1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Turki: Kunci Eropa Atasi Krisis Pengungsi

7 Maret 2016

Bisakah Merkel membujuk negara-negara Uni Eropa temukan langkah bersama menyelesaikan krisis pengungsi? Apa yang dapat Turki lakukan? Koresponden DW Barbara Wesel merangkum tantangan KTT Uni Eropa-Turki di Brüssel.

Foto: DW/N. Rujević

Dalam mengatasi gelombang pengungsi, Kanselir Jerman Angela Merkel tak perlu mengubah arah politik "pintu terbuka" atau berbuat sesuatu. Negara-negara anggota Uni Eropa lainnya sudah melakukan gerakan terkait kebijakannya. Sejak rute pengungsi lewat Balkan ditutup, pengungsi yang tiba di Jerman kini lebih sedikit , sehingga meredam tekanan politik dalam negeri terhadap Merkel.

Namun, Merkel masih melihat ancaman bahaya bagi politik Uni Eropa dan terus mencari solusi bersama. Kapasitas Eropa untuk bertindak mengatasi krisis pengungsi dan keamanan zona Schengen, penting baginya. Inilah mengapa dia mendukung inisiatif Komisi Eropa untuk menutup perbatasan terluar Uni Eropa hingga akhir tahun ini. Sehingga masing-masing anggota Uni Eropa tidak perlu melakukan pembatasan sementara secara sendiri-sendiri.

Negara-negara Balkan pada hari Senin (07/03) kembali menutup rute Balkan yang digunakan oleh sebagian besar migran untuk mencapai Eropa, demikian dikatakan para diplomat. Deklarasi yang disusun oleh duta besar Uni Eropa Minggu akan diumumkan pada pertemuan puncak di Brussels pada hari Senin (07/03) ini yang juga dihadiri oleh Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu. 28 pemimpin blok itu akan meminta pemerintah Davutoglu untuk menerima "skala besar" deportasi migran dari Yunani, titik masuk utama ke Eropa, dan berbuat lebih banyak untuk menerapkan kesepakatan November dalam memperlambat aliran pengungsi.

Turki kini pemeran kunci

Berbicara kepada pers menjelang KTT di Brüssel, Komisaris Uni Eropa untuk urusan imigrasi, Dimitris Avramopoulos mengatakan, kerja sama dengan Turki adalah tema kunci – sebuah kalimat yang bisa menjadi moto untuk pertemuan kali ini. Pertanyaannya adalah apakah Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu bersedia memenuhi keinginan Eropa, meliputi diperketatnya penjagaan bagi arus pengungsi di perbatasan-perbatasan Turki dan mengambil tindakan terhadap penyelundupan manusia.

Uni Eropa melihat pertanda baik, bahwa Turki ---untuk pertama kalinya—menerima beberapa ratus migran yang dipulangkan dari Yunani. Eropa sudah menjanjikan kompensasi sebesar 3 miliar Euro pada pemerintah di Ankara. Namun Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, mengejek angka janji bantuan Uni Eropa ini, yang disebutnya terlalu rendah. Seperti diketahui Erdogan jauh lebi berkuasa dibanding Davutoglu dalam menentukan kebijakan politik.

Negosiasi Uni Eropa juga bergerak maju dan Presiden Turki diundang untuk KTT Uni Eropa. Akhirnya, Turki menyorongkan tuntutannnya yang paling penting, yakni pengajuan bebas visa perjalanan ke Eropa, secepatnya pada awal Oktober ini.

Kesepakatan itu akan menjadi ujian bagi Uni Eropa. Secara politik, sulit untuk menerima politik perang Turki terhadap kaum Kurdi dan peran ambivalennya dalam perang di Suriah. JUga akan sulit menjajarkan demokrasi Eropa dengan tindakan represif Erdogan terhadap pers yang kritis.

Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz telah mengatakan penutupan media anti-pemerintah menunjukkan bahwa "Turki mempertaruhkan kesempatan bersejarah bagi proses pemulihan hubungan dengan Eropa." Schultz menyebutkan, tetap "tak ada diskon" bagi Turki ketika masuk dalam isu yang berkaitan dengan nilia-nilai dasar dan universal.

Namun, perwakilan dari Ankara senang hati dapat menunjukkan bahwa negara mereka memiliki peran penting dalam solusi krisis di Eropa. Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Duta Besar Uni Turki untuk Eropa, Selim Yenel kembali mengutip pernyataan Erdogan, bahwa arus migran bisa digerakkan lagi setiap saat, jika Uni Eropa tidak memenuhi semua tuntutan Turki. Dengan sinyal-sinyal yang dilontarkan Turki, harapan kerjasama dalam kebijakan pengungsi terlihat masih dipertanyakan, bahkan sebelum pertemuan penting di Brussel ini dimulai.

Merkel cemas akan destabilisasi Yunani

Sementara itu sikap kanselir Jerman, Merkel terhadap Yunani terlihat ambivalen, ketat dan longgar. Di satu sisi, Merkel mengkritik kesemrawutan di negara itu dalam menangani pengungsi dan keterlambatannya dalam membangun akomodasi pengungsi. Di sisi lain, dia menyerukan solidaritas dengan pemerintahan di Athena dan menjanjikan dukungan Uni Eropa. Komisi Uni Eropa telah menganggarkan dana sebesar 700 juta Euro untuk bantuan darurat. Merkel mengkhawatirkan akan terjadinya destabilisasi ekonomi kembali di Yunani.

Namun, tidak seperti dengan Hungaria tahun lalu, Merkel menolak untuk menerima pengungsi yang saat ini terdampar di perbatasan Yunani-Makedonia. Pemerintah Jerman mengatakan, tujuan utama Berlin adalah menghentikan arus pengungsi yang ingin masuk ke Jerman melalu rute utara.

Merkel juga menuduh Austria dan negara-negara Balkan memperuncing krisis dengan menutup perbatasan mereka sendiri-sendiri, dan bersama-sama bertanggung jawab atas kekacauan di Yunani. Kritik ini cukup keras dilontarkan, meskipun faktanya, hingga tahun lalu Austria masih dianggap sebagai salah satu sekutu dekat Merkel.

ap/as(Barbara Wesel/dpa/rtr/afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait