Tujuh Aktivis Pro-Demokrasi Hong Kong Divonis Bersalah
1 April 2021
Pengadilan di Hong Kong telah memvonis bersalah tujuh aktivis pro-demokrasi, termasuk taipan media Jimmy Lai, atas aksi unjuk rasa besar-besaran di tahun 2019.
Iklan
Gerakan pro-demokrasi Hong Kong mendapatkan pukulan berat pada hari Kamis (01/04) setelah sembilan aktivis veteran divonis bersalah atas aksi unjuk rasa besar-besaran pada tahun 2019.
Pengadilan Distrik Hong Kong memutuskan, tujuh aktivis pro-demokrasi termasuk pengacara Martin Lee yang berusia 82 tahun dan taipan media Jimmy Lai, bersalah karena mengatur dan mengambil bagian dalam pertemuan yang tidak sah.
Lima terdakwa lainnya adalah pengacara terkemuka dan mantan anggota parlemen oposisi Margaret Ng serta aktivis veteran Lee Cheuk-yan, Leung-kwok-hung, Albert Ho, dan Cyd Ho.
"Kami akan melanjutkan perjuangan," kata Lee Cheuk-yan yang berusia 64 tahun. "Kami percaya pada orang-orang Hong Kong, pada saudara-saudari kita di perjuangan kita, dan kemenangan adalah milik kita jika rakyat Hong Kong gigih."
Sementara dua orang lainnya, Au Nok-hin dan Leung Yiu-chung, sebelumnya telah mengaku bersalah.
Para aktivis tersebut dihukum karena keterlibatan mereka dalam protes besar-besaran yang dilaksanakan pada 18 Agustus 2019, di mana hampir 1,7 juta orang berunjuk rasa menentang RUU yang memungkinkan tersangka kriminal diekstradisi ke Cina daratan untuk diadili.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Foto: REUTERS/J. Nazca
11 foto1 | 11
Aktivis pro-demokrasi dipantau
Martin Lee, yang sering disebut "bapak demokrasi" Hong Kong, membantu mendirikan Partai Demokrat, oposisi terbesar di negara bekas koloni Inggris itu pada 1990-an. Lee bisa dipenjara selama 12-18 bulan, menurut beberapa ahli hukum.
Dia telah didakwa karena dicurigai berkolusi dengan kekuatan asing dan membahayakan keamanan nasional.
Lai adalah salah satu dari beberapa aktivis pro-demokrasi Hong Kong yang didakwa berdasarkan undang-undang keamanan nasional yang baru-baru ini disetujui. Undang-undang tersebut disahkan pada Juni tahun lalu oleh anggota parlemen pro-Beijing di Hong Kong dan dipandang oleh banyak orang sebagai cara untuk menindas perbedaan pendapat.
Para aktivis, selain mereka yang sudah ditahan, mendapat jaminan dengan syarat mereka tidak pergi dari Hong Kong dan harus menyerahkan semua dokumen perjalanan mereka.
Mereka selanjutnya akan muncul di sidang yang dijadwalkan pada 16 April mendatang dengan agenda pembacaan permohonan. Mengambil bagian dalam sebuah pertemuan yang melanggar hukum atau bisa berakibat huru-hara di Hongkong, sesuai undang-undang keamanan teraru, berpotensi mendapat ancaman hukuman maksimal hingga 10 tahun penjara.