Turki: Swedia dan Finlandia Tidak Memenuhi Kesepakatan NATO
28 Juli 2022
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengecam Finlandia dan Swedia karena mengizinkan "propaganda teror" saat kedua negara menunggu izin Ankara untuk bergabung dengan NATO.
Iklan
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Rabu (27/07), bahwa Swedia belum mengekstradisi tersangka yang dicari Turki atas tuduhan terkait terorisme.
"Mereka harus memenuhi tanggung jawab mereka, atau kami akan memblokir tawaran NATO mereka," kata Cavusoglu, menurut penyiar negara TRT World. Cavusoglu juga mengklaim "propaganda teror di Swedia dan Finlandia terus berlanjut."
Swedia dan Finlandia mengajukan keanggotaan NATO sebagai tanggapan atas invasi Rusia ke Ukraina, tetapi menghadapi tentangan dari Turki atas klaim bahwa negara-negara Skandinavia mendukung "terorisme." Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuduh mereka sebagai surga bagi militan Kurdi.
Ankara mencabut keberatannya pada Juni lalu setelah negara-negara Nordik menyepakati "permintaan deportasi atau ekstradisi yang tertunda dari Turki terhadap tersangka teror secepatnya." Pada Rabu (27/07), Cavusolgu mengatakan kesepakatan itu saat ini sedang diproses oleh kementeriannya.
"Jika kewajiban dipenuhi, kesepakatan itu akan dikirim ke presiden dan dilanjutkan ke parlemen. Tentu saja, parlemen akan memutuskan, tetapi tidak bisa dikirim sekarang," katanya seperti dikutip oleh Harian Sabbah yang pro-pemerintah.
Tuntutan Turki
Presiden Turki Erdogan mengatakan Swedia telah berjanji untuk mengekstradisi 73 "teroris" yang dicari oleh otoritas Turki sebagai bagian dari perjanjian. Pekan lalu, Erdogan mengatakan jika negara-negara Nordik mundur dari kesepakatan itu, parlemen Turki akan tetap dalam posisi untuk tidak meratifikasi kesepakatan tersebut.
Siapakah Recep Tayyip Erdogan?
Dari aktivis menjadi presiden, karir politik Recep Tayyip Erdogan menanjak pesat. Namun ia juga menjadi sosok yang kontroversial. DW melihat lebih dekat jalan Erdogan menuju tampuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Bangkitnya Turki di bawah Erdogan
Di Turki dan di luar negeri, sosok Recep Tayyip Erdogan menimbulkan efek berlawanan. Ada yang menggambarkannya sebagai "sultan" Ottoman baru dan ada juga yang menganggapnya pemimpin yang otoriter. DW mengeksplorasi bangkitnya pemimpin Turki ini dari masa awal berkampanye untuk urusan Islamis hingga menjadi presiden di negara yang memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Walikota Istanbul yang pernah dipenjara
Setelah bertahun-tahun bergerak di jajaran Partai Kesejahteraan yang berakar Islamis, Erdogan terpilih sebagai walikota Istanbul pada 1994. Namun empat tahun kemudian, partai itu dinyatakan inkonstitusional karena mengancam sistem pemerintahan sekuler Turki dan dibubarkan. Ia kemudian dipenjara empat bulan karena pembacaan puisi kontroversial di depan umum dan akibatnya ia kehilangan jabatannya.
Erdogan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang memenangkan mayoritas kursi pada tahun 2002. Dia diangkat menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Di tahun-tahun pertamanya, Erdogan bekerja untuk menyediakan layanan sosial, meningkatkan ekonomi dan menerapkan reformasi demokratis. Beberapa orang berpendapat bahwa Erdogan mengubah haluan pemerintahan Turki menjadi lebih religius.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Ozbilici
Ingin generasi yang saleh
Meskipun konstitusi Turki menjamin sistem sekluarisme, pengamat yakin bahwa Erdogan telah berhasil membersihkan sistem sekuler di sana. Pemimpin Turki ini mengatakan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk membangkitkan "generasi yang saleh." Pendukung Erdogan memuji inisiatifnya dengan alasan bahwa tahun-tahun diskriminasi terhadap Muslim yang religius akhirnya bisa berakhir.
Foto: picture-alliance/AA/C. Ozdel
Berhasil lolos dari usaha kudeta
Pada Juli 2016, kudeta militer gagal yang menargetkan Erdogan dan pemerintahannya menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk warga sipil dan tentara. Setelah upaya kudeta, Erdogan mengumumkan keadaan darurat dan bersumpah untuk "membersihkan" militer. "Di Turki, angkatan bersenjata tidak mengatur negara atau memimpin negara. Mereka tidak bisa," katanya.
Foto: picture-alliance/AA/K. Ozer
Penumpasan oposisi
Sejak kudeta gagal, pihak berwenang menangkap lebih dari 50.000 orang di angkatan bersenjata, kepolisian, pengadilan, sekolah dan media. Erdogan menuduh Fethullah Gulen (seorang ulama yang diasingkan di AS dan mantan sekutu Erdogan) dan para pendukungnya telah mencoba merusak pemerintahan. Namun organisasi HAM meyakini tuduhan itu merupakan sarana untuk memperkuat kekuasaan dan pengaruhnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Gurel
Didukung dan dikritik
Meskipun Erdogan menikmati dukungan signifikan di Turki dan komunitas diaspora Turki, dia dikritik karena kebijakannya yang keras dan aksi-aksi terhadap militan Kurdi setelah runtuhnya proses perdamaian pada 2015. Januari 2018, Erdogan meluncurkan serangan mematikan ke utara Suriah (Afrin), sebuah operasi yang secara luas dikecam oleh organisasi HAM.
Foto: picture- alliance/ZUMAPRESS/Brais G. Rouco
Era baru?
Menjabat sebagai presiden Turki sejak 2014, Erdogan ingin memperpanjang jabatannya. Pemilu bulan Juni akan menandai transisi Turki menjadi negara presidensial bergaya eksekutif. Namun disinyalir, lanskap media Turki didominasi oleh kelompok yang punya hubungan dengan Partai AKP yang berkuasa. Para pengamat percaya, pemilu ini menandai era baru bagi Turki - belum jelas, era baik atau buruk.(na/hp)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Bozoglu
8 foto1 | 8
Swedia dan Finlandia: Proses hukum akan dilakukan
Sebelumnya, Menteri Kehakiman Swedia Morgan Johannsson mengatakan bahwa negara itu akan mengikuti hukum internasional dan lokal dalam mengevaluasi permintaan ekstradisi dan tidak akan mengekstradisi warga negara Swedia.
Presiden Finlandia Sauli Niinisto menekankan bahwa Helsinki juga akan dipandu oleh aturan hukum dalam hal ekstradisi.