Melonjaknya ujaran kebencian dan disinformasi mendorong Badan Antidiskriminasi Jerman (FADA) meninggalkan platform X. Lonjakan dilaporkan terjadi salah satunya sejak serangan Hamas ke Israel pada Sabtu (07/10) lalu.
Iklan
Badan Antidiskriminasi Federal Jerman (FADA) pada Rabu (11/10) mengaku telah meninggalkan X (sebelumnya Twitter) karena adanya "peningkatan besar-besaran” dalam hal ujaran kebencian di platform tersebut.
Menurut FADA, komentar bernada kebencian dan disinformasi telah "meningkat secara signifikan” sejak taipan Tesla, Elon Musk, mengambil alih platform tersebut tahun lalu.
"Menurut pendapat kami, X bukan lagi lingkungan yang dapat diterima bagi badan publik,” kata FADA dalam sebuah pernyataan.
Komisaris badan tersebut, Ferda Ataman mengatakan, lembaga-lembaga negara dan kementerian lainnya, juga harus bertanya kepada diri mereka sendiri apakah masih masuk akal untuk tetap menggunakan platform yang telah berubah "menjadi jaringan disinformasi” itu.
Ataman mengatakan FADA hanya bisa berupaya memerangi lonjakan ujaran kebencian dengan menyalurkan lebih banyak sumber daya ke platform tersebut. Namun, hal itu menurutnya merupakan penggunaan uang publik yang patut dipertanyakan.
Mesi begitu, banyak pejabat Jerman yang menolak seruan untuk keluar dari X, dengan alasan bahwa saat ini tidak ada saluran pengganti yang memungkinkan mereka menjangkau masyarakat secara luas.
Kementerian luar negeri, perekonomian dan keuangan dilaporkan masih memiliki akun di X, begitu pula dengan Kanselir Olaf Schoz.
Lonjakan disinformasi sejak serangan Hamas ke Israel
Banyak gambar-gambar yang direkayasa dan klaim yang menyesatkan beredar luas di platform tersebut.
Untuk itu, Uni Eropa (UE) pada Selasa (10/10) telah melayangkan surat untuk memperingatkan Musk atas laporan konten palsu dan glorifikasi kekerasan di platform X.
Surat yang dikirim ke X oleh kepala pasar internal UE Thierry Breton itu menuntut Musk agar merespons dan menghubungi "otoritas penegak hukum terkait” dalam waktu 24 jam.
Sementara X mengatakan, pihaknya telah mengambil tindakan untuk mengekang penyebaran unggahan tidak pantas dan telah menghapus akun-akun baru yang berafiliasi dengan Hamas untuk "mencegah konten teroris didistribusikan secara online.”
gtp/as (Reuters, AFP)
Foto Kontras Duka dan Tawa Antara Gaza dan Israel
Ketika Israel merayakan 70 tahun kemerdekaan dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, penduduk di Jalur Gaza menghadapi kematian di ujung laras senapan.
Foto: Reuters/M. Salem
Amarah Menjelang Nakba
Sebanyak 60 demonstran tewas saat mengikuti aksi protes terhadap pembukaan kedutaan besar Amerika Serikat di Yerusalem. Penduduk di Jalur Gaza menyantroni perbatasan untuk menolak kebijakan Presiden Donald Trump yang mengubur klaim Palestina atas Yerusalem. Pemindahan tersebut bertepatan dengan peringatan 70 tahun pendirian negara Israel yang sekaligus menandakan hari pengusiran buat Palestina
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Goretan Trump di Yerusalem
Ketika korban pertama di Jalur Gaza mulai berjatuhan, penasehat senior Gedung Putih Ivanka Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin meresmikan gedung baru kedutaan AS di Yerusalem. Acara yang dihadiri oleh pejabat tinggi Israel dan sejumlah negara lain itu berlangsung hangat dan meriah.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Termakan Jebakan Hamas?
Israel menuding organisasi teror Hamas sengaja menjebak warga untuk mendorong bentrokan yang menelan korban jiwa. Di antara korban tewas terdapat seorang bocah perempuan meregang nyawa usai terpapar gas air mata. Bentrokan di perbatasan menyisakan lebih dari 2.700 korban luka. Organisasi Palang Merah mengkhawatirkan kapasitas rumah sakit di Gaza tidak mencukupi.
Foto: Reuters/M. Salem
Pesta dan Elegi Seputar Yerusalem
Ketika warga Palestina meratapi Yerusalem, kelompok geng kendaraan bermotor di Israel merayakan pengakuan Amerika Serikat atas ibukotanya tersebut. Status Yerusalem yang sejak lama bermasalah diklaim sebagai ibukota abadi oleh penganut kedua agama. Bahkan Arab Saudi yang notabene sekutu AS di kawasan mengritik kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar Amerika.
Foto: Reuters/A. Awad
Hari Paling Berdarah
Aksi demonstrasi pada hari Senin (14/5) di Gaza merupakan hari tunggal paling berdarah sejak perang Israel dan Hamas pada 2014 lalu. Dari 2.700 korban luka, lebih dari 1.300 terkena peluru dan 130 berada dalam kondisi kritis. Termasuk korban yang tewas adalah delapan anak di bawah umur, klaim Kementerian Kesehatan Palestina.
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Bertabur Puji dan Sanjungan
Selama acara pembukaan kedutaan AS, perwakilan kedua negara saling melemparkan sanjungan dan pujian. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu misalnya menilai langkah presiden Trump sebagai sebuah "keberanian." Sementara menantu Trump, Jared Kushner, mengatakan suatu saat umat manusia akan membaca sejarah ini dan mengakui, "perdamaian diawali dengan keputusan Amerika menerima kebenaran."
Foto: Reuters/R. Zvulun
Menyambut Hari Kematian
Sejak aksi demonstrasi menyambut hari Nakba dimulai 30 Maret lalu, setidaknya 97 penduduk Palestina dinyatakan tewas, termasuk 12 anak-anak. Sementara angka korban luka bahkan melebihi jumlah korban pasca operasi militer Israel selama 51 hari di Gaza pada 2014, yakni 12.271 orang berbanding 11.231 orang. Situasi ini menyisakan ketegangan diplomasi antara Israel dan sejumlah negara lain.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/A. Amra
Kisruh Diplomasi
Sebagai reaksi - Turki dan Afrika Selatan menarik duta besarnya dari Tel Aviv. Sementara Uni Eropa, Jerman, Perancis dan PBB menyesalkan penggunaan kekerasan oleh militer. Adapun pemerintah Irlandia memanggil duta besar Israel untuk dimintai keterangan. Dari semua negara hanya Amerika Serikat dan Australia yang mengutuk Hamas atas jatuhnya korban jiwa di Jalur Gaza. (rzn/vlz - rtr,ap,afp)