1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sidang Gugatan Petani Rumput Laut NTT Dimulai

18 Juni 2019

Lebih dari 15.000 petani rumput laut gugat perusahaan pengeboran asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTT EP) lewat gugatan kelas di pengadilan Australia pada Senin (17/06).

Australien | Archivbild gelöschtes Feuer auf Ölplattform Timor Sea
Foto: picture-alliance/dpa

Para petani ini menuntut ganti rugi  sebesar 137 juta dolar AS atau Rp 2 triliun. Mereka mengklaim kehilangan mata pencarian akibat limpahan minyak dari kilang Montara yang masuk ke Laut Timor. Minyak tersebut sampai ke Laut Timor hanya 74 hari setelah terjadi ledakan di kilang Montara pada Agustus 2009.

"Sudah 10 tahun berselang sejak bencana lingkungan ini dan perusahaan minyak yang bertanggung jawab dan induknya yang kaya di Thailand terus menyangkal dampak buruk yang dimuntahkan minyak mereka terhadap para petani rumput laut di Indonesia," ujar Ben Slade, seorang pengacara dari firma hukum Maurice Blackburn yang menangani kasus tersebut dalam sebuah pernyataan, Senin.

Anjungan Montara ini terletak sekitar 250 km arah Barat Daya dari Pantai Australia Barat dan sekitar 700 km dari Darwin. Sementara jarak ke Pulau Rote adalah sekitar 250 km dari lokasi anjungan.

Karena tumpahan minyak ini, menurut pihak penggugat, sekitar 90 ribu kilometer laut tercemar dan rumput laut yang dikelola petani mati atau rusak dan menyebabkan para petani di Pulau Rote kehilangan pendapatan.

Lebih dari 30 orang saksi dari Indonesia termasuk para petani rumput laut, ahli kimia lingkungan ahli terkait tumpahan minyak akan memberikan bukti dan kesaksian dalam 10 kali persidangan di Sidney, Australia.

Daniel Sanda salah satu petani di Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur yang sebelumnya menggantungkan mata pencahariannya pada rumput laut di kawasan tersebut mengatakan rumput laut milik petani setempat mati karena pencemaran minyak dari kilang Montara.

Ketika terjadi kebocoran ribuan barrel minyak, pihak petani di Pulau Rote mengaku kebocoran bergerak ke arah mereka dan akhirnya mencemari laut di sekitar tempat mereka mengambil rumput laut.

Pemerintah pernah gugat

Bulan Mei 2017 lalu pemerintah Indonesia pun pernah mengajukan gugatan hukum kepada PTT EP atas kasus ini melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini diajukan karena PTT EP dinilai tidak menunjukan niat baik untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Para pihak yang digugat adalah PTT EP Australasia di Australia, PTTEP dan The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT PCL) di Thailand.

Dalam gugatan tersebut, pemerintah mengajukan tuntutan sebesar Rp 27,4 triliun yang terdiri dari dua komponen. Pertama, komponen ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 23 triliun dan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp 4,4 triliun.

Akibat tumpahan minyak itu, pemerintah mengklaim adanya kerusakan hutan bakau seluas 1.200 hektare, kerusakan padang lamun seluas 1.400 ha dan terumbu karang seluas 700 ha.

PTTEP Australia menolak berkomentar mengingat kasus ini masih berjalan di pengadilan. Namun ketika kali pertama gugatan bersama ini diumumkan tahun 2016, PTTEP mengatakan pihaknya bertanggung jawab atas ledakan di anjungan. Namun mereka menyangkal telah merugikan petani karena mereka mengklaim bahwa berdasarkan citra satelit dan survei udara tidak ada tumpahan minyak yang mencapai garis pantai Indonesia.

ae/hp (Reuters, ABC, katadata)