1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tuntutan Hukuman Mati Tribunal Guantanamo

12 Februari 2008

Guantanamo ibaratnya pernyataan bangkrut dari sistem kehakiman di Amerika Serikat.

Sel tahanan di markas militer GuantanamoFoto: AP

Tuntutan hukuman mati dari Tribunal Guantanamo terhadap enam tahanan tersangka dalang serangan terror 11 September 2001 ditanggapi sejumlah harian internasional. Harian Inggris Financial Times yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar :

Keputusan pemerintah Amerika Serikat, untuk mengajukan keenam tersangka ke sebuah pengadilan khusus, terlihat sebagai sebuah pembukaan proses yang telah gagal sejak awal dan bercitra buruk. Seharusnya para tersangka mendapat proses yang adil di pengadilan federal Amerika Serikat. Upaya ngotot dari pemerintahan George W.Bush untuk menciptakan sistem hukum khusus, yang menjauhkan tersangka teroris asing dari jangkauan undang-undang yang berlaku, bukan hanya sebuah kejahatan moral. Melainkan juga proklamasi kebangkrutan sistem hukum Amerika Serikat dan gol bunuh diri bagi politik. Seharusnya Guantanamo sudah ditutup sejak lama.

Sementara harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar :

Guantanamo bukan instansi yang dapat dibanggakan oleh Amerika Serikat. Pengumuman proses pengadilan pertama yang memerlukan waktu enam tahun, terlalu lama bagi proses hukum yang biasanya amat cepat di AS. Tapi, Guantanamo secara teknis memang tidak termasuk administrasi AS, karena terletak di kawasan kedaulatan Kuba. Juga secara moral baik bagi hukum Amerika Serikat maupun bagi hukum internasional merupakan makhluk asing. Bersama dengan penjara Abu Ghraib di Bagdad, kekejaman di Guantanamo merupakan kekalahan lebih besar bagi AS, dibanding serangan teror terhadap serdadunya di medan perang.

Sementara harian Spanyol ABC yang terbit di Madrid berkomentar :

Pengadilan di Guantanamo lebih banyak unsur balas dendamnya ketimbang keadilan. Guantanamo adalah lubang hitam dalam sistem hukum AS. Di sana para tahanan disiksa dan dilakukan proses interogasi yang tidak manusiawi. Jika dalam kondisi seperti itu, sekarang enam tersangka dituntut hukuman mati, terdapat kesan pengadilan ini bukannya kemenangan hukum melainkan hanya tindakan balas dendam.

Tema lainnya yang juga disoroti harian-harian internasional adalah upaya serangan pembunuhan terhadap presiden Timor Timur, Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao.

Harian Italia Corriere dela Sera yang terbit di Milano dalam tajuknya berkomentar :

Timor Timur memasuki etape baru dari sejarah yang bergelimang darah. Presiden Ramos Horta dalam kondisi koma di rumah sakit Australia. Sementara PM Xanana Gusmao yang hanya cedera ringan di tangan, mengumumkan situasi darurat. Serangan terhadap pemenang hadian Nobel Perdamaian, Ramos Horta dan pejuang kemerdekaan Xanana Gusmao, merupakan pertanda awal dari akan munculnya kekerasan berdarah baru dari bekas jajahan Portugal itu. Kedaulatan yang didukung masyarakat internasional, ternyata tidak membawa perdamaian bagi Timor Timur.

Terakhir harian Norwegia Aftenposten yang terbit di Oslo berkomentar :

Sengketa mengenai haluan politik dan keresahan di kalangan militer, merupakan penyebab utama kerusuhan. Presiden Ramos Horta memiliki posisi penting bagi dialog dan rekonsiliasi di Timor Timur. Karena itu diharapkan kesehatan Horta akan segera pulih. Juga tindakan cepat Australia mengirimkan pasukan keamanan tambahan, harus mendapat pujian.(as)