Isu Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) tak lepas dari kontroversi perkawinan sejenis. Blogger Mochamad Husni membagi pandangannya.
Iklan
Hasil pernikahan hetero saya dan istri sudah dikaruniai tiga orang anak. Karena aneka alasan medis, dokter membantu ketiga persalinan itu melalui operasi caesar. Proses kelahiran bayi tanpa perlu kontraksi ini atau proses pembuahan buatan alias bayi tabung makin terdengar lumrah di zaman saya berkeluarga. Berbeda dengan era orang tua atau kakek nenek saya dulu, meskipun melahirkan tujuh orang anak, seluruhnya lewat proses dan terlahir dengan cara “konvensional”: diawali dengan masuknya penis ke vagina, meluncurnya sel sperma ke indung telur, tumbuhnya jabang bayi selama 9 bulanan di rahim, lalu keluar melalui lubang vagina.
Begitulah pengetahuan dan teknologi. Kecerdasan otak manusia mampu mengatasi persoalan yang dihadapi peradaban. Termasuk dalam memberi solusi kepada pasangan keluarga perihal cara mereka memiliki anak. Setelah bayi tabung yang makin banyak diterapkan, baru-baru ini bahkan dunia kedokteran di Tiongkok mulai menampakkan keberhasilan membuat sperma buatan. Meski kabarnya masih di tingkat uji coba, ini bisa menjadi solusi bagi pernikahan antara laki-laki dan laki-laki atau pun perempuan dan perempuan, agar rumahtangganya tetap dilengkapi dengan kehadiran anak layaknya pernikahan hetero.
Tantangannya
Meskipun ada kekhawatiran tentang terhentinya perkembanganbiakan manusia, tantangan yang lebih krusial bagi masa depan umat manusia atas pernikahan sesama jenis sebenarnya terkait dengan garis keturunan. Yang saya bayangkan, garis keturunan mereka kelak akan kacau balau. Tak ada lagi garis keturunan berdasarkan laki-laki, atau perempuan. Bukan hanya melenyapnya pola matrilineal atau patrilineal, pernikahan sesama jenis akan menumbangkan “pohon keluarga”. Selanjutnya, anak-anak hasil teknologi modern yang mereka klaim sebagai anak kandung mereka akan kesulitan mengurut silsilah kelahirannya. Itu berarti, mereka kesulitan mengetahui DNA (deoxyribose nucleid acid) siapa yang mengalir dalam tubuhnya.
Padahal, garis keturunan ini bukan sekadar kenangan indah tentang leluhur atau jejak genetik nenek moyang. Garis keturunan perlu diketahui, setidaknya, karena dari situlah manusia dimudahkan dalam mengatur warisan. Peninggalan-peninggalan seseorang semestinya turun kepada pewaris yang berhak, yaitu kepada mereka yang memiliki hubungan darah (kekerabatan), entah kepada anak, orang tua, atau orang-orang lain yang sedarah dengannya. Anak pasangan homoseksual atau lesbian, yang lahir dari proses inseminasi buatan tentu mempunyai separuh ikatan darah dengan orang tuanya.
Inilah Negara Islam yang Legalkan Gay dan Lesbian
Kendati legal, kaum gay dan lesbian di negara-negara ini tidak serta merta bebas dari diskriminasi. Tapi inilah negara-negara Islam yang mengakui hak-hak kaum gay dan lesbian.
Foto: picture-alliance/dpa
1. Turki
Sejak kekhalifahan Utsmaniyah melegalkan hubungan sesama jenis tahun 1858, Turki hingga kini masih mengakui hak kaum gay, lesbian atau bahkan transgender. Namun begitu praktik diskriminasi oleh masyarakat dan pemerintah masih marak terjadi lantaran minimnya perlindungan oleh konstitusi. Namun begitu partai-partai politik Turki secara umum sepakat melindungi hak kaum LGBT dari diskriminasi.
Foto: picture-alliance/abaca/H. O. Sandal
2. Mali
Mali termasuk segelintir negara Afrika yang melegalkan LGBT. Pasalnya konstitusi negeri di barat Afrika ini tidak secara eksplisit melarang aktivitas homoseksual, melainkan "aktivitas seks di depan umum". Namun begitu hampir 90% penduduk setempat meyakini gay dan lesbian adalah gaya hidup yang harus diperangi. Sebab itu banyak praktik diskriminasi yang dialami kaum LGBT di Mali.
Foto: Getty Images/AFP/J. Saget
3. Yordania
Konstitusi Yordania tergolong yang paling maju dalam mengakomodir hak-hak LGBT. Sejak hubungan sesama jenis dilegalkan tahun 1951, pemerintah juga telah menelurkan undang-undang yang melarang pembunuhan demi kehormatan terhadap kaum gay, lesbian atau transgender. Pemerintah misalnya mentolelir munculnya cafe dan tempat hiburan di Amman yang dikelola oleh kaum LGBT.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit tidak melarang aktivitas seksual sesama jenis. Indonesia juga tercatat memiliki organisasi LGBT tertua di Asia, yakni Lambda Indonesia yang aktif sejak dekade 1980an. Kendati menghadapi diskriminasi, presekusi dan tanpa perlindungan konstitusi, kaum gay dan lesbian Indonesia belakangan tampil semakin percaya diri buat memperjuangkan hak mereka.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/A. Rudianto
5. Albania
Kendati bermayoritaskan muslim, Albania dianggap sebagai pionir di tenggara Eropa dalam mengakui hak-hak kaum LGBT. Negeri miskin di Balkan ini juga telah memiliki sederet undang-undang yang melindungi gay dan lesbian dari praktik diskriminasi.
Foto: SWR/DW
6. Bahrain
Negara pulau di tepi Teluk Persia ini telah melegalkan hubungan sesama jenis sejak tahun 1976. Namun begitu Bahrain tetap melarang lintas busana di ruang-ruang publik. Terutama sejak 2008 pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggaran aturan berbusana. Bahrain juga berulangkali dilaporkan mendakwa warga asing yang menawarkan layanan seksual sesama jenis di wilayahnya.
Foto: Getty Images
7. Palestina (Tepi Barat)
Resminya praktik hubungan sesama jenis masih dilarang di Jalur Gaza. Tapi tidak demikian halnya dengan Tepi Barat Yordan sejak dilegalkan tahun 1951. Ironisnya aturan yang melarang LGBT di Jalur Gaza tidak berasal dari pemerintahan Hamas, melainkan dari Inggris sejak zaman penjajahan.
Foto: Shadi Hatem
7 foto1 | 7
Legalitas esensi berkeluarga?
Tidak kalah penting dari perkara waris-mewarisi, garis keturunan juga dibutuhkan karena ia menjadi panduan dalam menentukan seseorang yang “aman” untuk dinikahi. Sebab, semakin dekat hubungan darah antara dua orang yang menikah, risiko-risiko kesehatan pada keturunannya kian besar. Sudah diketahui umum bahwa munculnya gangguan represif langka yang bisa menyebabkan berbagai macam masalah seperti kebutaan, ketulian dan kondisi neodegeratif lainnya berpotensi muncul pada anak dari pernikahan yang orang tuanya memiliki kekerabatan yang dekat.
Setidaknya, begitu yang disebut dunia kedokteran mengingat masing-masing orang membawa salinan gen yang buruk dan tidak ada gen normal yang dapat menggantikannya. Kemungkinan seorang anak mendapatkan dua salinan gen yang merugikan akan semakin besar ketika orang tuanya merupakan saudara dekat.
Dengan dua kekhawatiran itu, konsep keluarga (family) pada pasangan sesama jenis juga perlu dipertanyakan. Bisakah pasangan mereka dan anak-anak mereka disebut keluarga? Dan, perlukah pasangan sesama jenis mencatatkan pernikahan mereka sesuai hukum negara?
Jika kita menjawab dua pertanyaan di atas secara positif, maka akar-akar yang menopang tegaknya Pohon Keluarga akan semakin goyah. Legalitas pernikahan sesama jenis tidak sejalan dengan salah satu esensi penting dari terbentuknya keluarga, yaitu: untuk menghasilkan anak dari darah daging mereka berdua.
Penulis: Mochamad Husni, seorang profesional blogger
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Silakan tulis komentar dan pendapat Anda atas artikel ini di forum diskusi.
Resep Ilmiah Membesarkan Anak Bahagia
Membesarkan anak yang bahagia bukan perkara mudah. Menurut studi tentang kebahagiaan yang dilakukan situs Happify, ada beberapa faktor yang memperngaruhi kebahagiaan anak. Berikut beberapa diantaranya:
Foto: karelnoppe/Fotolia
Asuhan ibu
Menurut penelitian yang berfokus pada hippocampus - bagian dari otak yang menangani stres dan memori-- Anak-anak balita dalam asuhan ibu penuh kasih sayang dan penuh dukungan, memiliki hippocampus 10 persen lebih besar ketika mulai masuk usia sekolah.
Foto: Colourbox
Pentingnya cinta ayah
Selain menegakkan aturan, ayah perlu untuk mendengarkan anak dan menjalin hubungan yang erat dengan mereka. Beri kebebasan wajar pada anak-anak. Anak-anak yang merasa ditolak atau tidak dicintai oleh orang tua mereka, lebih mengembangkan sifat permusuhan, agresif dan menunjukan atau ketidakstabilan emosi.
Foto: Fotolia/goodluz
Kebahagiaan orangtua juga berpengaruh
Kepuasan hidup orangtua bisa dalam segi pendidikan, pendapatan maupun pekerjaan yang mereka sukai, serta waktu yang diluangkan bersama keluarga. Namun orang tua juga perlu waktu untuk melakukan hal menyenangkan bagi diri sendiri, misalnya nonton film, menjalin pertemanan, dll.
Foto: Fotolia/nenetus
Pentingnya optimisme
Ajarkan anak untuk selalu optimistis. Ini berguna untuk meredakan stress ketika mereka puber. Bahkan anak umur lima tahunpun bisa memetik manfaat dari cara berpikir positif. Mereka juga bisa belajar bagaimana orangtua mereka mengatasi masalah.
Foto: Fotolia/drubig-photo
Puji anak atas usahanya, bukan otaknya
Anak yang terbiasa dipuji atas otak dan ketrampilannya, ketimbang usahanya, mengalami masa sulit saat mengalami kegagalan. Anak yang dipuji atas usahanya akan lebih memiliki motivasi dan tidak takut akan tantangan.
Foto: Fotolia/olly
Pendekatan tiap anak beda-beda
Ketika cara mengajar orangtua tak cocok dengan kepribadian anak, maka anak akan cenderung depresi dan ketakutan. Jika mereka mampu mengatasi emosi dan tingkah lakunya sendiri, maka mereka anak lebih mandiri. Demikian sebaliknya.
Foto: Fotolia/Jörg Hackemann
Lebih tangguh dari yang kita kira
80% anak yang orangtuanya berpisah tidak jatuh dalam problem psikologis yang serius. Orangtua yang memelihara komunikasi baik , mendorong anak-anak mereka mencapai cita-cita, dekat dengan keluarga dan menikmati jalinan hubungan dengan orang lain. Anak-anak yang keluarganya diselimuti konflik, cenderung terganggu dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan kesulitan mengatasi masalah emosional.
Foto: goodluz - Fotolia
Anak ingin lebih berarti
Caranya bisa dengan berbuat baik bagi temannya, menyelenggarakan acara atau bergabung dengan klub. Rasa empati juga perlu dibangun sedari dini, mulai dari menemani kawan yang sedih, memuji orang lain, berbagi dengan sesama atau meluangkan waktu dengan kakek nenek.
Foto: Monkey Business/Fotolia
Anak-anak zaman sekarang…
.. lebih sedikit waktu bermain ketimbang anak-anak 20 tahun lalu. Bermain penting untuk membangun kreativitas, ketrampilan motorik, kekuatan emosional, kognisi dan ketrampilan sosial.
Foto: Anatoliy Samara - Fotolia
Olahraga vs TV
Anak-anak yang latihan fisik atau berolahraga lebih percaya diri. Mereka yang merasa baik dalam jenis sport tertentu bahkan lebih percaya diri ketimbang yang memang benar-benar ‘jago‘ di bidang itu. Studi 7 tahun atas 4000 remaja menunjukkan, anak-anak yang banyak menonton TV lebih memperlihatkan gejala depresif., dengan peningkatan 8% dari setiap jam menyaksikan TV.