1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

Turki Keluarkan UU untuk Mengatur Konten Media Sosial

29 Juli 2020

Parlemen Turki menyetujui undang-undang yang mengatur monitoring konten media sosial pada hari Rabu (29/07). Para kritikus menilai, ini akan meningkatkan sensor dan membantu pihak berwenang membungkam perbedaan pendapat.

Türkei Präsident Erdogan | Social Media
Foto: picture-alliance/AA/Turkish Presidency

Partai AK di bawah kuasa Presiden Tayyip Erdogan, yang memiliki suara mayoritas di parlemen menyetujui undang-undang yang mengatur monitoring lebih ketat konten media sosial. Undang-undang baru tersebut disetujui pada hari Rabu (29/07) yang kemudian diumumkan oleh parlemen di Twitter. Dengan itu, otoritas pemerintah Turki punya kekuasaan lebih luas untuk mengontrol konten di media sosial.

Undang-undang tersebut mewajibkan situs media sosial asing menunjuk perwakilan yang berbasis di Turki untuk mengatasi kekhawatiran pihak berwenang atas konten dan memasukkan tenggat waktu untuk menghapus materi yang mereka ambil.

Di bawah peraturan baru, perusahaan media sosial berpotensi dijatuhi denda, pemblokiran iklan atau bandwidth yang terpotong hingga 90%, hingga pemblokiran akses.

Membungkam suara kritis di media sosial

Karena sebagian besar media utama Turki berada di bawah kendali pemerintah selama beberapa dekade terakhir, sejumlah warga beralih ke media sosial dan portal berita online untuk mendapatkan berita independen.

Menjelang pengesahan RUU, juru bicara Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia AS mengatakan undang-undang itu "akan menjadi alat yang ampuh bagi negara untuk memiliki kontrol lebih besar terhadap lanskap media".

Juru bicara kepresidenan Ibrahim Kalin mengatakan, RUU itu tidak akan mengarah pada sensor tetapi akan menjalin hubungan komersial dan hukum dengan platform media sosial.

Sebelumnya, Erdogan telah berulang kali mengkritik media sosial dan mengatakan adanya peningkatan "tindakan tidak bermoral" di jagat online dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan kurangnya peraturan.

ha/as (Reuters)