Di Turki, Jadi Gay Bisa Membuat Anda Kehilangan Pekerjaan
Burcu Karakas
19 Maret 2019
Seorang polisi Turki yang terindentifikasi sebagai homoseksual diskors dari tugasnya di kota Van. Sebelumnya ia telah bekerja selama lebih dari 10 tahun di sana. DW merinci mimpi buruknya.
Iklan
Metin* polisi Turki berusia 38 tahun di kawasan timur Anatolia dijatuhi hukuman skors dari tempatnya bekerja karena ia seorang gay. Ia bertutur, tidak percaya apa yang menimpanya.
"Ketika mereka mengetahuinya, saya sudah menduga, ini akan mengancam pekerjaan saya”, kenang Metin. Dia menambahkan, ia bingung dan tidak tahu yang harus dilakukan. Terutama ia khawatir apa yang dipikirkan para seniornya tentang hal ini. Ia khawatir akan dipermalukan.
Semua bermula ketika Metin, yang gaya hidupnya bisa dibilang konservatif, dipenjara karena alasan "kekerasan seksual”. Dia pun diskors dari pekerjaannya karena ketahuan berhubungan dengan seorang lelaki, yang ia temui dua tahun lalu di kota Van. Baik keluarga maupun teman-temannya tidak tahu soal orientasi seksual Metin.
Inilah Negara Islam yang Legalkan Gay dan Lesbian
Kendati legal, kaum gay dan lesbian di negara-negara ini tidak serta merta bebas dari diskriminasi. Tapi inilah negara-negara Islam yang mengakui hak-hak kaum gay dan lesbian.
Foto: picture-alliance/dpa
1. Turki
Sejak kekhalifahan Utsmaniyah melegalkan hubungan sesama jenis tahun 1858, Turki hingga kini masih mengakui hak kaum gay, lesbian atau bahkan transgender. Namun begitu praktik diskriminasi oleh masyarakat dan pemerintah masih marak terjadi lantaran minimnya perlindungan oleh konstitusi. Namun begitu partai-partai politik Turki secara umum sepakat melindungi hak kaum LGBT dari diskriminasi.
Foto: picture-alliance/abaca/H. O. Sandal
2. Mali
Mali termasuk segelintir negara Afrika yang melegalkan LGBT. Pasalnya konstitusi negeri di barat Afrika ini tidak secara eksplisit melarang aktivitas homoseksual, melainkan "aktivitas seks di depan umum". Namun begitu hampir 90% penduduk setempat meyakini gay dan lesbian adalah gaya hidup yang harus diperangi. Sebab itu banyak praktik diskriminasi yang dialami kaum LGBT di Mali.
Foto: Getty Images/AFP/J. Saget
3. Yordania
Konstitusi Yordania tergolong yang paling maju dalam mengakomodir hak-hak LGBT. Sejak hubungan sesama jenis dilegalkan tahun 1951, pemerintah juga telah menelurkan undang-undang yang melarang pembunuhan demi kehormatan terhadap kaum gay, lesbian atau transgender. Pemerintah misalnya mentolelir munculnya cafe dan tempat hiburan di Amman yang dikelola oleh kaum LGBT.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit tidak melarang aktivitas seksual sesama jenis. Indonesia juga tercatat memiliki organisasi LGBT tertua di Asia, yakni Lambda Indonesia yang aktif sejak dekade 1980an. Kendati menghadapi diskriminasi, presekusi dan tanpa perlindungan konstitusi, kaum gay dan lesbian Indonesia belakangan tampil semakin percaya diri buat memperjuangkan hak mereka.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/A. Rudianto
5. Albania
Kendati bermayoritaskan muslim, Albania dianggap sebagai pionir di tenggara Eropa dalam mengakui hak-hak kaum LGBT. Negeri miskin di Balkan ini juga telah memiliki sederet undang-undang yang melindungi gay dan lesbian dari praktik diskriminasi.
Foto: SWR/DW
6. Bahrain
Negara pulau di tepi Teluk Persia ini telah melegalkan hubungan sesama jenis sejak tahun 1976. Namun begitu Bahrain tetap melarang lintas busana di ruang-ruang publik. Terutama sejak 2008 pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggaran aturan berbusana. Bahrain juga berulangkali dilaporkan mendakwa warga asing yang menawarkan layanan seksual sesama jenis di wilayahnya.
Foto: Getty Images
7. Palestina (Tepi Barat)
Resminya praktik hubungan sesama jenis masih dilarang di Jalur Gaza. Tapi tidak demikian halnya dengan Tepi Barat Yordan sejak dilegalkan tahun 1951. Ironisnya aturan yang melarang LGBT di Jalur Gaza tidak berasal dari pemerintahan Hamas, melainkan dari Inggris sejak zaman penjajahan.
Foto: Shadi Hatem
7 foto1 | 7
Seketika, semuanya menjadi buruk
Suatu hari, ketika Metin dan partnernya sedang minum teh di kantin kantor polisi, ia tiba-tiba dipanggil. Ketika ia kembali partnernya sudah menghilang. Ternyata partnernya ditangkap petugas kepolisian untuk diinterogasi. Metin mengungkap, saat itu partnernya panik dan terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa ia juga bekerja sebagai polisi. Setelah diteliti, pihak kepolisian mengungkap kebohongannya dan memenjarakan partner Metin dengan alasan menyamar sebagai pelayan publik.
Ketika diinterogasi ia mengatakan bahwa Metin memaksanya berhubungan sexual, dan ia kini menuntut Metin. Metin kemudian ditangkap karena telah melakukan tindakan "kekerasan seksual" terhadap partnernya. Meski akhirnya sang partner menarik pengaduannya, Metin tetap mendekam di penjara selama delapan hari. Akhirnya Metin tidak jadi diadili karena kurangnya bukti.
Dijauhi rekan kerja
Metin akhirnya dipindahkan ke Zonguldak di pantai Laut Hitam pada musim panas 2017. Rekan-rekan kerjanya di Van tidak ada yang mengucapkan selamat tinggal, kata Metin.
Tapi penderitaan Metin belum selesai. November 2018, komite disiplin kepolisian mengeluarkan aturan, "seorang pelayan publik dapat diskors jika memiliki hubungan yang tidak lazim dengan orang lain”. Ini juga berarti seseorang yang memiliki anak di luar pernikahan tidak dapat bekerja sebagai pelayan publik. Matin pun diskors dari pekerjannya.
Metin tidak percaya keputusan ini. "Ini soal kehidupan pribadi saya; saya selalu bekerja secara profesional dan tidak pernah ada keluhan atas pekerjaan saya”, ujarnya. Situasi ini sangat memukulnya; "jika saya tidak boleh melakukan yang saya inginkan, mengapa saya hidup?”
Turki: Antara Kudeta Gagal dan Aksi Dukung Erdogan
Setahun setelah percobaan kudeta yang gagal di Turki, Presiden Erdogan dan pendukungnya gelar rapat akbar di Ankara demonstrasikan persatuan. Tapi tidak semua warga Turki mendukung acara tersebut.
Foto: DW/D. Cupolo
Kudeta Gagal dan Demonstrasi Kekuasaan
Kudeta gagal di Turki tahun 2016 sebabkan 250 orang tewas. Acara peringatan setahun sukses tumpas kudeta di Ankara dan Istanbul jadi demonstrasi bagi haluan masa depan negara Turki. Para pendukung presiden Erdogan berkumpul mendengarkan pidato di depan gedung Parlemen.
Foto: DW/D. Cupolo
Berbeda Pandangan
Banyak warga yang terlibat langsung melawan kudeta, untuk mendukung pemerintah yang terpilih secara demokratis, juga hadir dalam rapat akbar itu. Tapi tidak semuanya mendukung demokrasi. Seperti grup "serigala abu-abu" nama julukan partai gerakan nasionlistis ini, demonstrasikan salam partai ekstrim kanan Turki.
Foto: DW/D. Cupolo
Rela Mati demi Erdogan
Sureyya Kalayci (ki) dan putranya Sohn Ahmet (ka), menjadi aktivis yang memblokir jalanan di Ankara untuk menghentikan upaya kudeta militer setahun lalu. Saat peringatan setahun suskes tumpas kudeta, Kalayci memakai baju yang ia tulisi sendiri nyatakan kesetiaan pada Erdogan. "Cukup telefon saya, dan perintakan saya untuk mati, sayapun siap mati"
Foto: DW/Diego Cupolo
Pengawas Demokrasi
Plakat di sebuah gedung di Ankara ini bertuliskan: Kami terus memonitor demokrasi". Inilah dukungan bagi "demokrasi" pasca percobaan kudeta setahun silam. Sebagian penduklung Erdogan meyakini, bahwa pendukung imam Fetullah Gülen masih ada di dalam institusi pemerintahan, dan terus menyiapkan kudeta berikutnya.
Foto: DW/D. Cupolo
Percaya Kekuatan Nasional
Seorang demonstran mengatakan tertembak kakinya saat usaha kudeta yang gagal, dan menggeletak setahun di rumah sakit. Kini dia hadir dalam rapat akbar di Ankara, dan menyatakan siap membela negara. Ia menyebutkan, pengkhianat berusaha mempengaruhi militer lakukan kudeta. Tapi efeknya negara kini semakin kuat.
Foto: DW/D. Cupolo
Dukung Aksi Pembersihan
Demonstran yang membawa anak ini memakai ikat kepala bertuliskan "syuhada tak pernah mati. Tanah air tidak bisa dibagi". Banyak demonstran mendukung aksi pembersihan terhadap kelomopk anti Erdogan. Sejauh ini lebih 150.000 pegawai negeri dipecat dan lebih 50.000 orang ditahan di penjara. Demonstran ini menyebutkan, warga yang tidak bersalah tidak perlu takut.
Foto: DW/D. Cupolo
Demo Tandingan Pengritik Status Quo
Para pengritik situasi darurat dan represi terhadap tersangka lawan politik pemerintah gelar demo tandingan. Peserta aksi menentang kewenangan besar bagi tentara untuk melakukan tindakan apapun. Jika ada referendum, para penentang status quo akan memilih menolak dituasi darurat.
Foto: DW/D. Cupolo
Banyak Hak Sipil Dilenyapkan
Aktivis hak asasi manusia Seyma Urper menegaskan, banyak yang tidak ingin mendukung rapat akgar pendukung Erdogan. Pasca usaha kudeta, banyak pegawai negeri dipecat, dan walikota di Sirnak diganti oleh politisi pro AKP. Rakyat kehilangan banyak hak sipil. Banyak yang makin sulit menjalankan profesinya.
Foto: DW/D. Cupolo
Rindukan Kejayaan Usmaniyah
Dampak dari represi, menyebabkan Erdogan dipandang banyak pendukungnya sebagai penguasa tunggal di Turki. Ia dianggap sebagai tokoh yang bisa mengembalikan kejayaan Turki seperti di masa kekaisaran Usmaniyah yang runtuh 100 tahun lalu. Hal ini terlihat dari banner yang dibawa dengan tulisan :"Kami cucu Usmaniyah. Recep Tayyip Erdogan."
Foto: DW/D. Cupolo
Semua Mengharap Erdogan Terpilih Kembali?
Demostran pendukung Erdogan mengusung bendera bertuliskan. "Tetap kuat, rakyat mendukungmu". Tapi banyak yang diam-diam mengharapkan hal sebaliknya. Seorang sopir taksi mengatakan, jika Erdogan terpilih kembali 2019, Turki akan jadi ngara Syariah. Bagi pria ini bukan masalah, tapi bagi perempuan akan jadi masalah berat. Penulis:Diego Cupolo (as/ap)
Foto: DW/D. Cupolo
10 foto1 | 10
Metin mengambil tindakan
Metin ingin kasusnya dibawa ke pengadilan. Pengacaranya, Firat Soyle berpendapat bahwa skors yang diberikan kepada kliennya tidak sesuai dengan aturan hukum. Ia menambahkan pengadilan konstitusi Turki menekankan prinsip privasi, "memperbolehkan seseorang untuk menjalani hidup berdasarkan pilihan dan keinginan pribadi”. Soyle mengungkap dari pernyataan tersebut, kehidupan pribadi seseorang harus dilindungi dari campur tangan pihak luar, termasuk orientasi seksual seseorang.
Universitas Kadir Has di Istanbul dan Kaos Gay and Lesbian Cultural Research and Solidarity Association (Kaos GL) menerbitkan studi tentang kaum LGBTQI yang bekerja untuk instansi pemerintahan Turki. Hasilnya, pegawai negeri dari kaum LGBTQI merasa semakin tertekan dengan suasana kerja yang makin sulit, sejak gagalnya kudeta 2016. Hukum yang baru bahkan memperbolehkan diberhentikerjakannya kaum LGBTQI yang bekerja bagi institusi peradilan.
Turki harus menghargai hukum internasional
Mustafa Sarıyılmaz, ahli bidang kebijakan sosial di The Association for Gender Identity and Sexual Orientation Research (SpoD) Istanbul menegaskan bahwa seseorang yang hidup di negara demokrasi tidak boleh mengalami diskriminasi karena pilihan orientasi seksual dan identitas gendernya.
Hingga kini, Metin belum memiliki pekerjaan, walaupun telah banyak mengirimkan lamaran kerja. Dia hanya berharap, dapat kembali bekerja sebagai polisi. (ga/ml)