Tuvalu Desak Aksi Iklim, Sebut "Waktu Tak Ada di Pihak Kami"
Kieran Burke | Leonie von Hammerstein
25 Mei 2023
Tuvalu, sebuah negara kepulauan kecil di Pasifik, sedang menghadapi bencana akibat naiknya permukaan laut. Kepada DW, perwakilannya menyebut Tuvalu bakal "tenggelam total" di abad ini.
Iklan
Tuvalu, negara dataran rendah di Kepulauan Pasifik, merupakan daerah yang paling rentan di dunia terkait dampak perubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut.
Delegasi senior yang dipimpin oleh utusan khusus Samuelu Laloniu mengunjungi Geneva, Copenhagen, Paris, dan Berlin untuk bertemu dengan para pejabat senior, perwakilan PBB, dan masyarakat sipil demi mendiskusikan kebutuhan mendesak soal aksi iklim.
Utusan utama itu menyebut rumahnya tengah menghadapi ancaman bakal hilang untuk selamanya.
"Kami berjibaku dengan pertanyaan soal kewarganegaraan, kedaulatan, risiko kehilangan kehidupan, hak-hak kami. Saya rasa orang-orang perlu untuk memahami aspek kemanusiaan, wajah manusia terhadap krisis iklim," kata Laloniu kepada wartawan DW, Leonie von Hammerstein.
Iklan
Khawatir tenggelam dalam abad ini
Kepulauan Pasifik mengalami risiko yang signifikan dan cepat dalam perubahan iklim. Menurut data dari Survei Geologi Amerika Serikat, banyak pulau di Pasifik yang memilki ketinggian maksimal pada 3-5 meter.
Penilaian Iklim Nasional AS pada tahun 2012 memberikan skenario kenaikan permukaan air laut di dunia berkisar antara 0,2 meter hingga 2 meter di tahun 2100 mendatang, membuat pulau kecil seperti Tuvalu dalam bahaya.
"Sebagai negara atol, waktu tak memihak kepada kami. Genangan total terjadi dalam abad ini. Dan jika kita serius dengan kenaikan permukaan air laut, kita harus mengatasi masalah ini dari sumbernya," kata Laloniu, sambil menekankan, "bahan bakar fosil merupakan sumber terbesar dari krisis iklim dan kenaikan permukaan air laut."
Laloniu menyatakan salah satu konsekuensi nyata dari ancaman yang dihadapi penduduk kepulauan adalah mereka memutuskan untuk meninggalkan pulau.
"Orang-orang bermigrasi. Itu merupakan keputusan pribadi, hal itu bukan kebijakan pemerintah untuk melakukan relokasi. Hanya saja, tentu ada penduduk yang bermigrasi karena berbagai alasan lain seperti mencari pendidikan layak untuk anaknya. Namun, dapat dipastikan penduduk bermigrasi karena mereka kehilangan tanah akibat erosi pantai. Secara umum, disebabkan oleh ketidakpastian karena adanya dampak dari perubahan iklim."
Pemerintah Tuvalu sendiri membantu penduduknya untuk mengasah keahlian supaya mereka dapat mencari peluang di tempat lain.
Tahun 2022: Krisis Iklim Melanda Seluruh Dunia
Tahun 2022 seluruh dunia dilanda cuaca panas yang ekstrem, kekeringan, kebakaran, badai dan banjir yang terkait dengan perubahan iklim. Berikut sejumlah peristiwa cuaca yang terjadi tahun 2022.
Foto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance
Eropa: Lebih panas dan lebih kering dari sebelumnya
Musim panas di Eropa ditandai cuaca panas ekstrem dan kekeringan terburuk dalam 500 tahun. Lebih 500 orang tewas akibat gelombang panas di Spanyol, dengan suhu hingga 45 derajat Celsius. Di Inggris, cuaca panas juga mencapai lebih 40 derajat Celsius. Sebagian benua Eropa jadi wilayah paling kering selama lebih dari satu milenium, sehingga banyak daerah terpaksa menjatah air.
Foto: Thomas Coex/AFP
Kebakaran hutan melanda seluruh Eropa
Mulai dari Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, Siprus, hingga Siberia, dilanda kebakaran hutan. Bencana itu telah menghanguskan 660.000 hektar lahan pada pertengahan tahun 2022 — kebakaran terbesar sejak pencatatan iklim dimulai pada tahun 2006.
Hujan monsun yang ekstrem menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Banjir itu menewaskan lebih dari 1.100 orang, menyebabkan 33 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan memicu penyebaran penyakit. Hujan lebat juga melanda Afganistan. Banjir besar menghancurkan ribuan hektare lahan, memperburuk bencana kelaparan yang sudah akut di negara itu.
Foto: Stringer/REUTERS
Gelombang panas ekstrem dan topan terjang Asia
Sebelum dilanda banjir, Afganistan, Pakistan, dan India alami panas dan kekeringan ekstrem. Cina juga alami kekeringan terburuk dalam 60 tahun dan gelombang panas terburuk sejak pencatatan dimulai. Awal musim gugur, 12 topan telah mengamuk di seluruh Cina. Badai besar juga melanda Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Bangladesh. Perubahan iklim membuat Intensitas badai semakin kuat.
Foto: Mark Schiefelbein/AP Photo/picture alliance
Krisis iklim memperburuk kondisi Afrika
Afrika memanas lebih cepat dibanding rata-rata global. Itu sebabnya benua ini secara tidak proporsional dilanda perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir. Somalia sedang menghadapi kekeringan terparah dalam 40 tahun. Krisis itu telah memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan kawasan mereka.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Bencana kelaparan di Afrika
Banjir dan kekeringan telah membuat pertanian dan peternakan praktis tidak mungkin dilakukan di beberapa bagian Afrika. Akibatnya, 20 juta orang mengalami kelaparan. Banyak yang meninggal karena kelaparan di Etiopia, Somalia, dan Kenya.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Kebakaran dan banjir di Amerika Utara
Badai dahsyat menerjang sejumlah negara bagian AS, seperti California, Nevada, dan Arizona. Gelombang panas menghanguskan ketiga negara bagian dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di akhir musim panas. Sebaliknya, hujan lebat di awal musim panas menyebabkan banjir parah di Taman Nasional Yellowstone dan di negara bagian Kentucky.
Foto: DAVID SWANSON/REUTERS
Badai menghancurkan Amerika
Pada September lalu, Badai Ian menghancurkan Florida. Otoritas setempat menggambarkan kerusakan itu sebagai "peristiwa bersejarah." Sebelumnya, badai itu melewati Kuba, di mana penduduknya hidup tanpa listrik selama berhari-hari. Badai Fiona juga menjadi topan tropis terburuk yang melanda Kanada setelah pertama kali menghantam Amerika Latin dan Karibia, mengakibatkan kerusakan parah.
Foto: Giorgio Viera/AFP/Getty Images
Badai tropis dahsyat landa Amerika Tengah
Badai Fiona bukan satu-satunya badai yang melanda Amerika Tengah. Pada Oktober lalu, Badai Julia menghantam Kolombia, Venezuela, Nikaragua, Honduras, dan El Salvador, menyebabkan kehancuran yang meluas. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut yang memperkuat intensitas badai.
Foto: Matias Delacroix/AP Photo/picture alliance
Kekeringan ekstrem di Amerika Selatan
Kekeringan yang terus-menerus melanda hampir seluruh Amerika Selatan. Cile, mengalami merosotnya curah hujan ekstrem sejak 2007. Di banyak daerah, sungai-sungai menyusut antara 50 dan 90%. Meksiko juga hampir tidak pernah mengalami hujan selama beberapa tahun berturut-turut. Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Panama, sebagian Ekuador, dan Kolombia pun mengalami kekeringan.
Foto: IVAN ALVARADO/REUTERS
Selandia Baru dan Australia tenggelam
Curah hujan yang intens menyebabkan rangkaian banjir ekstrem di Australia. Antara Januari dan Maret, pantai timur negara itu menerima curah hujan sebanyak yang dialami Jerman dalam setahun. Selandia Baru tidak luput dari banjir. Fenomena cuaca La Nina berada di balik peristiwa ekstrem tersebut. Atmosfer yang lebih hangat menyerap lebih banyak air, membuat curah hujan lebih deras. (ha/as)
Foto: Jenny Evans/Getty Images
11 foto1 | 11
Reklamasi 'satu-satunya pilihan paling layak'
Reklamasi merupakan salah satu strategi negara itu dalam menghadapi kenaikan permukaan air laut.
"Prioritas kami saat ini adalah membangun ketahanan dan meningkatkan kapasitas kami untuk beradaptasi," ujar Laloniu. Dia juga menyoroti pekerjaan yang tengah dilakukan untuk mereklamasi wilayah pesisir sebagai bagian dari Proyek Dana Iklim Hijau.
"Proyek tersebut akan menambah sekitar 10% dari luas lahan yang dapat dihuni," ujar Laloniu, seraya menambahkan bahwa menurutnya ini merupakan satu-satunya "pilihan layak" yang tersisa bagi Tuvalu.
"Masih ada beberapa pilihan lain dalam hal ketahanan, tetapi yang paling penting saat ini adalah di mana lokasi yang bisa kami tambahkan dan mereklamasinya," terangnya.
Dia juga menyebut masyarakat internasional harus tahu bahwa Kepulauan Tuvalu menghadapi kemungkinan nyata untuk kehilangan wilayahnya dan menyoroti soal peran Jerman dalam pembicaraan mengenai iklim.
Tenggelamnya Pesisir Utara Jawa
07:17
"Anda harus berbicara dengan orang-orang yang dapat membuat perbedaan. Dan Jerman tentu saja merupakan mitra penting dalam hal ini. Dan dengan bantuan dari Jerman... hal itu akan menjadi sesuatu yang dapat diikuti oleh negara lain," ungkap Laloniu.
Masalah utama lain yang hendak dibahas delegasi ini adalah mengamankan kesepakatan soal perbatasan maritim permanen, terlepas dari adanya perubahan permukaan laut.
"Kami sudah menjelaskan kasus kami, ini tidak hanya soal Tuvalu, tetapi mengenai sebuah wilayah, di mana kami ingin memiliki garis dasar permanen, garis dasar kemaritiman, terlepas dari kenaikan permukaan laut. Poin itu jadi diskusi dalam forum internasional, termasuk PBB. Kami telah meminta mitra pengembangan kami, teman kami, seperti Jerman, untuk dapat membantu kami dalam diskusi tersebut."
Laloniu mengatakan permintaan nyata dari Tuvalu adalah supaya negara lain tetap dalam target 1.5 sesuai dengan Perjanjian Paris, yang berusaha untuk membatasi pemanasan global hingga 1.5 derajat Celsius.