Bagaimana UE Dukung Filipina Melawan Cina di LCS?
2 April 2024Pekan lalu, kapal penjaga pantai Cina menembakkan meriam air ke arah kapal suplai logistik Filipina di dekat Gosong Thomas Kedua, sekitar 200 kilometer di barat Pulau Palawan. Insiden itu melukai beberapa kru dan merusak kapal berbadan kecil itu. Perundungan oleh Cina belakangan semakin marak dilaporkan di wilayah yang diperebutkan di Laut Cina Selatan.
Sejak lama, Beijing dan Manila bersitegang soal klaim teritorial di Kepulauan Spratly. Gosong Thomas Kedua atau Ayungin dalam Bahasa Tagalog merupakan salah satu dari 13 kumpulan atol dan karang yang membentuk Kepulauan Spratly dan sebagian besar dikuasai Vietnam, Filipina dan Cina.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah memperingatkan Cina bahwa pihaknya akan "mengambil langkah proporsional dan disengaja melawan serangan berbahaya oleh oknum pasukan penjaga pantai dan milisi maritim Cina." Presiden Filipina itu merujuk kepada kelompok nelayan yang digerakkan Beijing untuk memperkuat klaim teritorialnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Pada 25 Maret lalu, setelah insiden di Gosong Thomas Kedua, Manila melayangkan "nota protes terkuat" terhadap Beijing dan memanggil diplomat senior Cina untuk melapor.
Manuver berbahaya Cina
Klaim Cina menjangkau hingga penjuru Laut Cina Selatan yang dikenal dengan sembilan garis titik. Keberadaannya bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksluksif, ZEE, milik lima negara di Asia Tenggara, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Silang sengketa terbesar terjadi antara Cina dengan Vietnam dan Filipina. Di Gosong Thomas Kedua, Manila mengelola sebuah pos angkatan laut di atas rongsokan sebuah kapal transportasi. Kapal bernama Sierra Madre yang sengaja dikaramkan pada 1999 itu sekaligus menjadi bukti kedaulatan Filipina atas gosong tersebut.
Tuduhan agresi oleh kapal penjaga perbatasan Cina dijawab oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian, dengan menegaskan pihaknya "akan terus mengambil langkah tegas untuk melindungi kedaulatan teritorial, serta hak dan kepentingan maritim Cina."Kedutaan Besar Cina di Manila memperingatkan pemerintahan Marcos Jr. sedang "bermain dengan api."
Insiden itu juga memicu respons internasional. Amerika Serikat, misalnya, menegaskan "komitmen baja" untuk melindungi sekutu lamanya di Asia Tenggara itu. Uni Eropa pun ikut melayangkan protes keras kepada pemerintah di Beijing."Serangkaian manuver berbahaya, pemblokiran dan penggunaan meriam air yang berulang,” oleh penjaga pantai dan milisi maritim Cina terhadap kapal-kapal Filipina "merupakan provokasi berbahaya," tulis UE dalam pernyataan persnya, 23 Maret lalu.
"Tindakan ini membahayakan nyawa manusia, mengganggu stabilitas regional dan melanggar norma internasional, serta mengancam keamanan di kawasan."Sebelas negara anggota UE juga menerbitkan pernyataan sepihak yang mengkritik aksi Cina dan menyuarakan dukungan bagi Filipina.
Carl Thayer, profesor emeritus di Universitas New South Wales, mengatakan kepada DW bahwa tanggapan kritis UE soal agresi Cina di LCS "belum pernah terjadi sebelumnya”, meski bukan "tidak terduga”, karena Eropa memiliki kepentingan besar dalam menjaga stabilitas di jalur perdagangan terbesar di dunia itu.
Posisi Eropa di Laut Cina Selatan?
Eropa cenderung mengikuti jejak AS yang sejak beberapa tahun terakhir memusatkan dukungan militer kepada Filipina untuk melawan klaim Cina di LCS.
Sejak tahun 2022, Manila secara resmi memiliki perjanjian pertahanan dengan Uni Eropa dan Inggris. Sementara Prancis sedang merundingkan kesepakatan tambahan untuk mengirimkan pasukan dan mengakses pangkalan militer FIlipina. Belakangan, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Belanda juga acap mengerahkan kapal perang ke Laut Cina Selatan untuk latihan kebebasan navigasi, FONOPs, bersama Filipina. Akhir tahun ini, Italia dilaporkan bakal mengirim kapal induknya, "Cavour" ke perairan tersebut.
Pada pertengahan Maret lalu, utusan khusus UE untuk kawasan Indo-Pasifik Richard Tibbels mengatakan, Eropa ingin melakukan kunjungan pelabuhan dan latihan angkatan laut bersama Filipina. Rencana itu adalah bagian dari strategi memperluas koordinasi maritim "lebih jauh ke timur di kawasan Indo-Pasifik."
"Kami punya kepentingan besar untuk menjamin kebebasan navigasi dan penerbangan, serta sistem perdagangan global agar tidak terpengaruh oleh meningkatnya ketegangan di kawasan ini,” kata Tibbels kepada Associated Press bulan ini.
Apa pilihan Eropa?
Meski telah menyepakati perjanjian militer, Filipina tidak memiliki pakta pertahanan dengan Eropa. Sebabnya, sebagian besar analis menilai skeptis kemampuan Eropa membantu negeri kepulauan itu secara militer jika menghadapi invasi Cina.
"UE tidak mempunyai kapasitas militer yang cukup untuk mencegah perang atau kemampuan untuk mempengaruhi jalannya konflik di kawasan ini,” kata Mathieu Droin, peneliti tamu di Center for Strategic and International, CSIS, yang berbasis di Washington. "Instrumen yang dimiliki UE adalah pengaruh ekonomi dan perdagangan di Cina dan negara-negara Asia Tenggara," kata Droin kepada DW.
Alexander Vuving, profesor di Pusat Studi Keamanan Asia-Pasifik Daniel K Inouye di Honolulu, AS, mengatakan bahwa ketegangan di Laut Cina Selatan tidak hanya terjadi "dalam ranah fisik tetapi juga dalam ranah kognitif.”
Dia mengacu pada apa yang disebut "tiga perang” yang dilancarkan Beijing, yakni perang psikologis, perang opini publik dan perang hukum."Meskipun kondisi geografi merugikan Eropa dalam perang laut melawan Cina, Eropa sebenarnya memiliki kapasitas yang besar untuk memenangkan ‘tiga perang' Cina,” kata Vuving.
Para analis berpendapat, Eropa dapat melawan Beijing dengan menjalin ikatan ekonomi yang lebih erat dan memperkuat dukungan bagi Filipina jika terjadi agresi Cina. Pada 18 Maret lalu, UE dan Filipina sepakat untuk melanjutkan negosiasi perjanjian perdagangan bebas yang terhenti pada tahun 2017 di era Presiden Rodrigo Duterte.
Hubungan kedua pihak membaik secara signifikan sejak Marcos Jr, menjadi presiden pada tahun 2022. Dia mengubah posisi Manila mendekat ke Barat, setelah pemerintahan sebelumnya di bawah Duterte yang cenderung lunak terhadap Cina.
rzn/as