1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Turki Harus Cari Solusi Masalah Kurdi

Christoph Hasselbach22 Juli 2015

Turki kini berada di persimpangan jalan politik. Pasca serangan teror di Suruc, pemerintah di Ankara belum mengubah politik Suriahnya. Tapi masalah terbesar Turki adalah konflik Kurdi di dalam negeri.

Türkei Suruc Bombenanschlag
Foto: picture-alliance/AA/E. Ozdemir

Pertanyaan yang merebak di Eropa saat ini, apakah terdapat kerjasama antara pemerintah Turki dengan Islamic State? Apakah sikap Ankara yang relatif longggar terhadap para "jihadis" akan berubah jika terbukti IS yang melancarkan serangan bunuh diri di Suruc, yang berarti ancaman teror nyata di wilayah kedaulatannya? Reporter DW Christoph Hasselbach mewawancarai pakar Turki dari Berlin, Dr.Günter Seufert terkait tema ini.

DW: Kaum Kurdi mengatakan pemerintah Turki, ikut bertanggung jawab atas serangan di Suruc, karena menuding Ankara mendukung Islamic State dalam perang melawan Kurdi. Apakah tudingan ini benar?

Günter Seufert: Sejauh ini tidak ada bukti konkrit bahwa Turki mendukung Islamic State. Tapi kita tahu,Turki secara resmi mendukung kelompok "jihadis" seperti Front Al-Nusra dan bersama Arab Saudi memberikan pelatihan dan senjata. Front Al-Nusra dan Islamic State dalam skala luas punya sikap ideologi yang sama.

Juga Turki menunjukkan perasaan cemas, ketika kelompok Kurdi Suriah bisa menggempur mundur Islamic State dari kota Tall Abyad hingga ke perbatasan Turki pada 17 Juni lalu, mereka takut kaum Kurdi di Suriah bisa memperluas kekuasaannya di Suriah yang dipandang sebagai ancaman bagi Turki.

Politik Turki semenjak pecahnya perang saudara di Suriah sangat dibebani rasa takut, bahwa kaum Kurdi di Suriah dapat mendirikan sebuah kawasan otonomi. Sebaliknya, ancaman yang datangnya dari Islamic State selalu diremehkan, pasalnya sasaran utama Turki adalah menggulingkan presiden Suriah Bashar al-Assad. Semua hal di luar target utama politik ini dianggap tidak penting.

DW: Bagaimana gambaran strategi jangka panjang Ankara di kawasan itu, dikaitkan dengan situasi di Suriah, Irak dan kaum Kurdi.

Günter Seufert: Strategie jangka panjang Turki di seluruh kawasan amat jelas, yakni mencegah terbentuknya wilayah otonomi Kurdi di dalam atau di luar wilayah kedulatan Turki. Kita mengamati, sebetulnya pemerintah Turki yang berperang melawan partai Kurdi PKK di dalam negeri sejak 30 tahun, seharusnya menggelar perundingan sebagai solusinya. Tapi politik ini akan gagal, karena Turki pada akhirnya tak akan mampu mencegah dinamika yang akan timbul dari pergerakan nasional kaum Kurdi itu.

DW: Jika terbukti bahwa Islamic State berada di balik serangan teror di wilayah kedaulatan Turki, apakah hal ini bisa mengubah strategi Ankara?

Günter Seufert: Ya! bisa saja. Tapi kita harus melihat fakta, bahwa ini bukan serangan teror pertama yang dilancarkan Islamic State di wilayah kedaulatan Turki. Dalam beberapa bulan terakhir audah dilancarkan tiga serangan teror lain, yang tidak diketahui publik Eropa. Pasca serangan pertama, Turki mulai mengubah haluan, bukan atas prakarsa sendiri, melainkan akibat tekanan Amerika Serikat.

Dalam beberapa pakan terakhir, Turki melakukan serangkaian penagkapan terlkait Islamic State. Tapi bukan terkait serangan, melainkan hanya penangkapan pendukung IS. Nmun ini hal baru. Polisi kini benar-benar melakukan tindakan terhadap IS. Militer juga membuat laporan mingguan, mengenai berapa orang yang ditangkap di kawasan perbatasan.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sudah sejak satu setengah tahun mendesak pemerintah di Ankara untuk melakukan tindakan terhadap para "jihadis" pelintas perbatasan dari Eropa atau dari wilayah lainnya. Baru sekarang Turki menanggapi tuntutan ini. Dan banyak orang meyakini, bahwa serangan bunuh diri di Suruc adalah aksi balas dendam Islamic State, untuk menentang politik baru Turki itu.

Günter Seufert pakar Turki di Berlin.Foto: picture-alliance/dpa/SWP

DW: Apakah Turki memandang ada ancaman destabilisasi lewat ideologi serupa yang dianut Islamic State?

Günter Seufert: Harus dipahami Turki bukanlah negara homogen. Oposisi sekuler sejak dua tahun terakhir, juga sudah mendesak dilakukannya reformasi politik Suriah. Juga di parlemen Turki terwakili partai politik legal pro-Kurdi. Juga sejak dua tahun terakhir ini, di Turki sudah dipandang normal, bahwa kaum remajanya ikut berperang pada berbagai front yang berbeda dalam perang suadara di Suriah. Kita lihat, campur tangan Turki dalam perang saudara di Suriah juga terus menurun.

Kini kesulitan utama buat Turki adalah, sejauh ini pemerintah di Ankara tidak mampu menuntaskan permasalahan Kurdi di dalam negeri. Turki hanya bisa lepas dari "tekanan" ini jika Ankara juga mengubah politik Kurdi-nya.

Dr. Günter Seufert pakar Turki pada Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik di Berlin.