan mata, tentang suara ledakan yang menulikan telinga.

Namun atasannya ragu dan bertanya, bagaimana mungkin sebuah bom bisa menghancurkan keseluruhan kota?

Tepat pada saat itulah, saat Yamaguchi hendak menyakinkan atasannya, kilatan cahaya membutakan yang sama seperti di Hiroshima kembali terlihat. Yamaguchi tersungkur ke lantai, lukanya kembali menganga, kali ini luka itu penuh debu dari bangunan yang hancur di sekitarnya.

“Saya pikir, awan jamur itu telah mengikuti saya dari Hiroshima,” ujar Yamaguchi kepada harian The Independent. Untuk kedua kalinya, Yamaguchi kembali mengalami ledakan bom atom, kali ini, ia juga selamat.

Yang ada dalam ingatan Yamaguchi saat itu adalah anak dan istrinya. Yamaguchi bergegas pergi dari reruntuhan kantornya menuju rumah. Ketakutannya membuncah ketika melihat satu sisi rumahnya telah menjadi puing-puing. Namun ternyata, istri dan anaknya yang saat itu berusia 5 bulan selamat dan hanya menderita luka ringan. Hari itu, istri Yamaguchi bersama bayinya pergi keluar rumah guna mencari salep untuk obat luka bakar suaminya. Saat bom menghajar, ia dan bayinya berlindung di sebuah lorong. 

Seperti Apa Kalau Bom Atom Menghantam?

01:24

This browser does not support the video element.

Hidup memang seringnya ironis. Jika saja Yamaguchi tidak terluka akibat bom atom di Hiroshima, istri dan bayinya hari itu mungkin tidak akan keluar rumah untuk mencari salep kulit. Kemungkinan mereka akan tetap tinggal di rumah dan terbunuh bom atom Nagasaki.

Kampanye lawan penggunaan senjata nuklir

Bom atom kedua yang dijatuhkan tanggal 9 Agustus 1945 dijuluki Fat Man dan membunuh sedikitnya 74.000 orang di Nagasaki. Sebelum kedua bom atom tersebut dijatuhkan, Amerika telah terlebih dahulu membombardir sejumlah kota di Jepang.

Pada bulan Maret 1945, AS membombardir Tokyo dalam salah satu serangan bom yang disebut paling mematikan dalam sejarah manusia. Dalam serangan itu, sekitar 100 ribu orang tewas, dan jutaan lainnya luka-luka serta kehilangan tempat tinggal. Kebanyakan dari para korban adalah warga sipil.

Setelah perang usai, Yamaguchi bekerja dan kembali hidup relatif normal. Namun trauma atas pengalaman mengerikan tersebut tetap bersamanya. Luka-luka batin itu ia keluarkan dalam bentuk puisi.

Awalnya Yamaguchi tidak begitu banyak bercerita tentang traumanya, khawatir keluarganya mengalami diskriminasi. Namun pada tahun-tahun akhir hidupnya, Yamaguchi tergerak untuk lebih banyak lagi memperingatkan generasi muda tentang penderitaan para korban akibat senjata nuklir serta bahaya radiasinya.

Suatu saat di markas PBB di New York tahun 2006, Yamaguchi mengatakan bahwa dalam pepatah Jepang ada ungkapan “Yang terjadi dua kali, akan terjadi tiga kali. Tapi bom atom ketiga tidak boleh terjadi,” ujarnya. “Kita harus berupaya sekuat tenaga supaya ini tidak terjadi.”

Setelah mengalami semua penderitaannya, Yamaguchi baru secara resmi diakui oleh pemerintah Jepang sebagai korban selamat, dengan status Eniijuu hibakusha pada tahun 2009. Hanya setahun setelah mendapatkan pengakuan dari pemerintah, Tsutomu Yamaguchi meninggal dunia tahun 2010 pada usia 93 tahun.

Namun sebelumnya ia sempat mengatakan bahwa "paparan radiasi ganda yang saya alami kini menjadi catatan resmi pemerintah." Catatan ini diharapkan akan menjadi informasi bagi generasi muda tentang sejarah mengerikan bom atom, "bahkan setelah saya meniggal dunia."

ae/yp (BBC, the independent, guardian, history.com, cnn, Netflix)