UE Terjunkan Pasukan Jaga Perbatasan Finlandia dengan Rusia
24 November 2023
Badan perbatasan Uni Eropa, Frontex, akan kerahkan sumber daya ke Finlandia untuk membantu membendung arus "migrasi bersenjata" dari Rusia.
Iklan
Badan perbatasan Uni Eropa, Frontex, pada Kamis (23/11) mengumumkan akan mengerahkan personil dan sumber daya ke Finlandia untuk memerangi apa yang mereka curigai sebagai "migrasi bersenjata" yang didalangi oleh Rusia.
Sekitar 50 agen perbatasan dan staf lainnya akan berada di sana minggu depan, menurut Frontex.
Mobil patroli dan peralatan lainnya juga akan memberikan "penguatan yang signifikan" bagi militer Finlandia.
Pihak berwenang Finlandia mengatakan bahwa lebih dari 700 migran dari Afghanistan, Irak, Kenya, Maroko, Somalia, Suriah dan Yaman telah tiba di perbatasannya sejak 1 November, sebagian besar tanpa identifikasi, visa atau dokumen yang tepat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan kedatangan pada bulan September dan Oktober.
'Rusia yang memulai ini, dan Rusia juga bisa menghentikannya,' kata PM Finlandia
Perdana Menteri Finlandia Petteri Orpo menuduh Rusia berada di balik apa yang ia sebut sebagai "gangguan serius terhadap keamanan perbatasan," dan menambahkan "Finlandia tidak dapat dipengaruhi, Finlandia tidak dapat digoyahkan. Rusia memulai ini, dan Rusia juga bisa menghentikannya."
Iklan
Orpo menyebut situasi itu sebagai "tindakan sistematis dan terorganisir oleh pihak berwenang Rusia."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova membantah tuduhan itu, dengan mengatakan, "Pihak berwenang Finlandia mulai membuat alasan yang kikuk, mengulangi sentimen Russofobia."
Pihak berwenang Finlandia mengatakan bahwa perubahan struktur dari Moskow adalah imbas dari Finlandia tidak lagi bersifat non-blok dan bergabung dengan NATO pada April. Ini merupakan respons langsung terhadap invasi Rusia pada Februari 2022 pada negara tetangganya, Ukraina.
Rusia telah memperingatkan bahwa akan ada "tindakan balasan" jika Finlandia bergabung dengan aliansi militer.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Situasi yang mengingatkan pada aktivitas Belarusia sebelumnya
Situasi saat ini di sepanjang perbatasan Rusia dan Finlandia sepanjang 1.340 kilometer (830 mil) perbatasan paling timur Uni Eropa mengingatkan pada situasi serupa dari dua tahun lalu ketika Polandia, Latvia, dan Lituania menuduh Belarusia yang bersekutu dengan Rusia telah mengangkut para migran ke perbatasan mereka sebagai pembalasan atas sanksi Uni Eropa yang dijatuhkan kepada Minsk.
Belarusia juga menyangkal peran apa pun meskipun ada bukti yang bertentangan.
Komisioner Urusan Dalam Negeri Uni Eropa Ylva Johansson merujuk pada situasi sebelumnya, dan mengatakan bahwa ia mengalami "deja vu".
"Perbatasan Finlandia adalah perbatasan Uni Eropa," kata Johansson. "Uni Eropa berada di belakang Anda. Anda dapat mengandalkan dukungan penuh kami untuk melindungi perbatasan Uni Eropa dan menegakkan hak-hak fundamental."
Tetangga Baltik Rusia, Estonia, juga menuduh Moskow memfasilitasi migrasi ilegal. "Ini sepenuhnya diatur oleh negara. Sepenuhnya," kata Menteri Pertahanan Estonia Hanno Pevkur pada hari Kamis.
Pevkur mencemooh klaim Rusia bahwa mereka tidak bersalah.
"Di Rusia, ada zona perbatasan sejauh 10 kilometer (sekitar 6 mil) yang tidak dapat Anda masuki tanpa izin dari FSB (dinas keamanan Rusia). Dan secara tidak sengaja, ratusan migran ini berakhir di satu penyeberangan perbatasan di Finlandia dengan sepeda di musim dingin? Ayolah, serius?"
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Krisis kemanusiaan mungkin terjadi saat musim dingin tiba
Banyak dari para migran yang tiba di perbatasan Finlandia menggunakan sepeda, mengenakan sepatu kets dan mantel musim dingin yang tebal.
Pekan lalu, Helsinki memerintahkan empat dari sembilan penyeberangan dengan Rusia ditutup, dengan tentara dan penjaga perbatasan membangun pagar dan penghalang lain untuk menghentikan masuknya migran.
Namun, bahkan jika Finlandia menutup perbatasannya sepenuhnya, Finlandia akan tetap harus berurusan dengan para migran yang mencoba masuk secara ilegal melalui hutan dan padang gurun.
Negara ini juga diwajibkan secara hukum untuk mengizinkan para migran untuk mengajukan suaka meskipun mereka memasuki negara ini secara ilegal.
Para pengamat mengatakan apapun yang terjadi, Helsinki mungkin harus menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat nyata jika para migran terlihat terjebak dan kedinginan di perbatasan kawat berduri yang baru.
Direktur Eksekutif Frontex Hans Leijtens menyebut pengerahan agen-agen perbatasan ke Finlandia sebagai "sebuah demonstrasi sikap bersatu Uni Eropa dalam menghadapi tantangan-tantangan hibrida yang mempengaruhi salah satu anggotanya."
Peningkatan besar-besaran dalam penyelundupan orang di perbatasan timur Uni Eropa