Turki Ingin Pasukan Armenia Tinggalkan Tanah Azeri
13 Oktober 2020
Ankara mendukung Azerbaijan untuk merebut kembali "tanahnya sendiri" di Nagorno-Karabakh, kata menteri pertahanan Turki. Azerbaijan mendorong agar Turki diberi peran lebih besar dalam pembicaraan damai.
Iklan
Di tengah gencatan senjata yang gagal di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh, Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar kembali menyatakan dukungan Ankara kepada Azerbaijan "untuk mengambil kembali tanahnya sendiri". Akar menyampaikan hal tersebut selama melakukan panggilan telepon dengan Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoigu pada hari Senin (12/10).
Pejabat Turki itu juga mengatakan kepada Shoigu bahwa Armenia perlu mengakhiri serangannya dan "menarik diri dari tanah yang diduduki."
Wilayah Nagorno-Karabakh secara resmi merupakan bagian dari sekutu Turki, Azerbaijan, tetapi dihuni oleh orang Armenia dan dikendalikan oleh pemerintah yang didukung Armenia. Bentrokan terbaru antara pasukan Azerbaijan dan Armenia telah merenggut ratusan nyawa.
Kedua negara pecahan Soviet bertemu untuk bernegosiasi di Moskow pada Jumat (09/10) lalu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov sebagai mediator. Setelah 10 jam perundingan alot, kedua belah pihak menyetujui gencatan senjata sementara yang mulai berlaku pada hari Sabtu (10/10). Namun, baik Armenia maupun Azerbaijan sejak itu saling menuduh melancarkan serangan baru.
Pejabat Azeri juga menekankan gencatan senjata itu bersifat sementara dan bahwa mereka berencana untuk merebut lebih banyak wilayah.
Genosida Armenia 1915: Iblis dari Masa Lalu
Sekitar satu juta penduduk Armenia menemui ajal di tengah Perang Dunia I. Eropa menuding Turki melakukan genosida buat meredam pemberontakan, sementara Ankara menyebut tragedi tersebut sebagai deportasi
Foto: Reuters
Bertikai Demi Sejarah
Konflik seputar pembantaian Armenia oleh Kesultanan Usmaniyah adalah pertikaian memperebutkan hak buat menulis sejarah. Turki menolak istilah genosida. Sementara Eropa, Armenia dan sebagian negara bagian di Amerika Serikat menggunakan kata tersebut buat menggambarkan tragedi 100 tahun lalu. Selama pertikaian ini belum tuntas, maka tidak ada kejelasan buat keluarga korban.
Foto: Getty Images/D. McNew
Korban Perang
Turki selama ini berdalih "deportasi" yang melumat nyawa jutaan warga Armenia itu adalah langkah yang diperlukan demi memenangkan perang. Saat itu minoritas Armenia di Kesultanan Usmaniyah lebih mendukung Rusia. Sebagian dikabarkan dipersenjatai dan memberontak terhadap Istanbul. Menurut berbagai sumber eskalasi konflik berujung pada pembantaian dan pemerkosaan masal.
Foto: picture-alliance/dpa/Library of Congress
Berdalih Tanpa Henti
Turki berupaya mencari pembenaran atas pembantaian pada April 1915 dengan menekankan "pengkhianatan" yang dilakukan sebagian warga Armenia. Uniknya, bapak pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, mengecam pembantaian tersebut sebagai "aib" bagi bangsa Turki.
Foto: picture-alliance/AP Images
Titah Sang Menteri
Genosida di Turki berawal dari perintah Mehmet Talaat, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Usmaniyah. Catatan sejarah Barat melaporkan, pada 27 Mai 1915 Talaat memerintahkan semua warga Armenia yang berada di wilayah perang agar dideportasi ke Suriah dan Mosul. Pengusiran besar-besaran ini dilakukan lima hari kemudian, diselingi dengan pembantaian dan pemerkosaan masal.
Foto: Auswärtiges Amt
Kehilangan Harta Benda
Pengusiran masal terhadap minoritas Armenia juga menyisakan kerugian ekonomi. Harta dan tanah disita oleh kesultanan. Berbeda dengan kasus Holocaust pada Perang Dunia II, hingga kini pemerintah Turki bersikeras menolak membayar kerugian terhadap keluarga korban yang kehilangan harta bendanya.
Foto: Auswärtiges Amt
Dukungan dari Jerman
Menurut Duta Besar Jerman Hans von Wangenheim pada masa itu, Turki memanfaatkan dalih perang untuk "mengeliminasi musuh Kristen di dalam negeri." Jerman yang bersekutu dengan Turki mendukung genosida terhadap warga Armenia, karena "juga menjadi kepentingan Jerman, demi memperkuat sekutu kita, Turki," tulisnya. Tampak dalam gambar kaisar Wilhelm II di Kontantinopel pada deklarasi Perang Dunia I.
Foto: public domain
Pengakuan dari Dalam
Belakangan semakin banyak warga Turki yang mengakui pembantaian Armenia. Pemenang hadiah nobel sastra, Orhan Parmuk, adalah salah satunya. Namun akitivis, jurnalis dan sastrawan yang terlibat dalam gerakan kecil tersebut harus berhadapan dengan amarah kelompok ultra nasionalis.
Foto: Reuters
7 foto1 | 7
Tak ada ruang untuk Turki?
Di Moskow, kedua belah pihak sepakat bahwa pembicaraan tentang solusi yang lebih permanen akan dimediasi oleh Grup Minsk - Prancis, Rusia, dan AS - yang dibentuk oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE). OSCE juga melibatkan Turki dan beberapa kekuatan regional lainnya sebagai anggota. Badan tersebut dibentuk pada tahun 1992, tetapi sejauh ini gagal mencapai perubahan substansial dalam konflik Nagorno-Karabakh.
Iklan
Azerbaijan menyarankan agar Turki diberi peran yang lebih besar dalam pembicaraan damai.
Ketika ditanya tentang saran itu pada hari Senin (12/10), Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan bahwa tidak ada perubahan yang dipertimbangkan dalam format pembicaraan.
"Pernyataan bersama di Moskow menegaskan keabadian proses negosiasi, format pembicaraan," katanya seperti dikutip oleh kantor berita Azerbaijan Salam.
Ankara sebelumnya memuji kesepakatan Moskow sebagai "langkah pertama yang penting" tetapi mengingatkan bahwa kesepakatan itu tidak akan menggantikan perjanjian perdamaian permanen.
Selama panggilan telepon antara Akar dan Shogu pada hari Senin (12/10), Akar memperingatkan bahwa "Azerbaijan tidak akan menunggu 30 tahun lagi untuk mendapatkan solusi."