1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IklimTuvalu

Tuvalu Desak Aksi Iklim, Sebut "Waktu Tak Ada di Pihak Kami"

Kieran Burke | Leonie von Hammerstein
25 Mei 2023

Tuvalu, sebuah negara kepulauan kecil di Pasifik, sedang menghadapi bencana akibat naiknya permukaan laut. Kepada DW, perwakilannya menyebut Tuvalu bakal "tenggelam total" di abad ini.

Foto seorang warga Tuvalu tengah berada di laguna di Funafuti sambil menutupi wajahnya dengan air
Foto warga tengah berada di laguna di Funafuti, Tuvalu, foto diambil pada 28 November 2019Foto: Mario Tama/Getty Images

Tuvalu, negara dataran rendah di Kepulauan Pasifik, merupakan daerah yang paling rentan di dunia terkait dampak perubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut.

Delegasi senior yang dipimpin oleh utusan khusus Samuelu Laloniu mengunjungi Geneva, Copenhagen, Paris, dan Berlin untuk bertemu dengan para pejabat senior, perwakilan PBB, dan masyarakat sipil demi mendiskusikan kebutuhan mendesak soal aksi iklim.

Utusan utama itu menyebut rumahnya tengah menghadapi ancaman bakal hilang untuk selamanya.

"Kami berjibaku dengan pertanyaan soal kewarganegaraan, kedaulatan, risiko kehilangan kehidupan, hak-hak kami. Saya rasa orang-orang perlu untuk memahami aspek kemanusiaan, wajah manusia terhadap krisis iklim," kata Laloniu kepada wartawan DW, Leonie von Hammerstein.

Khawatir tenggelam dalam abad ini

Kepulauan Pasifik mengalami risiko yang signifikan dan cepat dalam perubahan iklim. Menurut data dari Survei Geologi Amerika Serikat, banyak pulau di Pasifik yang memilki ketinggian maksimal pada 3-5 meter.

Penilaian Iklim Nasional AS pada tahun 2012 memberikan skenario kenaikan permukaan air laut di dunia berkisar antara 0,2 meter hingga 2 meter di tahun 2100 mendatang, membuat pulau kecil seperti Tuvalu dalam bahaya.

"Sebagai negara atol, waktu tak memihak kepada kami. Genangan total terjadi dalam abad ini. Dan jika kita serius dengan kenaikan permukaan air laut, kita harus mengatasi masalah ini dari sumbernya," kata Laloniu, sambil menekankan, "bahan bakar fosil merupakan sumber terbesar dari krisis iklim dan kenaikan permukaan air laut."

Laloniu menyatakan salah satu konsekuensi nyata dari ancaman yang dihadapi penduduk kepulauan adalah mereka memutuskan untuk meninggalkan pulau.

"Orang-orang bermigrasi. Itu merupakan keputusan pribadi, hal itu bukan kebijakan pemerintah untuk melakukan relokasi. Hanya saja, tentu ada penduduk yang bermigrasi karena berbagai alasan lain seperti mencari pendidikan layak untuk anaknya. Namun, dapat dipastikan penduduk bermigrasi karena mereka kehilangan tanah akibat erosi pantai. Secara umum, disebabkan oleh ketidakpastian karena adanya dampak dari perubahan iklim."

Pemerintah Tuvalu sendiri membantu penduduknya untuk mengasah keahlian supaya mereka dapat mencari peluang di tempat lain.

Reklamasi 'satu-satunya pilihan paling layak'

Reklamasi merupakan salah satu strategi negara itu dalam menghadapi kenaikan permukaan air laut.

"Prioritas kami saat ini adalah membangun ketahanan dan meningkatkan kapasitas kami untuk beradaptasi," ujar Laloniu. Dia juga menyoroti pekerjaan yang tengah dilakukan untuk mereklamasi wilayah pesisir sebagai bagian dari Proyek Dana Iklim Hijau.

"Proyek tersebut akan menambah sekitar 10% dari luas lahan yang dapat dihuni," ujar Laloniu, seraya menambahkan bahwa menurutnya ini merupakan satu-satunya "pilihan layak" yang tersisa bagi Tuvalu.

"Masih ada beberapa pilihan lain dalam hal ketahanan, tetapi yang paling penting saat ini adalah di mana lokasi yang bisa kami tambahkan dan mereklamasinya," terangnya.

Dia juga menyebut masyarakat internasional harus tahu bahwa Kepulauan Tuvalu menghadapi kemungkinan nyata untuk kehilangan wilayahnya dan menyoroti soal peran Jerman dalam pembicaraan mengenai iklim.

Tenggelamnya Pesisir Utara Jawa

07:17

This browser does not support the video element.

"Anda harus berbicara dengan orang-orang yang dapat membuat perbedaan. Dan Jerman tentu saja merupakan mitra penting dalam hal ini. Dan dengan bantuan dari Jerman... hal itu akan menjadi sesuatu yang dapat diikuti oleh negara lain," ungkap Laloniu.

Masalah utama lain yang hendak dibahas delegasi ini adalah mengamankan kesepakatan soal perbatasan maritim permanen, terlepas dari adanya perubahan permukaan laut.

"Kami sudah menjelaskan kasus kami, ini tidak hanya soal Tuvalu, tetapi mengenai sebuah wilayah, di mana kami ingin memiliki garis dasar permanen, garis dasar kemaritiman, terlepas dari kenaikan permukaan laut. Poin itu jadi diskusi dalam forum internasional, termasuk PBB. Kami telah meminta mitra pengembangan kami, teman kami, seperti Jerman, untuk dapat membantu kami dalam diskusi tersebut."

Laloniu mengatakan permintaan nyata dari Tuvalu adalah supaya negara lain tetap dalam target 1.5 sesuai dengan Perjanjian Paris, yang berusaha untuk membatasi pemanasan global hingga 1.5 derajat Celsius.

(mh/ha)