1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tugas Pasukan NATO di Afghanistan

1 Agustus 2006

Komando pasukan internasional di Afghanistan beralih dari pasukan Amerika Serikat ke pasukan NATO.

Foto: AP

Beberapa bulan terakhir situasi di Afghanistan, terutama di Selatan negara tersebut memburuk secara dramatis. Seburuk saat jatuhnya rejim Taliban akhir tahun 2001. Serangan dan bentrokan bersenjata yang terjadi sejak awal tahun menewaskan lebih dari 1600 orang. Dan menyebabkan pemerintahan Presiden Hamid Karsai mengalami krisis kepercayaan. Bukan hanya karena ancaman akibat serangan teror, tapi juga karena meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta tidak adanya harapan bagi sekitar 4 juta pengungsi yang kembali ke pemerintahan pusat di Kabul.

Proses pembangunan kembali macet. Hanya terjadi pembangunan perumahan di kota-kota besar, sementara jurang kaya dan miskin semakin tampak. Terutama di ibukota Kabul, terjadi kekurangan lahan perumahan bagi masyarakat selain itu pengangguran meningkat.

Presiden Karzai tidak dapat memenuhi janjinya untuk meningkatkan segera pendapatan penduduk. Pemerintah tidak mempunyai konsep yang jelas dalam pembangunan ekonomi dan menciptakan hubungan yang seimbang. Sehubungan hal ini Ketua Partai Kongres Nasional Latif Predam menyebutnya sebagai krisis struktural yang menjadi tanggung jawab Karzai

Latif Predam: „Kami dihadapkan pada kemiskinan yang meluas, pengangguran dan ketidakpuasan. Bahkan banyak yang memandang terpaksa meninggalkan Afghanistan. Tidak ada perspektif bagi ekonomi dan politik Afghnistan, juga keterlibatan masyarakat di sistim kekuasaan dan politik menunjukkan kekurangan besar.“

Selain masalah ketidak puasan di kalangan masyarakat, defisit besar juga terjadi dalam keamanan dalam negeri. Pemerintah Afghanistan mengharap dengan pengambil alihan komando pasukan perdamaian internasional oleh NATO, milisi Taliban dapat segera terusir dari desa-desa di kawasan selatan dan aksi teror terhadap penduduk berakhir. Tugas yang cukup berat. Karena di satu sisi pengamat militer melihat kekurangan pasukan NATO dalam kekuatan udara dan perlengkapan bantuan. Di sisi lain tentara NATO harus menyesuaikan diri dengan taktik baru pejuang Taliban.

Pasukan asing di bawah kepemimpinan Amerika Serikat berhasil menewaskan banyak milisi Taliban melalui operasi militer dan serangan gunung. Sekarang Taliban mengubah taktik. Mereka menghindari konfrontasi dengan pasukan Afghanistan dan internasional dan makin sering melancarkan serangan bunuh diri. Ini berarti, pasukan ISAF harus lebih menjalin kerja sama dengan kepolisian Afghanistan, yang kurang terlatih, kurang perlengkapan dan kurang motivasi. Singkatnya, kurang siap menghadapi perlawanan efektif terhadap terorisme.