Seorang anak laki-laki Muslim berusia enam tahun yang menderita down syndrome dianggap teroris oleh gurunya setelah ia berulangkali mengucapkan “Allah” dan “Boom” di kelas.
Iklan
Mohammad Suleiman, yang terlahir dengan Down Syndrome, dilaporkan kepada polisi oleh gurunya karena dianggap teroris.
Sang ayah, Maher Mohammad, mengatakan bahwa guru yang menghubungi polisi merupakan guru pengganti di sekolah dasar C J Harris, die Pearland, AS. Ia menyangkal tuduhan ini, karena "ia sama sekali tidak bisa bicara" dan memiliki "kemampuan mental seorang anak berusia satu tahun".
Maher menambahkan, ia sekeluarga harus melewati masa yang sulit akibat insiden ini. Mereka harus menjalani pemeriksaan oleh polisi dan juga badan perlindungan anak CPS. "Tiga atau empat minggu terakhir adalah masa yang terberat dalam hidup saya," dikatakan Maher.
Potret Desa Muslim AS Yang Dicap "Sarang Teroris"
Pada dekade 1980-an sekelompok muslim membangun sebuah desa di tepi kota New York, AS, buat mencari kedamaian. Kini desa Islamberg dianggap sarang terorisme dan menjadi simbol permusuhan bagi kaum kanan Amerika.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Mencari Damai di Desa Kecil
Sebuah desa kecil sekitar 190 km dari New York menampung migran muslim dan menamakan diri "Islamberg." Suasana desa berpenduduk sekitar 40 keluarga yang asri dan nyaman terkesan kontras dengan tudingan miring yang dilayangkan kelompok kanan AS. Islamberg dianggap sebagai sarang terorisme,
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Mengasingkan Diri
Adalah pengikut tokoh Sufi asal Pakistan, Syeikh Mubarik Gilani, yang membangun pemukiman muslim di New York. Penduduknya kebanyakan adalah generasi kedua atau ketiga pendatang Afro-Amerika. Kendati banyak yang bekerja di luar kota, penduduk Islamberg cenderung tertutup. Satu-satunya kontak dengan dunia luar adalah lewat klub olahraga lokal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Oase Terpinggirkan
Islamberg terletak agak terpencil di tepi gunung Catskill. Satu-satunya akses ke dunia luar adalah sebuah jalan sempit berbatu. Sebuah supermarket kecil memasok bahan pangan dan kebutuhan pokok untuk penduduk lokal. Hingga baru-baru ini semua warga terbiasa membiarkan pintu rumah terbuka saat berpergian.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
"Mimpi Buruk Terparah AS"?
Belakangan Islamberg sering menjadi sasaran ujaran kebencian kelompok kanan AS. Blog Freedom Daily misalnya pernah mengklaim sebuah penggerebekan di Islamberg atas perintah Presiden Donald Trump mengungkap "mimpi buruk paling parah buat Amerika," yakni kamp pelatihan Jihad buat teroris. Tudingan tersebut kemudian dibantah oleh berbagai media besar.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Disambangi Kaum Kanan
Serangan terhadap Islamberg tidak sebatas ujaran kebencian. Tidak lama setelah geng motor "American Bikers Against Jihad" menyambangi Islamberg, seorang penduduk Tenessee ditangkap karena menyerukan pembakaran mesjid di Islamberg. Wali Kota Islamberg, Rashid Clark, menganggap kabar palsu dan ujaran kebencian terhadap desanya sebagai ancaman terbesar.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Pembelaan Kepolisian
Kepolisian setempat juga menepis tudingan tersebut. "Penduduk di sini adalah warga negara AS. Mereka telah hidup di sini sejak lebih dari 30 tahun. Mereka membangun komunitas dan menjalin kontak dengan dunia luar. Di sini tidak pernah ada masalah," kata James Barnes dari Biro Investigasi Kriminal Kepolisian New York.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Label Teror dari Dekade Lampau
Tudingan miring terhadap Islamberg antara lain terkait keberadaan organisasi Muslims of America (MoA) yang bermarkas di sana. Menurut pemerintah AS MoA adalah pecahan dari kelompok kriminal "Jemaat al-Fuqra" yang aktif pada dekade 1980-an. "Kalau kami melatih teroris sejak 30 tahun," kata Ketua MoA Hussein Adams, "kenapa sampai sekarang belum ada serangan?"
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Setumpuk Rasa Frustasi
Tudingan miring tersebut membuat frustasi penduduk Islamberg. "Mereka tidak mengganggu siapa pun," kata Sally Zegers, editor harian lokal Hancock Herald kepada Associated Press.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Normalisasi Kebencian
Hingga kini gelombang kebencian terhadap Islamberg belum mereda. Tahirah Clark yang bekerja sebagai pengacara hanya bisa berdoa sembari berharap segalanya akan berakhir. Namun hingga saat ini penduduk Islamberg harus membiasakan diri terhadap celotehan pedas kelompok konservatif kanan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
9 foto1 | 9
"Mohammad terlahir dengan down syndrome chromosome 21. Ia membutuhkan perawatan sepanjang waktu. Mereka mengatakan bahwa ia seorang teroris, ini sangat bodoh, ini benar-benar diiskriminasi,” ditambahkannya.
Pihak kepolisian kota Pearland menyatakan, mereka telah melakukan penyelidikan dan tidak ada alasan untuk melakukan tindakan lebih lanjut. Sementara badan perlindungan anak CPS berencana masih akan melanjutkan penyelidikan atas insiden ini.
Anak Mantan Teroris Merajut Masa Depan di Pesantren al-Hidayah
Seorang mantan teroris mendidik anak-anak terpidana terorisme agar menjauhi faham radikal. Mereka kerap mengalami diskriminasi lantaran kejahatan orangtuanya. Kini mereka di tampung di pesantren al-Hidayah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Ujung Tombak Deradikalisasi
Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka. Padahal pesantren ini adalah ujung tombak program deradikalisasi pemerintah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Mantan Teroris Perangi Teror
Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme dengan merampok sebuah bank di Medan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Tameng Radikalisme
Bersama pesantren tersebut Al-Ghazali mengemban misi pelik, yakni mendidik putra mantan terpidana teroris agar menjauhi faham radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan bisa terpengaruh ideologi teror.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Derita Warisan Orangtua
Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Uluran Tangan Pemerintah
Pesantren al-Hidayah adalah bagian dari program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah untuk meredam ideologi radikal. Untuk itu Presiden Joko Widodo mengalihkan lebih dari 900 milyar dari dana program Satu Juta Rumah untuk membantu pembangunan pondok pesantren yang terlibat dalam program deradikalisasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Perlawanan Penduduk Lokal
Meski mendapat bantuan dana pemerintah buat membangun asrama, pembangunan masjid dan ruang belajar di pesantren al Hidayah tidak menggunakan dana dari APBN. Ironisnya keberadaan Pesantren al-Hidayah di Deli Serdang sempat menuai kecurigaan dan sikap antipati penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Peran Besar Pesantren Kecil
Al-Hidayah adalah contoh pertama pesantren yang menggiatkan program deradikalisasi. Tidak heran jika pesantren ini acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Trauma Masa Lalu
Melindungi anak-anak mantan teroris dianggap perlu oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius. Abdullah, salah seorang santri, berkisah betapa ia kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Stigma Negatif Bahayakan Deradikalisasi
Stigma negatif masyatakat terhadap keluarga mantan teroris dinilai membahayakan rencana pemerintah memutus rantai terorisme. Terutama pengucilan yang dialami beberapa keluarga dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kondisi kejiwaan anak-anak. Ghazali tidak mengutip biaya dari santrinya. Ia membiayai operasional pesantren dengan beternak dan bercocok tanam, serta menjual hasil panen.